Tradisi Ngayau Dalam Perang Banjar*

Kurang lebih 152 tahun lalu, tepatnya pada 28 April 1859, pecah huru-hara terbesar di Kalimantan, yaitu Perang Banjar. Satu aspek yang luput atau minimal kurang terekspos pada tulisan-tulisan terdahulu tentang peristiwa tersebut adalah berkaitan dengan terdapatnya praktik ngayau dalam perang tersebut.


Ngayau atau Kayau umumnya dipahami sebagai kebiasaan memenggal kepala di kalangan pribumi Kalimantan tempo dulu. Tapi menurut Darius Dubud (2004: 45), mangayau bukanlah sekedar potong kepala tanpa makna, atau semacam tindakan barbar. Sebagai penghuni tertua Pulau Kalimantan, orang Dayak sejak dulu hidup menyatu dengan alam. Dalam perjumpaannya dengan alam mereka mengalami kuasa Tuhan, sehingga seluruh perilaku diarahkan untuk menjaga keseimbangan aspek jalal dan jamal (positif dan negatif). Setiap perilaku menyimpang akan mengundang kemarahan Tuhan yang dinyatakanNya dalam bentuk bencana alam. Dari sudut inilah menurut Dubud, bisa dipahami makna sebenarnya dari mangayau, bahwa tradisi memenggal kepala itu adalah suatu ritus untuk memelihara keseimbangan alam.




Subjektifitas Penafsiran


Penjelasan Darius Dubud di atas menyingkap nilai filosofis dan teologis di balik tradisi ngayau. Dalam hal ini, korban kayauan tentulah individu atau kelompok yang dianggap berdosa secara adat, sehingga kepadanya ‘sah’ untuk dikayau. Jadi kayau adalah sebuah bentuk sanksi, atau semacam tumbal keseimbangan alam demi terhindarnya umat manusia dari murka Tuhan.


Persoalannya, ketika orang Dayak belum berada dalam ‘kesatuan etnis’ seperti sekarang, tentu terdapat subjektifitas di antara sub-sub kelompok suku dalam menafsirkan siapa yang berperilaku menyimpang, dan siapa yang berhak menghukum? Sebagaimana yang diungkap Helius Sjamsuddin (2001: 50-56) hingga tahun 1850-an perang antar suku masih kerap terjadi di pedalaman Kalteng, misalnya antara Suku Ngaju versus Siang-Murung, atau antara Suku Ngaju versus Suku Pari. Dari dua jenis perang suku (kayau dan asang), kayau adalah jenis serangan dari sekelompok kecil suku tertentu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak musuh yang akan diburu kepalanya.



Bagi kebanyakan bangsa beradab, praktik semacam itu jelas sukar diterima akal sehat. Tidak heran ketika Belanda pada tahun 1802 menjalin kontrak politik dan ekonomi dengan Sultan Banjar (penguasa Kalimantan Selatan dan Tengah waktu itu), wakil mereka, Komisaris F. van Boeckholtz, di antaranya mensyaratkan sultan harus bertindak tegas: “kepada orang di negeri-negeri Dajak jang kerdja itu potong kepala supaja dikasih hukuman potong kembali di muka lodji kompeni..”(Arsip Nasional RI, 1965: 163).


Apalagi kurang lebih setengah abad kemudian, orang-orang Belanda juga menjadi sasaran kayau dalam Perang Banjar. Mereka–setidaknya yang tercatat–adalah para serdadu dan awak kapal perang Onrust yang ditenggelamkan di hulu sungai Barito pada Desember 1859 oleh Tumenggung Surapati dan pengikutnya. Menurut Parelaer (di dalam Sjamsuddin.Op.Cit:233), dalam serbuan itu prajurit-prajurit Dayak yang dipimpin Surapati memenggal kepala-kepala korbannya sebagai piala kemenangan.


Sebagai pengusung peradaban Eropa (Barat), dapat dipahami apabila Belanda berupaya menghapus tradisi barbar tersebut, sebagaimana yang tersirat pada isi Kontrak 1802 di atas. Namun fakta lain Perang Banjar tentang para pemimpin perlawanan yang dikemukakan Idwar Saleh (1991: 26-27, lihat juga Saleh: 1985: 23) barangkali menyajikan sebuah paradoks yang mencengangkan. Berikut fakta-faktanya:


Setelah ditangkap secara tipu muslihat di Batu licin, Demang Lehman yang dihukum gantung pada 1864 di Martapura, kepalanya dipotong untuk masuk museum Belanda. Setahun kemudian, Penghulu Rasyid yang terluka dalam pertempuran di Banua Lawas Kelua, kepalanya juga dipenggal oleh seseorang yang tergiur oleh bayaran Belanda. Kepala sang penghulu diserahkan pula kepada mereka. Nasib serupa dialami Tumenggung Jalil yang gugur pada 1861 dalam Pertempuran Tundakan di Awayan. Mayat tumenggung ini sebetulnya telah lama dikuburkan secara rahasia oleh pengikutnya. Namun setelah lokasinya diketahui, makam itu segera dibongkar dan tengkorak kepalanya juga diambil Belanda untuk dimuseumkan.



Sukar dipahami, Belanda yang menganggap diri beradab itu ternyata juga ‘mangayau’ musuh-musuhnya. Fakta ini membuktikan, betapa tipisnya perbedaan (malah kadang tertukar) antara bangsa beradab dengan yang dianggap biadab.



Ambiguitas Barat


Bila peradaban oleh kamus diartikan sebagai kemajuan budaya batin, maka beradab tidaknya suatu bangsa ternyata tidak sepenuhnya diukur berdasarkan nilai-nilai peradaban itu sendiri. Dalam konteks hubungan internasional tempo dulu, keberadaban atau kebiadaban lebih ditentukan oleh pihak yang menguasai sistem memori massa dengan dukungan teknologi cetak, budaya tulis, serta ditopang pula oleh–tentu saja–kekuatan militer dan ekonomi. Keunggulan dalam hal ini memungkinkan suatu pihak leluasa mendefinisikan diri sebagai bangsa beradab, lalu atas nama peradaban merasa berhak untuk mencaplok, mengagresi, dan mengkoloni bangsa lain yang dicap biadab.


Maka memberadabkan dunia timur pun seakan menjadi obsesi dan misi mulia bangsa-bangsa Barat masa itu. Ini misalnya tecermin dari kutipan lagu mars militer Belanda ketika mereka memerangai Aceh: “Ke Aceh Keraton! Sarang segala kejahatan… Dengan sang tiga warna Belanda’ peradaban’ tumbuh..” (Tempo: 2003: 70). Namun ketika diterjemahkan ke dalam realitas, pemberadaban itu tak lain adalah sebuah fakta tentang eksploitasi habis-habisan kekayaan negeri jajahan untuk dialirkan ke Eropa sana.


Ironisnya spirit kolonialisme ini seperti tak mudah pupus dari muka bumi, meski kini ia terbungkus lewat metode yang lebih halus, canggih, dan legitimate. Buktinya, masyarakat dunia seakan tak berdaya dengan sepak terjang Amerika Serikat sebagai garda depan peradaban Barat saat ini. Melalui penguasaan sistem komunikasi dan informasi dengan segala teknologi canggihnya, Amerika sanggup mendiktekan opini dunia tentang segala sesuatu, sesuai dengan kepentingannya. Semua seolah ‘tersihir’ untuk selalu tunduk pada ‘titah’ sang Adi Daya tentang langkah yang harus ditempuh sebagai tindakan bersama, demi terwujudnya tatanan dunia yang lebih baik, demokratis, dan beradab (dalam versi Amerika, tentu).



Vietnam, Uganda, Kuba, Afganistan, Irak (mungkin berikutnya Iran) adalah bagian dari korban pemberadaban ala Amerika. Seperti di masa lalu, taring kavitalis selalu menyeringai rakus di balik misi pemberadaban yang rapat membungkusnya. Taring yang siap menerkam, menghisap, dan melahap minyak, gas, batubara, emas, timah, atau potensi strategis lain di setiap jengkal muka bumi.


Oleh Karena hampir semua berlangsung di bawah resolusi PBB, maka agresi militer pun menjadi sah untuk dilancarkan. Dunia diberadabkan dengan cara yang sama sekali tidak beradab. Negara-negara tirani didemokrasikan lewat cara yang tidak demokratis (tetapi tidak terhadap tiran yang menjadi budak kavitalisnya). Teknologi Nuklir dinilai mengancam dunia, kecuali berada di tangan sendiri dan sekutunya. Fakta-fakta diputarbalikkan lewat retorika semau gue.


Bagi yang cermat mempelajari sejarah, ambiguitas Barat ini sesungguhnya telah lama terbaca. Tata dunia–bahkan peradaban manusia–memang tidak dibangun berdasarkan fakta-fakta, tetapi lebih ditentukan oleh ‘si kuat’ agar mereka yang lemah senantiasa berada di bawah kuasa. Memasuki dekade kedua dari millenium ketiga tarikh masehi, tata hubungan umat manusia ternyata belum beranjak jauh dari ‘hukum rimba’. Wajar bila ‘naluri barbar’ muncul dan bertanya, kenapa si durjana tidak ‘dikayau’ saja? Agar keseimbangan jagad kembali tercipta? Agar bencana kemanusiaan tak lagi melanda?


Tentu saja naluri ini hanyalah sebuah utopia di tengah ketakberdayaan dunia ketiga. Lagipula urusan kayau-mangayau telah lama punah dan tinggal cerita.

Catatan:

*Tulisan ini sudah publish pada Harian * RADAR BANJARMASIN Edisi Senin 7 Mei 2007

Norpikriadi


Kurang lebih 152 tahun lalu, tepatnya pada 28 April 1859, pecah huru-hara terbesar di Kalimantan, yaitu Perang Banjar. Satu aspek yang luput atau minimal kurang terekspos pada tulisan-tulisan terdahulu tentang peristiwa tersebut adalah berkaitan dengan terdapatnya praktik ngayau dalam perang tersebut.


Ngayau atau Kayau umumnya dipahami sebagai kebiasaan memenggal kepala di kalangan pribumi Kalimantan tempo dulu. Tapi menurut Darius Dubud (2004: 45), mangayau bukanlah sekedar potong kepala tanpa makna, atau semacam tindakan barbar. Sebagai penghuni tertua Pulau Kalimantan, orang Dayak sejak dulu hidup menyatu dengan alam. Dalam perjumpaannya dengan alam mereka mengalami kuasa Tuhan, sehingga seluruh perilaku diarahkan untuk menjaga keseimbangan aspek jalal dan jamal (positif dan negatif). Setiap perilaku menyimpang akan mengundang kemarahan Tuhan yang dinyatakanNya dalam bentuk bencana alam. Dari sudut inilah menurut Dubud, bisa dipahami makna sebenarnya dari mangayau, bahwa tradisi memenggal kepala itu adalah suatu ritus untuk memelihara keseimbangan alam.




