Aswaja konon merupakan kepanjangan dari ” Ahlussunah Waljamaah”, sebuah nama kelompok Mayoritas Muslim tradisional di Indonesia yang mempertahankan ajaran “adat” atau Islam campuran/versi interpretasi dan persepsi kesukuan yang mulanya berkembang di tanah jawa. Kemudian aswaja menjadi Icon pilihan mereka, karena kepanjangannya memang merupakan wujud Islam yang menjadi rebutan dunia Islam, sekalipun pada prinsipnya tidak senada. Aswaja menjadi gerbong kebangkitan Islam model tanah jawa, setelah lokomotif gerakan dakwah bernama Muhammadiyah lahir pada tahun 1912, aswaja bangking sebagai kuda hitam yang membendung arus pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul, yang direpresentafikan oleh rival rivalnya sebagai pendiri paham ” wahabi”. ” aswaja” yang lebih menjangkau masyarakat awam dan kalangan tokoh tokoh muslim adat memang disambut gempita oleh mayoritas pengikutnya, sebagai gerakan antisipasi dan antipati terhadap dakwah Muhammad bin Abdul wahab, yang kemudian menjadi bahan olokan “wahabi”. Dalam hal ini Muhammadiyah 1912 yang mengikuti jejak “Muhammad bin Abdul wahab” membangkitkan gairah beragama bebas polusi Tahayyul, Bid’ah dan Churafat ( TBC), adalah tema yang memicu gerakan anti Muhammad bin Abdul wahab itu muncul. Diawal lahirnya “Muhammadiyah”, fenomena anti wahabi memang mencapai puncaknya, hingga ketenangan berorganisasi yang konotasi keagamaan tertanganggu dan tergugat oleh kelompok “mayoritas” yang menyempal KH. Ahmad Dahlan sebagai gerakan sesat.
Aswaja yang berbasis pesantren pesantren di Indonesia, memang agak norak dalam pamir kata ” aswaja” , dengan perangkat hadit hadist yang bermuatan kata “ahlussunanh” dan Kata “Mayoritas” digunakan mereka guna meyakinkan umat bahwa mereka memang ” ahlussunah waljamaah (aswaja) yang dikenal dalam islam sebagai kelompok “mayoritas” (sawad al a’dlom). Sosok sosok tokoh umat pesantren sebagai pengasuh pengasuh pesantren adalah trendy aswaja dan menyatakan kelompoknya adalah “ulama ulama”, kendati hanya dengan modal apa adanya. Muncul pembelaan yang luar biasa dari mereka tentang nikmatnya hidup ditengah tengah ulama mereka yang menjadi payung pesantren pesantren yang marak di dijawa ketika itu. Pada tahun 1926 berdirilah NU, secara resmi menjadi media kalangan kyai kyai yang mensejajarkan dirinya dengan ulama. Lewat dakwah dan tausiyah mereka sejak berdirinya NU hingga sekarang, selalu mendengungkan anti wahabi (Muhammadiyah). Kebencian itu mencapai puncaknya pada tahun 1955, ketika berdirinya partai NU sebagai benteng dan media kaum adat , yang alergi dengan Masyumi (yang dipersentasikan sebagai gerakan wahabi waktu itu). Berbagai tokoh ormas Islam dari Persis (