Subjektifitas Penafsiran


Penjelasan Darius Dubud di atas menyingkap nilai filosofis dan teologis di balik tradisi ngayau. Dalam hal ini, korban kayauan tentulah individu atau kelompok yang dianggap berdosa secara adat, sehingga kepadanya ‘sah’ untuk dikayau. Jadi kayau adalah sebuah bentuk sanksi, atau semacam tumbal keseimbangan alam demi terhindarnya umat manusia dari murka Tuhan.


Persoalannya, ketika orang Dayak belum berada dalam ‘kesatuan etnis’ seperti sekarang, tentu terdapat subjektifitas di antara sub-sub kelompok suku dalam menafsirkan siapa yang berperilaku menyimpang, dan siapa yang berhak menghukum? Sebagaimana yang diungkap Helius Sjamsuddin (2001: 50-56) hingga tahun 1850-an perang antar suku masih kerap terjadi di pedalaman Kalteng, misalnya antara Suku Ngaju versus Siang-Murung, atau antara Suku Ngaju versus Suku Pari. Dari dua jenis perang suku (kayau dan asang), kayau adalah jenis serangan dari sekelompok kecil suku tertentu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak musuh yang akan diburu kepalanya.



Bagi kebanyakan bangsa beradab, praktik semacam itu jelas sukar diterima akal sehat. Tidak heran ketika Belanda pada tahun 1802 menjalin kontrak politik dan ekonomi dengan Sultan Banjar (penguasa Kalimantan Selatan dan Tengah waktu itu), wakil mereka, Komisaris F. van Boeckholtz, di antaranya mensyaratkan sultan harus bertindak tegas: “kepada orang di negeri-negeri Dajak jang kerdja itu potong kepala supaja dikasih hukuman potong kembali di muka lodji kompeni..”(Arsip Nasional RI, 1965: 163).


Apalagi kurang lebih setengah abad kemudian, orang-orang Belanda juga menjadi sasaran kayau dalam Perang Banjar. Mereka–setidaknya yang tercatat–adalah para serdadu dan awak kapal perang Onrust yang ditenggelamkan di hulu sungai Barito pada Desember 1859 oleh Tumenggung Surapati dan pengikutnya. Menurut Parelaer (di dalam Sjamsuddin.Op.Cit:233), dalam serbuan itu prajurit-prajurit Dayak yang dipimpin Surapati memenggal kepala-kepala korbannya sebagai piala kemenangan.


Sebagai pengusung peradaban Eropa (Barat), dapat dipahami apabila Belanda berupaya menghapus tradisi barbar tersebut, sebagaimana yang tersirat pada isi Kontrak 1802 di atas. Namun fakta lain Perang Banjar tentang para pemimpin perlawanan yang dikemukakan Idwar Saleh (1991: 26-27, lihat juga Saleh: 1985: 23) barangkali menyajikan sebuah paradoks yang mencengangkan. Berikut fakta-faktanya:


Setelah ditangkap secara tipu muslihat di Batu licin, Demang Lehman yang dihukum gantung pada 1864 di Martapura, kepalanya dipotong untuk masuk museum Belanda. Setahun kemudian, Penghulu Rasyid yang terluka dalam pertempuran di Banua Lawas Kelua, kepalanya juga dipenggal oleh seseorang yang tergiur oleh bayaran Belanda. Kepala sang penghulu diserahkan pula kepada mereka. Nasib serupa dialami Tumenggung Jalil yang gugur pada 1861 dalam Pertempuran Tundakan di Awayan. Mayat tumenggung ini sebetulnya telah lama dikuburkan secara rahasia oleh pengikutnya. Namun setelah lokasinya diketahui, makam itu segera dibongkar dan tengkorak kepalanya juga diambil Belanda untuk dimuseumkan.



Sukar dipahami, Belanda yang menganggap diri beradab itu ternyata juga ‘mangayau’ musuh-musuhnya. Fakta ini membuktikan, betapa tipisnya perbedaan (malah kadang tertukar) antara bangsa beradab dengan yang dianggap biadab.



Ambiguitas Barat


Bila peradaban oleh kamus diartikan sebagai kemajuan budaya batin, maka beradab tidaknya suatu bangsa ternyata tidak sepenuhnya diukur berdasarkan nilai-nilai peradaban itu sendiri. Dalam konteks hubungan internasional tempo dulu, keberadaban atau kebiadaban lebih ditentukan oleh pihak yang menguasai sistem memori massa dengan dukungan teknologi cetak, budaya tulis, serta ditopang pula oleh–tentu saja–kekuatan militer dan ekonomi. Keunggulan dalam hal ini memungkinkan suatu pihak leluasa mendefinisikan diri sebagai bangsa beradab, lalu atas nama peradaban merasa berhak untuk mencaplok, mengagresi, dan mengkoloni bangsa lain yang dicap biadab.


Maka memberadabkan dunia timur pun seakan menjadi obsesi dan misi mulia bangsa-bangsa Barat masa itu. Ini misalnya tecermin dari kutipan lagu mars militer Belanda ketika mereka memerangai Aceh: “Ke Aceh Keraton! Sarang segala kejahatan… Dengan sang tiga warna Belanda’ peradaban’ tumbuh..” (Tempo: 2003: 70). Namun ketika diterjemahkan ke dalam realitas, pemberadaban itu tak lain adalah sebuah fakta tentang eksploitasi habis-habisan kekayaan negeri jajahan untuk dialirkan ke Eropa sana.


Ironisnya spirit kolonialisme ini seperti tak mudah pupus dari muka bumi, meski kini ia terbungkus lewat metode yang lebih halus, canggih, dan legitimate. Buktinya, masyarakat dunia seakan tak berdaya dengan sepak terjang Amerika Serikat sebagai garda depan peradaban Barat saat ini. Melalui penguasaan sistem komunikasi dan informasi dengan segala teknologi canggihnya, Amerika sanggup mendiktekan opini dunia tentang segala sesuatu, sesuai dengan kepentingannya. Semua seolah ‘tersihir’ untuk selalu tunduk pada ‘titah’ sang Adi Daya tentang langkah yang harus ditempuh sebagai tindakan bersama, demi terwujudnya tatanan dunia yang lebih baik, demokratis, dan beradab (dalam versi Amerika, tentu).



Vietnam, Uganda, Kuba, Afganistan, Irak (mungkin berikutnya Iran) adalah bagian dari korban pemberadaban ala Amerika. Seperti di masa lalu, taring kavitalis selalu menyeringai rakus di balik misi pemberadaban yang rapat membungkusnya. Taring yang siap menerkam, menghisap, dan melahap minyak, gas, batubara, emas, timah, atau potensi strategis lain di setiap jengkal muka bumi.


Oleh Karena hampir semua berlangsung di bawah resolusi PBB, maka agresi militer pun menjadi sah untuk dilancarkan. Dunia diberadabkan dengan cara yang sama sekali tidak beradab. Negara-negara tirani didemokrasikan lewat cara yang tidak demokratis (tetapi tidak terhadap tiran yang menjadi budak kavitalisnya). Teknologi Nuklir dinilai mengancam dunia, kecuali berada di tangan sendiri dan sekutunya. Fakta-fakta diputarbalikkan lewat retorika semau gue.


Bagi yang cermat mempelajari sejarah, ambiguitas Barat ini sesungguhnya telah lama terbaca. Tata dunia–bahkan peradaban manusia–memang tidak dibangun berdasarkan fakta-fakta, tetapi lebih ditentukan oleh ‘si kuat’ agar mereka yang lemah senantiasa berada di bawah kuasa. Memasuki dekade kedua dari millenium ketiga tarikh masehi, tata hubungan umat manusia ternyata belum beranjak jauh dari ‘hukum rimba’. Wajar bila ‘naluri barbar’ muncul dan bertanya, kenapa si durjana tidak ‘dikayau’ saja? Agar keseimbangan jagad kembali tercipta? Agar bencana kemanusiaan tak lagi melanda?


Tentu saja naluri ini hanyalah sebuah utopia di tengah ketakberdayaan dunia ketiga. Lagipula urusan kayau-mangayau telah lama punah dan tinggal cerita.

Catatan:

*Tulisan ini sudah publish pada Harian * RADAR BANJARMASIN Edisi Senin 7 Mei 2007


Gunung Sadahurip Atau Gunung Singkup yang Mengandung Piramid Emas di Dalamnya

1322557852649344068

Berbentuk mengerucut mirip piramida, Gunung Sadahurip yang dapat ditempuh melalui Desa Sukahurip Kec. Pangatikan ATAU Desa sindanggalih kecamatan Karang Tengah Kab. Garut, banyak didatangi peneliti dalam maupun luar negeri.

Di gunung ini adalah tempat ayah dan ibu saya bertani ternya tidak di sangka gunung ini mengandung piramid

gunung ni di kelilingi oleh kampung kampung dan desa di antara nya Cibadak kampungku, Sadahurip, sangojar,cicapar,

kenapa gunung ini nama nya beda-beda?

karena menurut orang sadahurip dan cicapar ini nama nya gunung sadahurip,,,, dan menurut kampung cibadakdan kampung sangojar ini dinamakan gunung singkup…..

Letak Gunung Sadahurip/singkup di sebelah timur Kampung Cicapar, Desa Sukahurip Kecamatan Pangatikan Garut, dan sebelah barat Kampung Sindang Galih Desa Sindang Galih Kecamatan Karangtengah. Gunung tersebut juga dikenal dengan sebutan gunung Putri yang memiliki bentuk piramida dengan empat sisi dan sudut lancip yang terbentuk jelas.

Menurut Sekertaris Desa Sukahurip Sarif Hidayat, Gunung Sadahurip tersebut sudah berkali-kali diteliti, namun belum ada paparan terkait hasil penelitian berupa peninggalan bersejarah. “Sudah berbagai pihak yang datang untuk meneliti, termasuk dari tim luar negeri. Tapi, belum tahu hasilnya,” ujarnya.


Penelitian Gunung Sadahurip yang bentuknya terlihat mengerucut atau seperti Piramida dari daerah manapun, sudah mulai diteliti sejak tahun 2008. Sekitar sebulan lalu, tim peneliti dari LIPI selama lima hari namun pihak desa belum mendapatkan hasil laporan dari penelitian tersebut. Tim peneliti dari Jakarta juga sempat datang untuk meneliti lempengan gunung tersebut meski belum diketahui hasilnya.

Pada bagian puncak gunung kini terdapat dua lubang tanah menganga kedalaman dua meter dengan diameter 1,5 meter yang digali oleh para peneliti. “Kami tidak tahu untuk apa lubang tanah tersebut,” ujarnya.

Dengan membuktikan kehadiran piramida di Indonesia, menurut Dani, maka dapat mencatat sejarah baru dalam kehiduopan. “Adanya piramida di nusantara menunjukkan bangsa Indonesia sebagai awalnya dunia,” ujarnya. (A-158/A-89)***

Gunung Sadahurip Kampung Cicapar Kacamatan Pangatikan - Garut.

lamun di tingali mirip piramid atawa sok di sebut gunung aseupan lantaran mirip siga paranti ngasakan sangu ( aseupan )

tapi ku pakar geologi di sebut sebut Piramid anu lengit di masa peradaban Atlantis …eeemmm menarik oge…tapi masih perlu di buktikeun lamun ieu gunung ngabentuk karna di handapna aya piramid.

Teten Taryana

Resolusi Jihad Anak Bangsa NU

13225647112055177236

Tumbangnya pemerintahan kolonial Belanda oleh penjajahan Jepang 8 Maret 1942, kemudian menggiring kekuasaan Jepang di tanah Jawa Selama 3 tahun. Tak berselang lama Jepang menyerah kepada sekutu setelah kota mereka Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh Amerika Serikat. Sebelumnya perlawanan rakyat melawan Jepang telah menelan korban ribuan jiwa. Belum genap dua bulan sejak Proklamsi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tentara Inggris kemudian masuk tanggal 15 September 1945, mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober.


Kehadiran mereka tentunya atas utusan dari Sekutu untuk membebaskan tawanan Jepang. Selain itu mereka ingin mengisi kekosongan penjajahan. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana. Peritiwa perobekan bendera bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat.


Melihat hal tersebut munculah ide dari kalangan muda penggerak bangsa seperti proklamator Soekarno-Hatta untuk mengobarkan semangat perlawanan masyarakat termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Namun karena pemerintah Indonesia masih sangat muda, munculah ketidak percayaan masyarakat, melihat hal tersebut pemerintah kemudian berinisiatif untuk menemui para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama serta kiyai-kiyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya. Pada saat itu kepercayaan masyarakat terhadap para ulama cukup kuat, setelah diadakan pertemuan tersebut ulama dan kyai kemudian mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum juga ada pelopor muda seperti bung Tomo dan lainnya.



Usai perlawanan terhadap penjajahan para kyai dan santri kemudian kembali ke dalam pesantren dan mengembangkan dunia pendidikan yang berbasis tradisional serta modern. Kehidupan pesantren yang mereka jalani ternyata seringkali membuat kyai dan santri mengabaikan proses kehidupan berbangsa diluar pondok.


Kirab Resolusi Jihad ini merupakan usaha Nahdatul Ulama (NU) untuk mengenang sejarah dan meneladani perjuangan ulama kiai NU dalam mempertahankan bangsa, negara, dan agama dari ancaman musuh. Kegiatan ini menjadi upaya membangkitkan kenangan peristiwa bersejarah pada 10 November 1945 ketika masyarakat Surabaya melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Selain itu resolusi Jihad ini mengingatkan kembali semangat kyai dan ulama yang menjadi penggerak perlawanan dan perubahan bagi bangsa. Selain itu Jihad ini menegaskan kembali bahwa peran kyai di dalam masyarakat dan Negara sangat berarti, selain mereka memimpin umat didalam pesantren mereka juga bisa menjadi peminpin di medan perang.


Peristiwa 10 November 1945 merupakan awal kebangkitan semangat Nasionalisme dari kalangan para ulama Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah Jawa Timur. Peristiwa lahirnya perlawanan dari seluruh masyarakat Jawa Timur tentunya bukan peristiwa yang sederhana, tapi peristiwa bangkitnya resolusi perlawanan bersama atau Jihad melawan penjajahan.


Berkaitan dengan peristiwa tersebut NU kemudian berinisiatif untuk mengobarkan kembali resolusi Jihad yang berkobar mulai 22 Oktober 1945 dan epos kepahlawanan 10 November 1945. Ketua pelaksana harian Nasional Muhaimin Iskandar menyampaikan jika peringatan Resolusi Jihad Keluarga Besar Nahdlatul Ulama menggelar kirab ‘Resolusi Jihad’ dengan rute Surabaya-Jakarta, mulai 20-25 November 2011. Semangat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indenesia menjadi semangat yang terus dinyalakan oleh kalangan NU.


Saat ini makna Jihad bagi seluruh kader NU adalah berperang melawan radikalisme, terorisme, korupsi dan semangat untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa. Ketua Dewan Pengarah Muhaimin Iskandar yang juga Menteri tenaga kerja dan transmigrasi mengatakan bahwa kirab juga didukung oleh Jam’iyah Ahli Thariqat Mu’tabarah An-Nahdliyah, PP Fatayat NU, PP Saburmusi, PP IPNI, PP IPPNU, LPSNU Pagar Nusa yang berangkat dari Surabaya menujun ke Jakarta.



Seruan untuk melakukan Jihad diberbagai daerah tersebut merupakan seruan bersama kalangan NU untuk seluruh kader di berbagai wilayah. Kirab Resolusi Jihad dimulai tanggal 20 November hingga 25 November 2011. Rute yang ditempuh mulai PCNU Kota Surabaya menuju Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, Pati, Kudus, Demak, Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Bekasi, dan berakhir di Tugu Proklamasi Jakarta Pusat.


Tampak dalam Rombongan Resolusi Jihad Ketua Umum Muhaimin Iskandar, Koordinator Nasional Kirab, Imam Nahrowi. Kyai Sepuh Kiai Aziz Mansyur juga hadir, serta Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini. Dalam kesempatan NU memberikan santunan kepada janda pahlawan yang gugur membela Negara.


Dalam kesempatan tersebut Imam Nahrowi selalu menyapa masyarakat dan menyampaikan pesan tentang Jihad yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu Jihad untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, radikalisme serta meluruskan makna jihad yang selama ini berkembang dalam masyarakat, seperti pelaku bom bunuh diri yang mengatasnamakan Jihad. Jihad menurut Islam adalah mereka yang berani hidup melawan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan, mereka yang mencintai tanah air dan rela berkorban untuk kemanusiaan.


Dalam setiap rute yang disinggahi antusiasme warga terlihat begitu besar dengan sambutan berbagai kesenian tradisional yang meriah. Perlu diketahui NU merupakan organisasi keagamaan yang menjunjung nilai-nilai budaya sebagai akar bangsa. Untuk itu kader NU yang disinggahi rombongan resolusi jihad menyambutnya dengan kemeriahan budaya setempat.


Di Gresik, pencak silat masal dan tari Bali menjadi penyambut rombongan tiba. Kesenian debus juga tidak ketinggalan hadir di Kudus, Jawa Tengah. Di tiap daerah kebudayaan dan kesenian menjadi begitu akrab seperti Barongsai di Tegal Burok dan Kuda Singa di Cirebon, selain itu Eggrang sebuah permainan tradional tidak kalah memeriahkan acara di Pekalongan.



Acara kirab di Cirebon terlihat lebih istimewa karena rombongan kirab secara khusus memberikan penghargaan kepada Kyai Abbas Djamil sebagai salah satu kyai besar dari pesantren Buntet Cirebon. Kyai Abbas merupakan tokoh yang mendidik santrinya menjadi orang-orang besar di tanah air dengan tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren tradisional dan modern. Pendidikan yang diterapkan di Buntet mengajarkan sikap nasionalisme dan perlawanan terhadap penajajahan. Hal itulah yang dianggap sesuai dengan jiwa dan semangat NU.


Arak-arakan Peserta kirab resolusi Jihad akan terus bergerak menuju ibu kota dengan membawa tiga bendera, yakni bendera Merah Putih, bendera NU, dan Bendera Mu’tabarah An-Nahdliyah (thoriqoh NU). Semangat merah putih, NU akan berpadu menjadi sebuah kekuatan besar bangsa ini dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.



Cermin dari jati diri keluarga besar NU adalah tetap mempertahankan tradisi budaya sebagai bagian kesatuan keimanan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa. Tidak bisa dipisahkan antara NU dengan kebangsaan atau seni budaya, karena sejatinya agama tumbuh untuk merawat budaya, kemanusiaan dan persatuan bangsa. Jadi resolusi yang saat ini dilakukan NU merupakan sarana untuk mengembalikan ruh perjuangan dan semangat anak-anak bangsa dalam mengisi kemerdekaan dalam bingkai NKRI serta mengembalikan ruh warisan para pendiri bangsa dalam degub jantung NU.


NU sebagai organisasi keagamaan yang memiliki kader diberbagai wilayah harus tetap mengobarkan semangat Jihad yang damai, tanpa kekerasan dan menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa. Sudah saatnya mengembalikan semangat cinta tanah air, tetapi mencintai kehidupan dengan tindakan anti kekerasan ataupun terorisme.


Sudah cukup darah tertumpah pada saat merebut kembali tanah air dari penjajah, kini saatnya membangun toleransi yang damai dengan menjunjung nila-nilai luhur Pancasila dan kebhinnekaan sebagai salah satu kekuatan bangsa. Sudah saatnya NU menjadi garda terdepan dalam membela tanah air sebagau wujud bakti anak-anak bangsa.

Maman Imanulhaq

Ketua LDNU Jawa Barat, Sebagai peserta kirab ReSolusi Jihad NU 2011

UFO Bikin Ricuh YouTube

Headline
Sebuah video menampilkan apa yang disebut-sebut sebagai UFO kembali marak di situs berbagi video YouTube. Video pun sontak menimbulkan kericuhan di situs itu.

Menurut keterangan HuffPost, sebuah video ‘penampakan UFO’ mengenai bentuk kehidupan lain yang muncul di luar jendela pesawat yang sedang melaju dari Inggris ke Corfu sedang marak.

Meski video tersebut agak kabur, terdapat empat obyek terbang melintasi jendela pada detik 0.07 di mana tiga benda terbang bersama dan sisanya terpisah. Sontak, beberapa orang yang melihat video itu langsung mengolok video itu dan menyatakan obyek itu adalah es atau burung.

Meski banyak yang meragukan video ini, video ini berhasil mendapat banyak hits. Bagaimana menurut Anda?

Ahli Vatikan Klaim Yoga Merupakan Aksi Setan

Headline
Menurut pria yang mengklaim telah mengusir roh jahat dari 70 ribu orang ini, yoga merupakan ‘hasil karya’ setan. Yoga diklaim merupakan hasil kepercayaan yang salah.

Kepala pengusir setan Vatikan Gabriele Amorth mengatakan seperti dikutip Telegraph, yoga membuat orang meyakini Hinduisme dan ‘semua agama dari wilayah timur berdasarkan pada keyakinan salah dalam reinkarnasi.

Pendeta tua ini mengatakan, yoga membawa orang ke hal sesat, 'seperti pada buku-buku Harry Potter” yang ia yakini mempromosikan ilmu hitam.

"Di film Harry Potter, aksi iblis disamarkan dengan kekuatan, rapalan dan kutukan luar biasa," katanya.

Di sisi lain, praktisi yoga mengaku tak mengetahui apa yang membuat Amorth membuat pernyataan seperti itu.

Jurang 20 Km di Asteroid Vesta


NASA
Jurang di Asteroid Vesta (dalam lingkaran merah)

Wahana antariksa Dawn yang diluncurkan oleh NASA pada 27 September 2007 berhasil menguak misteri asteroid Vesta, salah satu asteroid terbesar di tata surya dengan diameter 515 km.

Setelah berhasil menguak adanya gunung setinggi 24 kilometer di kutub selatan Vesta yang lalu dinobatkan sebagai gunung kedua tertinggi di tata surya, kini wahana tersebut menguak adanya jurang dalam di asteroid itu.

Jurang ini begitu dalam sehingga jika diukur dari permukaan terendah ke tertinggi, kedalamannya adalah 2,5 kali tinggi Gunung Everest, atau sekitar 20 km.

Analisis NASA menunjukkan bahwa jurang tersebut mungkin tercipta karena adanya tanah longsor. Karena gravitasi Vesta sangat kecil, hanya 2 persen dari Bumi, maka diduga longsor itu terjadi secara perlahan.

Waktu terjadinya longsor yang mengakibatkan jurang di asteroid Vesta belum diketahui secara pasti. Namun, membandingkan dengan kawah-kawah di sekitar jurang, kemungkinan jurang ini sudah tua.

Penemuan jurang ini adalah salah satu penemuan Dawn yang mengagumkan. Bulan lalu, wahana Dawn juga berhasil menemukan adanya gunung setinggi 24 kilometer, dan menjadi gunung tertinggi kedua di tata surya.

Wahana Dawn sudah membuntuti Vesta selama 4 tahun. Tahun depan, misi Dawn mempelajari Vesta akan berakhir. Mulai tahun depan, wahana Dawn akan mempelajari Ceres.
Daily Mail

Stonehenge Tempat Ritual Pemujaan Matahari?

Arkeolog menemukan jejak rute prosesi dari sebuah ritual.

Stonehenge (gizmodo.com)

Arkeolog memiliki teori baru mengenai fungsi monumen batu terkenal di Inggris, Stonehenge. Peninggalan prasejarah yang diperkirakan berasal dari abad 2.400 - 2.220 SM ini diduga memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan matahari.

Seperti dikutip dari laman BBC, telah ditemukan dua lubang yang diduga pernah digunakan dalam ritual persembahan matahari, sebelum batu-batu besar itu didirikan.

Lubang itu diposisikan dalam susunan yang mengarah ke langit, yang mungkin di dalamnya diisi batu, tanda, atau api yang menandakan terbit dan terbenamnya matahari.

Tim survei arkeologi internasional menemukan lubang-lubang itu dalam program Stonehenge Hidden Landscape Project. Tim ini menggunakan teknik pencitraan geofisika untuk menyelidiki situs.

Arkeolog dari Universitas Birmingham, Inggris, dan Institut Pemanfaatan Arkeologi Ludwig Boltzmann di Wina, Austria, telah melakukan survei sub-permukaan sejak musim panas tahun 2010.

Rute Prosesi


Dugaan awal, lubang-lubang di Stonehenge itu merupakan membentuk jejak Neolithic Cursus, yang mungkin merupakan formasi dari rute prosesi ritual masa lalu. Ritual itu diasumsikan untuk melakukan peringatan pergerakan matahari yang bergerak melintasi langit saat pertengahan musim panas (midsummer solstice).

Sebuah cursus (serupa jalan) terdiri dari dua lubang parit yang berbentuk pararel. Selain itu, terlihat juga sebuah celah di sisi utara cursus, yang diduga sebagai pintu masuk dan keluar selama prosesi berlangsung.

Penemuan ini mengungkap kalau situs itu sudah pernah digunakan sebagai pusat ritual utama, sebelum batu-batu itu didirikan. Ritual diduga telah dilakukan sejak 5.000 tahun silam.

Profesor Vince Gaffney, arkeolog Universitas Birmingham yang menjadi pemimpin proyek ini mengatakan, "Ini merupakan pertama kalinya kami melihat sesuatu seperti ini di Stonehenge. Ini memperlihatkan suatu penjelasan yang kompleks mengenai bagaimana ritual berlangsung di cursus dan lanskap yang lebih luas."

Gedung Putih Menyatakan UFO Tidak Ada

alt


Dua petisi yang di tanda tangani oleh lebih dari 17.000 orang yang meminta, "Segera ungkap komunikasikan dan pengetahuan pemerintah dengan makhluk luar angkasa."






Awal bulan ini, dua petisi dengan tujuan yang sama mampu mengumpulkan jumlah tanda tangan inisiatif yang diperlukan untuk mendapatkan tanggapan pemerintah. Pemohon meminta pemerintah mempublikasikan file-file atas alien, tapi Gedung Putih mengklaim bahwa mereka tidak punya apa-apa untuk dipublikasikan.

"Pemerintah AS tidak memiliki bukti bahwa ada kehidupan di setiap planet luar kita, atau kehadiran makhluk luar angkasa telah dihubungi atau terlibat pada setiap anggota umat manusia," jawab Phil Larson dari Gedung Putih Kantor Kebijakan Sains & Teknologi pada 5 November. "Selain itu, tidak ada informasi yang bisa dipercaya untuk menunjukkan bukti-bukti apapun yang tersembunyi dari mata publik."


Larson mengakui keberadaan alien, dan menggambarkan berbagai proyek NASA bertujuan mencari mereka, namun ia menekankan bahwa "tidak ada bukti yang cukup untuk mengungkapnya."



Pernyataan resmi Gedung Putih tidak memuaskan kepentingan publik. Salah satu petisi mengutip jajak pendapat menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen orang Amerika percaya ada kehadiran makhluk luar angkasa, dan lebih dari 80 persen percaya pemerintah tidak mengatakan kebenaran tentang fenomena ini.



Pengungkapan pemerintah yang terakhir mengandung beberapa ribu dokumen yang menunjukkan bukti-bukti adanya kontak luar angkasa di Inggris, Perancis, Denmark, Brasil, dan lain-lain.


"Saya merasa sedikit terkejut pada masalah ini, mengingat bukti positif dominan yang telah dikumpulkan, menyebabkan ada penolakan semacam ini," kata Dr Steven Greer, pendiri LSM Disclosure Project. "Namun, itu tidak berarti bahwa mereka berbohong."



Dalam sebuah wawancara telepon Dr. Greer berulang kali menjelaskan bahwa setiap pernyataan yang masuk akal tidak ada bukti, "Tapi orang tingkat rendah yang membuat pernyataan ini tentu bisa saja membuat klaim ini berdasarkan pada yang terbaik dari pengetahuan-Nya. Ini tidak berarti bahwa tidak ada pengetahuan tentang subjek ini dari pemerintahan."


Sementara Kantor Kebijakan Sains & Teknologi Gedung Putih mungkin benar-benar gelap pada bukti-bukti kehidupan asing, Greer secara pribadi telah bertemu dengan banyak pejabat tinggi yang tentu memiliki cerita menarik untuk berbagi. Selama 20 tahun terakhir, organisasi Greer telah mengumpulkan kesaksian lebih dari 500 orang saksi kuat yang pernah mengamati proyek-proyek yang mereka katakan jelas berhubungan dengan peradaban luar bumi.


"Ini sebenarnya cukup dikenal di beberapa proyek yang sangat rahasia," kata Greer, yang telah berkeliling dunia dan bertemu dengan berbagai individu dan pemerintah untuk meyakinkan mereka untuk menyebarkan informasi yang mereka miliki.



Pengungkapan Proyek Greer dan organisasi saudaranya, Pusat Studi Intelijen Ekstra Terestrial (CSETI) - telah mengumpulkan rekening dari berbagai sumber, termasuk saksi militer dari setiap cabang, otoritas dari beberapa instansi pemerintah, dan bahkan mantan presiden.




"Dan itu hanya puncak gunung es untuk jenis bukti yang kami miliki," kata Greer, mengacu pada foto, citra radar FAA, dan dokumen lain yang dimuat di disclosureproject.org dan cseti.org.



"Kerahasiaan seputar subjek luar angkasa sangat berlebihan, dan terus terang ilegal, bahkan orang-orang pada posisi senior di pemerintahan sering disesatkan atau ditolak aksesnya," katanya, menceritakan beberapa contoh pengarahan individu pribadi dalam posisi otoritas dan pengawasan yang menjelaskan bahwa mereka juga sedang mencari jawaban, tetapi sering menghadapi tembok kerahasiaan yang tak dapat ditembus.



"Kebanyakan orang Amerika tidak menyadari bahwa personil eksekutif senior sering tidak diberikan akses ke proyek yang sangat rahasia," kata Greer. "Terutama orang-orang yang berhubungan dengan sesuatu seperti ini di mana subjeknya yang kontroversial, dan rahasia yang sangat besar. Dikatakan secara sederhana bahwa pemerintah menyembunyikan hal ini ketika orang-orang yang kita anggap sebagai kepala pemerintahan sering menjadi korban penipuan semacam ini."




Kembali disaat pemerintahan Clinton, Greer mengatakan ia diminta untuk meringkas oleh mantan Direktur CIA R. James Woolsey pada subjek itu dan mempelajarinya, presiden mengetahui sesuatu tentang masalah ini atau "bahkan ditolak akses atau sengaja menyesatkan ketika mereka mencoba untuk mendorong informasi."



Sebuah Rahasia Sejarah



Rahasia ini dapat ditelusuri dari awal studi pemerintah tentang UFO. Greer menunjuk pada sebuah dokumen rahasia Kanada yang sengaja dirilis pada pertengahan 1970-an. Ditulis pada tahun 1951, dokumen yang menyatakan bahwa pemerintah AS sedang mempelajari teknologi luar angkasa luas, dan diidentifikasi sebagai proyek yang paling rahasia di dalam pemerintahan pada waktu itu.


"Pada waktu itu kami mengembangkan bom hidrogen, yang tidak meledak sampai tahun 1952. Jadi Anda bisa membayangkan apa jenis teknologi yang bisa lebih rahasia daripada bom hidrogen," kata Greer, yang kemudian menggambarkan dekade industri militer kompleks untuk mengabaikan dan menyingkirkan subjek penelitian luar angkasa.



"Kerahasiaan dan penolakan konyol ini bukan karena masalah ini konyol. Itu karena implikasinya sangat luas. Anda tidak dapat mengatasi informasi mengenai keberadaan kehidupan cerdas di luar sana tanpa mengungkapkan informasi ilmu dan teknologi yang begitu jauh melampaui apa yang kita lihat sekarang."

Perjalanan ke Mars Dimulai

Jika tidak ada aral melintang, robot raksasa itu akan tiba di Mars sekitar 8,5 bulan lagi.

Planet Mars, 2 miliar tahun yang lalu diperkirakan punya samudera dingin membeku. (universetoday.com)

Kendaraan penjelajah Mars terbaru milik NASA mulai melakukan perjalanan mereka ke Planet Merah. Curiosity, kendaraan berukuran sebesar mobil itu telah meluncur pada akhir pekan lalu dan tengah menempuh perjalanan sejauh 570 juta kilometer dari Bumi ke Mars.

Jika tidak ada aral melintang, diperkirakan, robot raksasa senilai US$2,5 miliar atau sekitar Rp22,7 triliun itu akan tiba di Mars sekitar 8,5 bulan kemudian.

“Kita sudah mulai perjalanan,” kata Pete Theisinger, MSL Project Manager dari Jet Propulsion Laboratory NASA, seperti dikutip dari Space, 28 November 2011. “Pesawat ruang angkasa itu dalam kondisi yang baik dan kini tengah menuju Mars,” ucapnya.

Adapun misi utama MSL ke Mars adalah menentukan apakah planet tersebut mampu atau pernah mendukung kehidupan mikrobial. Misi ini yang mulai dikerjakan sejak 2003 ini sendiri rencananya akan diberangkatkan pada 2009, namun demikian, NASA gagal memenuhi deadline.

Namun keberhasilan peluncuran tersebut baru merupakan tahap pertama dari misi sulit yang diperkirakan akan berlangsung setidaknya selama dua tahun waktu di Bumi. “Kami paham ini barulah tahap awal dari misi. Kita masih harus bekerja keras dalam 8,5 bulan ke depan,” kata Theisinger.

Rencananya, Curiosity akan mendarat di Mars pada Agustus 2012. Namun anggota tim misi tersebut tidak bisa santai membiarkan kendaraan seberat 1 ton tersebut pergi sendirian ke Mars. Mereka harus tetap memantau dan melakukan koreksi arah. Tim juga akan melakukan sejumlah tes untuk memastikan 10 instrumen ilmiah yang ada di sana bekerja dengan baik.

Ditemukan, Artefak Lain Ramalan 'Kiamat' 2012

Selama ini kiamat 21 Desember 2012 merujuk pada inskripsi Tortuguero dari bangsa Maya.

Film 2012 (Film 2012)

Bangsa Maya pernah meramalkan 'kiamat' akan terjadi pada 21 Desember 2012. Hal ini diketahui dari ditemukannya penanggalan dan inskripsi bangsa Maya yang terdapat di sebuah prasasti batu, yang ditemukan di situs Tortuguero, pesisir teluk negara bagian Tabasco, Mexico.

Tapi ternyata, ramalan 'kiamat' bangsa Maya tidak hanya ditemukan dari prasasti pada tablet batu di Tortuguero. Ramalan serupa juga ditemukan di sebuah ukiran (atau mungkin relief) yang terbuat dari batu bata, di dekat reruntuhan Comalcalco. Adapun Comacalco memiliki keunikan, karena jarang kuil Maya yang terbuat dari batu-bata.

Juru bicara Institut Antropologi dan Sejarah Nasional Mexico, Arturo Mendez, mengatakan fragmen temuan yang juga memiliki inskripsi ini telah ditemukan sejak beberapa tahun silam. Benda ini juga telah diteliti, namun tidak dipamerkan dan hanya disimpan di institut.

"Comalcalco Brick" ini kemudian ramai didiskusikan di sejumlah forum internet. Tapi, banyak yang meragukan temuan ini merujuk tanggal 21 atau 23 Desember 2012, sebagai hari 'kiamat'.

"Beberapa telah mengajukan itu sebagai referensi lain tentang 2012, tapi saya masih belum yakin," kata David Stuart, ahli epigrafi Maya di Universitas Texas, Austin, Amerika Serikat.

Stuart menjelaskan, bata itu merupakan lingkaran penanggalan. "Kombinasi hari dan bulan yang posisinya akan berulang tiap 52 tahun," ucap Stuart.

Penanggalan di bata itu, menurut Stuart, memang bersamaan dengan akhir rotasi Baktun ke-13, berdasarkan penanggalan Maya. Rotasi Baktun diperkirakan berlangsung selama 394 tahun, dan angka 13 merupakan angka sakral bagi bangsa Maya.

Penanggalan bangsa Maya diperkirakan dimulai pada 3114 SM dan berakhir di Rotasi Baktun ke-13 pada 21 Desember 2012.

Namun, penanggalan di bata itu bisa jadi menjelaskan penanggalan bangsa Maya di masa lalu. "Tak ada alasan itu tidak bisa merupakan sebuah tanggal di masa lalu, yang menjelaskan beberapa kejadian penting dan bersejarah di periode Klasik bangsa Maya. Faktanya, di glyph (inskripsi) ketiga di bata sepertinya terbaca sebagai kata kerja, 'dia (he/she/it) datang'," ucap Stuart.

"Tak ada penjelasan mengenai kalimat yang merujuk masa depan (future tense), dan menurut saya penanggalan Comalcalco ini lebih bersifat historis ketimbang sebuah ramalan," lanjut Stuart.

Berdasarkan inskripsi Tortuguero, terdapat penjelasan mengenai apa yang akan terjadi di tahun 2012. Salah satunya adalah munculnya Bolon Yokte, dewa Maya yang bersifat misterius, yang selama ini dikaitkan dengan perang dan penciptaan.

Walau inskripsi ini tidak ditemukan secara sempurna, inskripsi itu diduga menyebut kalimat: "Dia akan datang dari langit."

Institut Antropologi dan Sejarah Nasional di Mexico kemudian mengatakan, 'kiamat' pada Desember 2012 merupakan misinterpretasi bangsa Barat dalam membaca penanggalan bangsa Maya. "Ramalan barat telah memelintir cosmovision (pandangan kosmis) dari peradaban masa silam seperti bangsa Maya."



Ramalan 'kiamat' 2012 ini memang menjadi populer, terutama setelah munculnya film "2012". Film bencana besar dunia garapan Roland Emmerich ini memang mengambil inspirasi dari penanggalan bangsa Maya.

Ilmuwan Temukan Calon Planet Hunian Setelah Bumi

Headline
Para ilmuwan mengklaim bahwa mereka telah menemukan planet berpotensi untuk ditinggali manusia, karena mungkin memiliki air.Seperti yang dikutip dari TheHindu, para ilmuwan mengatakan bahwa planet eksoplanet tersebut bernama Gliese 581g, berlokasi triliunan kilometer dari Bumi dan mengorbit pada bintang di wilayah sabuk Goldilocks.

Penelitian yang dipublikasikan di Astrophysical Journal, menyatakan bahwa planet itu mungkin menyimpan air di permukaannya.

"Penemuan kami ini menawarkan perumpamaan yang penting untuk kasus planet hunian berpotensi," ujar Steven Vogt, seorang profesor ahli astronomi dan astrofisika dari University of California.

Penemuan itu merupakan hasil kerja keras selama 11 tahun di sekitar bintang kecil Gliese 581, dengan menggunakan spectometer HIRES pada teleskop Keck I, oleh tim dari University of California dengan Carnegie Institution of Washington.

"Ada sekitar dua planet di sekeliling bintang Gliese 581. Sementara planet Gliese 581g memiliki massa sekira empat kali Bumi dan masa orbitnya adalah sekira 37 hari.

Dari massa Gliese 581g, diperkirakan bahwa planet itu memiliki kondisi berbatu, serta gravitasi yang cukup untuk terjadinya atmosfir.

Pangeran Sambernyowo

Ketawang Clunthang

Lelana laladan sepi

Wusnya sepi anggayuh warsiteng adi

Lire adi sepa sepah ing asamun


Tinarbuka sagung gumlaring dumadi


Dumadine tan samar kodrating Widhi


Nulya labet harjaning gesang sesami


Dhandhanggula

Wonten malih tuladhan prayogi



Wanodyayu trahing Witaradya


Dyah Rubiah tetengere


Tansah nggegulang kalbu


Amrih kandel kumandeling ati


Duk jaman ing samana


Nyata wus misuwur


Karana sulistyanira


Risang Ayu ginarwa Sang Adipati


Trahing Mangkunagara


(Kaanggit dening Ki Soedarsono Sa’Tjiptorahardjo)


Teks Ketawang Clunthang di atas adalah sebuah gambaran tentang Raden Mas Said, yang dikenal juga dengan nama Pangeran Sambernyawa, yang Kelak bertahta di Surakarta dengan gelar KGPAA Mangkunegara I.


Beliau bergerilya melawan penjajah Belanda sejak usia 18 hingga 32 tahun. Jadi selama 17 tahun, hidupnya diabdikan untuk mengusir penjajah. Ia mempunyai garwa padmi anak dari Pangeran Mangkubumi. Mertua dan menantu ini bahu membahu bergerilya dari desa ke desa. Tetapi di tengah perjuangan itu Pangeran Mangkubumi berhasil dibujuk oleh Gubernur Jenderal Batavia untuk ditahtakan di Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Hamengku Buwono I.



Pangeran Sambernyawa sangat merakyat dannperjuangannya melawan penjajah Belanda juga bahu-membahu bersama rakyat, Sehingga beliau dalam menyatukan pasukannya selalu dengan pekikan: “Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Artinya dalam berjuang mengusir penjajah kalau satu mati, semua harus berjuang sampai mati. Kalau satu berjaya, semua juga harus berjaya. Sama rata sama rasa sama bahagia.



Di tengah perjalanan, di sebuah desa Matah, beliau beristirahat untuk beberapa waktu. Pada malam hari ada seorang warga desa yang nanggap wayang. Beliau hanya menonton dari jauh. Tiba-tiba Pangeran Sambernyowo melihat sinar dari langit turun ke halaman tempat perhelatan. Beliau mendekati cahaya itu dan ternyata berasal dari paha salah seorang penonton, seorang gadis yang kainnya tersingkap. Beliau lalu menyobek kain sang gadis di dekat pengasihan. Pada malam itu hampir semua penonton perempuan tertidur pulas, termasuk sang gadis yang kainnya tersingkap tadi.




Setelah pertunjukan usai, sang ajudan diminta memanggil seluruh penonton perempuan dan berbaris berjajar di hadapan Raden Mas Said. Setelah melihat gadis yang kainnya disobek tadi maka RMS meminta agar sang gadis bisa segera membawa ayahnya ke hadapannya.



Begitu sang ayah dihadapkan ternyata ia adalh Kyai Nuriman guru ngajinya. maka dimintalah Rubiyah, nama gadis tersebut sebagai istri. Lalu diberi gelar RAy Patahati, karena lahir di desa Matah dan mematahkan hati sang Pangeran.



Tembang ke-dua Dhandahanggula adalah untuk menggambarkan siapa Rubiah yang cantik dan kelak menjadi kepala prajurit wanita yang selalu unggul dalam peperangan. Dan putra-putrinya kelak, atas didikan sang ayahanda KGPAA Mangkunegara I, setiap panen padi, tidak ada terkecuali seluruh anggota Puri Mangukenagaran harus turun ke sawah untuk ikut ani-ani memanen padi.



Pada usia 22 tahun, R. M. Sahid dijodohkan dengan putri P. Mangkubumi yaitu R. A. Inten. Oleh mertuanya itu nama R. M. Said diberi gelar Pangeran Adipati Hamengkunegoro Senopatining Panata Baris Lalana Adikareng Nata. Pesanggrahan mereka berada di Mataram. Maka atas penghormatan sang menantu, P. Mangkubumi ditahtakan di Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Kangjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama. R. M. Sahid kemudian diangkat sebagai patih sekaligus panglima perang dan bergelar Senopati Kawasa Misesa Wadya. Selama 9 tahun mereka melawan Kartasura dan Belanda.




Ketika R. M. Said berusia 28 tahun, terjadi perselisihan dengan P. Mangkubumi yang sekaligus paman dan mertuanya. Pangkal perselisihan adalah ketika Paku Buwono II wafat, kerajaan diserahkan kepada Belanda. Belanda kemudian membujuk Mangkubumi akan diberi kekuasaan, yang disahkan dalam Perjanjian Giyanti (1755M). Inti perjanjian adalah kekuasaan Mataram dipecah dua. P. Mangkubumi diberi kekuasaan baru di Yogyakarta yang kemudian disebut Kesultanan dan PB III berkuasa di Surakarta yang kemudian disebut Kasunanan. mangkubumi lalu berganti gelar Sultan Hemengku Buwono Senopati Ngalogo Abdurarahman Sayidin Panatagama.



R. M. Said bercita-cita menyatukan kembali Mataram, maka ia terus berperang melawan Belanda, dan itu berarti melawan Kasultanan dan Kasunanan yang mau bekerjasama dengan Belanda. R. M. Said dalam berperang melawan Belanda dan juga Kasunanan dan Kasultanan memakan waktu 16 tahun dan terdiri atas 250 peperangan. Ia sendirian melawan Belanda, Hemengkubuwono I (P. Mangkubumi), dan Paku Buwono III.



Taktik penyerangan dengan menggunakan 3 cara: dhedhemitan, weweludan, dan jejemblungan. Menghindar dari musuh yang berjumlah besar, menyerang musuh ketika lengah dengan secepat-cepatnya, bunuh musuh sebanyak-banyaknya, setelah itu pergi dan menghilang. Karena taktik itulah kemudian Raden Mas Sid dijuluki Pangeran Sambernyawa.



Catatan:




Saat menulis artikel ini saya terganggu oleh beberapa telepon yang tidak harus tidak harus saya angkat. Pergulatan kekuasaan raja-raja Jawa selalu penuh dengan intrik dan tipu daya. Mengapa Belanda harus menaklukkan semua raja-raja di Nusantara? Karena ia ingin memboyong semua emas kepunyaan Raja-Raja Nusantara ke Belanda. Hanya Amangkurat I yang emasnya tidak dibawa karena mau menjadi penjilat Belanda.



Seluruh kekayaan Kekuasaan Nusantara yang dibawa ke Belanda mencapai 57.150 ton lebih emas batangan. Setelah Belanda kalah dengan Jerman, kemudian emas tersebut dipindahkan ke Bank Zurich di Jerman. Dan ketika Jerman kalah oleh Amerika, emas itu semua diboyong sebagai rampasan perang ke Amerika.



Itulah yang pada suatu hari nanti terjadi perjanjian Green Hilton antara Soekarno dan Kennedy. Intinya Amerika mengakui bahwa emas itu milik raja-raja Nusantara akan tetapi tidak ada klausul yang menyebutkan bahwa kekayaan itu bisa ditarik kembali. Dalam perjanjian itu Sukarno tetap meneken dengan catatan bahwa sewanya per tahun 2 - 3%. Dan kolateral inilah yang dijadikan aset mendirikan Bank Dunia. Hingga tahun 2008 kalau dihitung bunganya sudah hampir sama dengan nilai aset semula.



darimana raja-raja nusantara mempunyai emas sebanyak itu? Investigasi yang menarik. Apabila tulisan ini diseyujui oleh 1 juta orang, saya akan buka sejarahnya yang bisa dipertanggungjawabkan secara ideologis, secara ilmih, dan secara historis. Termasuk apa sih kesimpulan pertemuan raja-raja Nusantara tahun 2000 di Bali?
George Soedarsono Esthu

Bukti Baru Kiamat 2012 dari Suku Maya Ditemukan

Headline
Suku Maya kuno diyakini telah melakukan hal terbaik mereka untuk meramalkan kiamat yang terjadi pada 2012. Bukti kedua mendukung terjadinya kiamat 2012 ditemukan.

Arkeolog National Institute of Anthropology and History di Meksiko mengakui keberadaan referensi kedua ini pada ukian fragmen. Kebanyakan ahli menyatakan, hanya ada satu referensi selamat di glyph suku Maya, tablet batu dari situs Tortuguero di pesisir Tabasco.

Bukti kedua ini ditemukan di reruntuhan Comalcalco terdekat dan terukir pada bata disana. Comalcalco merupakan kuil suku Maya yang tak biasa yang dibangung dengan batu bata.

Juru bicara institute Arturo Mendez mengatakan, fragmen ukiran bernama ‘Comalcalco Brick’ ini ditemukan beberapa tahun lalu dan telah menjadi subyek studi.

Teori suku Maya sebelumnya meramalkan dunia akan kiamat pada 21 Desember 2012 atau 23 Desember 2012. Di sisi lain seperti dikutip DM, spesialis epigrafi suku Maya David Stuart dan banyak ahli suku Maya lain masih berdebat mengenai bukti kedua ini.

Menanggapi cepat beredarnya isu kiamat 2012, institute ini akan menyelenggarakan pertemuan 60 ahli suku Maya pekan depan di situs arkeologi Palenque di Meksiko selatan untuk ‘menghilangkan beberapa keraguan mengenai akhir satu era dan awal kalender panjang suku Maya’.

Mengagumi Manuskrip Aceh di Malaysia



TERUS terang, ketakjuban akan manuskrip kuno mengenai Aceh di Malaysia-lah yang mendorong saya menulis risalah ini. Saya tulis naskah ini di notebook saat berada pas di depan ruang pamer Galeri Manuskrip Naskah Aceh. Galeri ini berada di Koleksi Manuskrip Perpustakaan Tun Seri Lanang (PTSL) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), tempat saya saat ini menimba ilmu untuk meraih gelar doktor.


Koleksi manuskrip ini terletak di lantai 6, lantai tertinggi di gedung PTSL. Penempatannya pada lantai tersebut, saya duga karena yang disimpan dalam ruangan ini merupakan bahan-bahan yang sangat bernilai tinggi.



Encik Syahrul, Encik Zul, dan Cik Ros adalah tiga pegawai perpustakaan bidang koleksi manuskrip yang telah membantu saya pada Oktober 2011 ini untuk melihat bentuk dan membaca sepintas manuskrip peninggalan Kerajaan Aceh pada masa-masa keemasan dulu, yakni abad ke 16-17 di PTSL UKM.


Alhasil tahulah saya bahwa Dr Abdullah Sani (2005), penulis buku “Nilai Sastra Ketatanegaraan dan Undang-Undang dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin” yang diterbitkan UKM pernah “bertapa” menghabiskan waktunya setahun di ruangan ini untuk membuka, membedah, dan membolak-balik manuskrip Aceh.


Dari katalog yang saya ambil pada rak di sebelah kiri pintu masuk, ada sebuah buku katalog khusus tentang manuskrip naskah Aceh yang diberi judul “Manuskrip Naskah Acheh Satu Senarai”. Saya semakin takjub ketika membaca satu demi satu daftar katalog tersebut.


Ternyata, ada 29 judul manuskrip Aceh yang tersimpan rapi di rak dan beberapa di antaranya dipajang dalam meja kaca pada ruang galeri dalam ruangan di depan saya. Lima di antaranya adalah Sejarah Aceh, Kisah Riwayat Acheh, Kanun Syara’ Kerajaan Acheh Sultan Alauddin, Peta Acheh dan Susunan Kabinet Pemerintahan Acheh, Salasilah Taraf hulubalang serta Hukum Laut dan Dagang.



Barangkali bagi Ali Hasjmy (penulis buku Iskandar Muda Meukuta Alam, 1975), Mohammad Said (penulis buku Aceh Sepanjang Abad, 1961, 1979, 1995), Abdullah Sani (2005), M Adli Abdullah (kolumnis dan penulis buku Membedah Sejarah Aceh, 2011), dan banyak lagi lainnya yang telah menulis sejarah Aceh, akan menganggap temuan manuskrip tersebut hal yang biasa saja.


Tetapi bagi saya, melihat beberapa naskah manuskrip saja seperti Naskah Kanun Syara’ Kerajaan Acheh, Peta Acheh dan Susunan Kabinet Pemerintahan Acheh, Salasilah Taraf Hulubalang serta Hukum Laut dan Dagang, Hukum Kapal-kapal Asing yang Berlayar di Perairan Kerajaan Acheh, merupakan suatu ketakjuban yang luar biasa. Untuk pertama kalinya, wujud dari bacaan semua itu dapat saya lihat dan raba dalam bentuk yang konkret. Alhamdulillah, luar biasa.


Apa yang disebut oleh Sulaiman Tripa dalam bukunya Melawan Lupa (2011) memang patut dicerna bahwa sangatlah penting setiap kejadian dicatat dan ditulis agar dapat diingat kejadiannya dari masa ke masa. Tentulah manuskrip yang sangat bernilai tersebut merupakan peninggalan yang telah ditulis oleh pendahulu, karena mereka tahu pasti bahwa catatan mereka akan dipelajari dan dimanfaatkan oleh penerus mereka.

Tapi sayangnya, manuskrip-manuskrip tersebut saat ini berada di negeri tetangga Malaysia. Siapa yang akan mengembalikan bahan berharga tersebut ke Negeri Aceh secara utuh atau setidaknya dalam bentuk salinan atau kopiannya, lalu kita terjemahkan ke dalam bahasa Aceh, Melayu, Indonesia, dan Inggris?

T. Muttaqin Mansur
Dosen Fakultas Hukum Unsyiah,
Mahasiswa Doktoral Fakulti Undang-undang Universiti Kebangsaan,

“Kluet”, Tenggelam dalam Sejarah



Aceh Selatan dengan ibukota Tapaktuan merupakan salah satu kota sejarah di Provinsi Aceh. Banyak situs budaya yang layak dijadikan objek wisata islami di daerah itu. Sayangnya, semua terkesan ‘tenggelam’ atau hilang seiring waktu.


Tak hanya objek wisata, sejumlah suku, bahasa, termasuk wilayah pun terkesan dilupakan. Sebut saja di antaranya suku dan wilayah Kluet. Suku Kluet merupakan satu di antara dua suku lainnya—Aceh dan Aneuk Jamee—yang hidup di wilayah Aceh Selatan. Suku ini umumnya terdapat di wilayah Kluet Utara, Kluet Timur, Kluet Tengah, dan Kluet Selatan.



Sejarah Kluet


Menurut sejumlah literatur, kajian sejarah Kluet sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Laut Bangko (Bukhari RA, dkk., 2008:11). Laut Bangko dulunya merupakan sebuah danau mini yang berlokasi di tengah hutan Taman Nasional Gunung Leuser, bagian barat, yang berbatasan dengan Kecamatan Bakongan dan Kecamatan Kluet Timur, saat ini.


Dikisahkan bahwa Kerajaan Laut Bangko ini pernah megah tempoe doeloe. Raja yang terakhir yang sempat memimpin kerajaan tersebut, menurut Bukhari, dkk (2008:12) bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal, daerah ini tenggelam kala banjir besar melanda.


Penduduknya kemudian berusaha mencari daratan baru, sebagain ke Tanah Batak, sebagian ke Singkil, sebagian ada yang masih tetap pada lokasi semula dengan mencari dataran tinggi yang baru. Dari sini kemudian timbul pendapat terjadinya kemiripan bahasa antara bahasa Kluet dengan bahasa Batak, bahasa Alas, bahasa Karo, dan bahasa Singkil.


Sumber sejarah lisan (folklor) lainnya menyebutkan bahwa saat berkecamuk perang dahsyat di Aceh, ada sebuah komunitas masyarakat kala itu yang terpecah-pecah akibat menyelamatkan diri. Ada yang lari ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di selatan Aceh, ada yang melarikan diri ke pedalaman-pedalaman lainnya dalam wilayah yang sama. Yang berada di wilayah Chik Kilat Fajar kemudian membuka komunitas sendiri, yaitu di kaki gunung Kalambaloh.


Sedangkan di wilayah lainnya, juga membuat komunitas sendiri pula sehingga masih terdapat kemiripan bahasa antara yang berada di wilayah selatan Aceh (Chik Kilat Fajar) dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil, dan Tanoh Alas, termasuk Sumatera Utara.


Terlepas dari sejarah yang sulit ditemukan kekonkretannya itu, wilayah Kluet tetap dikaui sebagai satu kesatuan dalam Kabupaten Aceh Selatan. Pengakuan ini sejak daerah tingkat II Aceh Selatan masih tersebar hingga ke Singki, Subulussalam, dan Aceh Barat Daya. Hanya saja, mulanya Kluet masa itu dua wilayah saja, yakni Kluet Utara dan Kluet Selatan. Kluet Utara beribukotakan Kotafajar dan Kluet Selatan ibukotanya Kandang.


Seiring maraknya gejolak pemekaran di Aceh, tepatnya sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun pecah menjadi lima: Kluet Utara (Kotafajar), Kluet Selatan (Kandang), Kluet Tengah (Menggamat), Kluet Timur (Duriankawan), dan Kluet Barat (Pasieraja).


Ironis, pemekarana wilayah ini ternyata menimbulkan konflik baru di wilayah Kluet. Pasieraja misalnya, karena tidak ada masyarakat Pasieraja yang berbahasa ibu bahasa Kluet, orang-orang di sini terkesan tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet. Bahkan, sempat tersebar isu, jika dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat di sini akan minta wilayahnya dimasukkan ke Kecamatan Tapaktuan saja.



Karena itu, plang nama kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”. Singkatnya, pecah wilayah Kluet, pecahkan pula masyarakatnya, kendati tidak sampai menimbulkan perang berdarah.


Adat dan Budaya


Sebenarnya, Kluet memiliki adat dan budaya yang heterogen. Hal ini karena wilayah tersebut didiami tiga suku: Kluet, Aceh, dan Aneuk Jamee. Tentu saja ini kekayaan tersendiri bagi masyarakat Kluet jika mereka mau bersatu-padu.


Namun, ternyata keberagaman kebudayaan ini pula yang menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Kluet. Mereka yang berbahasa ibu bahasa Aceh seakan tidak mau disebut sebagai orang Kluet. Sebaliknya, mereka yang berbahasa ibu bahasa Kluet enggan disebut sebagai bagian dari Aceh. Inilah yang terjadi saat ini. Tidak seperti zaman dahulu, semuanya bersatu dalam bingkai kerjaan kecil, Chik Kilat Fajar.


Terlepas dari perpecahan internal itu, Kluet memiliki sejumlah adat dan budaya yang masih lestari. Adat dan budaya itu bertunas dan tumbuh dalam kearifan masyarakatnya secara umum. Adat istiadat tersebut terus kontinyu turun temurun.


Hal ini dapat dilihat pada prosesi perkawinan, sunat rasul, kematian, pengobatan, dan sebagainya. Bahkan, karena mata pencaharian masyarakat Kluet secara umum adalah bertani, adat turun ke sawah pun dimiliki masyarakat di sana yang mirip pula seperti adat meublang dalam kearifan Aceh secara luas.


Sastra Tutur



Selain itu, sejumlah sastra lisan pun masih hidup dan berkembang dalam komunitas ini. Sebut saja kebiasaan bersyair saat pesta perkawinan.


Dikenal dua macam syair dalam kearifan masyarakat Kluet: syair meubobo dan syair meukato. Syair mebobo biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Sedangkan syair meukato, merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki dan rombongan mempelai perempuan.


Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup dalam masyarakat Kluet hingga sekarang. Hanya saja, tidak semua orang dapat memainkan kedua syair tersebut. Butuh kemahiran tersendiri untuk melantunkan. Pemain syair ini serupa trobadur.


Kecuali itu, sastra lisan yang juga masih berkembang dalam masyarakat Kluet hingga saat ini adalah peribahasa. Peribahasa dalam bahasa Kluet disampaikan dengan dialek masing-masing daerah. Saat ini ditemukan tiga dialek bahasa Kluet, yakni dilek Menggamat, dialek Payadapur, dan dialek Krueng Kluet.


Dalam masyarakat ini berlaku juga mitos-mitos semisal meurampot—disamun makhluk halus. Namun demikian, nilai-nilai keislaman juga masih kokoh di sana, di samping nilai gotong royong dan sliaturrahmi. Karena itu, sangat disayangkan jika daerah ini kemudian terkesan abai dari perhatian pemerintah. Apalagi, di tengah kecamuk internal dalam masyarakat itu sendiri.
Harapan Baru


Terpilihnya Husein Yusuf sebagai bupati Aceh Selatan saat ini adalah harapan baru bagi masyarakat Kluet. Hal ini karena Husein adalah putra Kluet. Akan tetapi, sejumlah pesimistis Kluet akan terbangun juga mulai ditunjukkan oleh beberapa masyarakat. Terbukti, dua tahun periode Husein-Daska, belum menunjukkan perubahan apa-apa terhadap wilayah Kluet.


Jalan masuk ke rumah bupati sendiri, masih berlobang-lobang seperti sedia kala. Kluet pun akhirnya terkesan masih tergamak dalam sejarah masa silam. Entah sampai bila. Idimo Kak Kluat, mbang nalot sendah, pigan suang…

Herman RN, berasal dari Kluet

Negeri “Lam No” Dalam Riwayat

Negeri Daya kini disebut Aceh Jaya sebuah kabupaten pecahan Aceh Barat. Meski secara geografis dan administrasi telah dipisahkan, dua daerah ini memiliki pertalian sejarah antara Negeri Lan Na dan Pasir Karam.
Kabupaten Aceh Jaya terbentuk pada tahun 2002 dengan enam Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Aceh Besar dan Pidie; sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia dan Aceh Barat; sebelah Timur dengan Pidie dan Aceh Barat; sebelah barat dengan Samudra Indonesia.


Secara geografis daerah ini memiliki 3.727,00 km. di Aceh Jaya hanya terdapat satu bahasa daerah yakni bahasa Aceh. Suku-suku lain selain Aceh yang berdiam di daerah ini yang pada awalnya berbahasa Indonesia, setelah agak lama menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat, mereka juga berbahasa Aceh. Masyarakat Tionghoa yang kebetulan berdiam di daerah ini umumnya juga berbahasa Aceh sebagaimana masyarakat setempat.


Berawal dari Lhan Na


Di hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang disebut Lam No. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan Poli (Pidie).


Pada abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah Pasai (1417). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya melanjutkan perjalanan.


Mereka pun mendirikan negeri baru di daerah tersebut, negeri itu diberinama Daya untuk mengenang ketakberdayaan mereka melanjutkan perjalanan. Cerita yang sama juga disebutkan dalam sebuah dongeng.
Menurut H M Zainuddin (1961), dahulu kala sekelompok orang datang ke negeri itu dengan perahu, sampai di muara sungai perahu mereka kandas. Mereka semua turun untuk mendorong perahu tersebut, tapi perahu itu tetap kandas. Mereka tidak berdaya lalu turun dan membuka perkampungan di sekitar muara sungai itu. Mereka pun menamai daerah itu dengan sebutan Daya.


Suatu ketika Raja Daya dan pasukannya melakukan pemeriksaan ke hulu sungai. Sampai di sana mereka mendapati sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang yang mirip dengan bangsa Lanun dari Malaka dan Hindia Belakang. Mereka disebut orang Lhan.



Orang orang Lhan ini merupakan penduduk asli di sana, yang kala itu masih suka mengenakan pakaian dari kulit kayu dan kulit bintang yang tipis. Karena sudah lama mendiami tempat itu maka disebutlah mereka sebagai orang “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada disitu. Lama kelamaan terjadi perubahan pengucapan dari “Lhan Kana” menjadi “Lam Na” dan seterusnya ketika Belanda masuk ke Aceh ucapannya menjadi “Lam No”.


Masih menurut H M Zainudin, berdasarkan keterangan T Radja Adian keturunan Uleebalang (Zelfbestuurder) pada tahun 1945 diceritakan, Negeri Daya pernah diperintah oleh Pahlawan Syah, seorang raja yang pernah berperang dengan Poteu Meureuhom. Pahlawan Syah yang dikenal dengan sebutan Raja Keuluang merupakan orang yang kebal terhadap senjata apa pun, ia tidak bias ditaklukkan.



Ia orang yang sangat kuat. Kekuatannya itu diyakini masih menyisakan bekas berupa bekas tapak kakinya. Saat ia mencabut batang kelapa kakinya terbenam ke tanah. Tapak kaki itu disebut-sebut berada di Kuala Daya.


Disebut sebagai Raja Keuluang karena Pahlawan Syah berpostur tinggi besar, ketika dipanggil untuk menghadiri rapat (Meusapat) oleh Raja, peraturan yang diberikan Pahlawan Syah dan daerah yang dipimpinya selalu berbeda dengan daerah lain. Ia banyak mendapat keluangan, maka digelarlah dia Raja Keuluang.


Negeri Keuluang itu terdiri dari Keuluang, Lam Besoe, Kuala Daya dan Kuala Unga. Raja Keuluang meninggal setelah berperang dengan Poteumeureuhom. Raja yang kebal senjata itu berhasil ditangkap ketika daerahnya ditaklukkan. Ia meninggal dalam ikatan rantai besi.


Masa pemerintahan Raja Keuluang atau Pahlawan Syah menurut pemeriksaan Controleur Vetner di calang pada tahun 1938, diperkirakan antara tahun 1500 M sampai 1505 M. seber lain adalah T R Adian, sebagaimana dikutip H M Zainuddin. Menurutnya, pertalian keluarga Raja Keuluang tersebar dari Tanoeh Abee Sagi XXII Mukim Seulimum, Krueng Sabe dekat Calang dan Negeri Bakongan, Aceh Selatan. “Kalau naskah ini serta keterangan T R Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riayat Sjah atau Marhum Daya, jang menurut pemeriksaan Prof Dr Mussain Djajadiningrat, Marhum Daja meninggal dalam tahun 1508,” tulis H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961).


Sementara lainnya, di Kuala Ungan dekat Daya ada satu kuburan raja yang mengkat pada tahun 1497, tapi belum jelas makam siapa apakah makam Marhum Unga atau Marhum Daya. Masih juga belum jelas apakah Marhung Unga itu adalah Pahlawan Syah yang disebut sebagai Raja Keuluang, anak raja Pasai yang pertama membuka Negeri Daya.


Kemudian datang Marhum Daja Sulthan Ali Riajat Sjah jang namanja Uzir, anak dari Sulthan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin, jang bersaudara dengan Sulthan Muzaffar Sjah. Raja di Atjeh Besar dan bersaudara pula dengan Munawar Sjah Raja di Pidie. Diyakinkan negeri Keluang/Daja itu berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga, bias jadi juga dibangun oleh Marhum Daya.


Setelah Negeri Daya maju dengan berbagai hasil bumi, pada akhir abad ke XVI datang ke sana orang orang Portugis, Arab, Spanyol dan Tionghoa untuk membeli rempah-rempah. Setelah itu datang juga orang Belanda, Inggris dan Perancis. Malah sampai kini di Lam No terdapat keturunan Portugis.



Negeri Pasir Karam


Di sekitar Negeri Daya juga pernah terkenal Negeri Pasir Karam, negeri yang kemudian diyakini sebagai asal mula Aceh Barat. Kisah ini bermula dari kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Di sikolah kito balabueh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.


Hal ini sesuai dengan pendapat HM. Zainuddin dalam buku Tarikh Atjeh dan Nusantara (1961). Menurut beliau, asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.


Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.


Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh. “Di sikolah kito balabueh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata balabueh, atau berlabuh.


Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Di antara mereka malah ada yang menjadi pemimpin di antaranya Datuk Machudum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.



Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machudum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana. Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang sehingga kehidupan mereka jadi makmur.


Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap Sultan Aceh, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah untuk memperkenalkan diri. Ketika menghadap Sultan, masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.


Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama-kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada sultan Aceh saat itu seorang wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sultan dan dikirimlah ke sama Teuku Chiek Purba Lela yang menjadi wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.


Para Datuk tersebut merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan. Sultan Aceh mengirim Penghulu Sidik Lila Digahara ke sana dan berwenang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.


Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasah, dan hukum Syariat. Sultan Aceh mengirim Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah, untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.


Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1858-1870). Karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda, semakin banyaklah orang dari Minangkabau yang pindah ke sana. Di tanah Minangkabau mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.


Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keujruen Chiek Ujong Kalak.


Federasi itu disebut Kaway XVI karena dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kalak, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.


Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dikepalai oleh seorang Kejreuen yang berkedudukan di Geumpang.

Iskandar Norman


Hijrah : Perjuangan Moral, Sumbangan Penting Bagi Peradaban Umat Manusia

Apa yang dapat dicatat dari tahun baru Islam? Sebuah perjuangan moral! Ya, sebuah kisah dinamis tentang perjuangan dari sebuah kelompok masyarakat baru yang didasarkan atas nilai-nilai idealisme dan moralitas yang tinggi. Mereka adalah bagian dari kelompok yang sadar atas keadaan masyarakat yang dianggapnya telah terjadi banyak penyimpangan. Kritik pun, mereka berikan atas sebuah kondisi masyarakat yang dinilai timpang.

Ada struktur sosial yang timpang, dimana manusia diperlakukan berdasarkan garis keturunan, kekuasaan dan harta kekayaannya. Ada penindasan antar sesama, dimana budak belian dianggap sah diperlakukan apapun oleh mereka yang memilikinya. Tak ubahnya kepemilikan barang yang tidak memiliki sedikitpun hak kemerdekaan. Kecuali, hanya dimanfaatkan dan diperjualbelikan sesuka hati mereka yang memilikinya

Ada penistaan terhadap kaum perempuan, dimana mereka diperlakukan tidak sama sebagaimana manusia laki-laki yang dianggap memiliki hak yang istimewa dan berlebih. Kelahiran bayi perempuan dianggap sebagai sebuah aib keluarga sehingga pembunuhan atas mereka dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa saja. Kaum perempuan hanya menerima keputusan dari kaum laki-laki, harus siap diperlakukan apapun, termasuk dikawini secara poligami yang hampir tanpa batas.

Kemiskinan menjadi fenomena yang biasa saja, sebagai akibat ketimpangan dari struktur sosial ekonomi yang tidak adil. Perilaku curang dalam praktek jual beli barang merupakan sesuatu yang dianggap dapat dibenarkan. Pengabaian atas mereka yang lemah dan miskin dianggap sebuah kewajaran belaka, di tengah sistem masyarakat yang memuja kebendaan dan kemewahan duniawi.

Kebanggaan kelompok menjadi ikatan yang semu sebagai wujud persaudaraan yang mengagungkan atas nama garis keturunan dan kabilah yang sempit. Sistem masyarakat yang timpang, kemudian seolah memperoleh pembenaran dari sistem kepercayaan yang dibangun, yang secara simbolik terwujudkan dalam bentuk patung-patung berhala yang saat itu mengelilingi Ka’bah. Maka, sempurnalah sudah, sebuah sistem masyarakat yang tidak adil, zalim, dan tidak beradab dengan berbalut klaim atas nilai-nilai ketuhanan yang timpang.

Muhammad tampil sebagai sosok pimpinan yang berupaya memberikan penyadaran atas masyarakatnya yang timpang. Misi ilahiah dalam kerasulan dirinya, tak lain adalah perubahan sosial, berupa penolakan atas segala bentuk ketimpangan sosial tersebut. Ajaran tauhid yang mengajak pada kemurnian dalam mengesakan Tuhan direfleksikan secara langsung dalam kehidupan konkret masyarakatnya di atas moral yang tinggi, agar berlaku adil, berbuat baik, mengajarkan persamaan antar sesama umat manusia, menebar perdamaian dan manjalin persaudaraan yang sejati.

Kesadaran kolektif, berupa gugatan dan kritik atas kondisi masyarakat yang tidak adil merupakan esensi dari gerakan perpindahan atau hijrah mereka dari Makkah ke Madinah, 1433 tahun yang lalu menurut kalender bulan (lunar). Ketika ajakan atau seruan kepada nilai-nilai ilahi yang adil dan benar melahirkan berbagai reaksi tindakan yang bersifat represif dari masyrakatnya sendiri, maka hijrah merupakan wujud nyata dari sebuah keteguhan sikap dan keyakinan baru yang tidak kenal kompromi. Sejarah mencatat bahwa nilai-nilai moralitas yang tinggi mampu dipegang teguh oleh sekelompok masyarakat yang ingin keluar dari sistem sosial yang timpang dan menindas atas sesama.

Keyakinan atas sikap yang benar dan adil inilah yang merupakan esensi dari ajaran tauhid dalam Islam, sehingga melahirkan peristiwa hijrah pertama, yang kemudian dijadikan patokan sebagai pertanda awal dimulainya tahun baru Islam, 1 Muharam 1 Hijriyyah. Pada awal-awal kelahirannya, ajaran Islam memang merupakan ajaran konkret yang dinamis atas sebuah gagasan mengenai sistem masyarakat baru yang adil dan beradab. Bukan, sebuah ajaran mengenai serangkaian ritus keagamaan, yang sebenarnya baru berkembang setelah gagasan baru yang berakar pada ajaran tauhid mulai tumbuh secara memadai di masyarakat Madinah.

Jadi, apa yang dapat kita catat dari tahun baru Hijriyyah? Hijrah, jelas merupakan bagian dari penggalan sejarah perjuangan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Muslim. Bahkan, hijrah dapat dianggap pula sebagai bagian dari perjuangan atas nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlaku hingga sekarang. Sejarah akan terus mencatat dengan tinta emas, bahwa hijrah adalah tonggak sejarah yang teramat penting dan revolusioner dalam membangun sebuah peradaban umat manusia adil, penuh kedamaian dan persaudaraan sejati. Dalam konteks inilah, umat Islam telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi peradaban dunia sepanjang masa.

Umat Islam telah mempertunjukkan sebuah peristiwa bersejarah yang sangat berharga bagi umat manusia. Sudah sepatutnya, sebagai bagian dari masyarakat yang membenarkan atas ajaran tauhid, kita bisa terus menghayati dan mengamalkan pesan penting dari sejarah mengenai hijrah tersebut. Semoga, bangsa Indonesia pun dapat memetik hikmah dari peristiwa hijrah. Bahwa kebenaran, keadilan, perdamaian dan persaudaraan harus selalu kita tegakkan di tengah-tengah masyarakat.

Selamat tahun baru Islam, 1 Muharam 1433 Hijriyyah.

Sri Endang Susetiawati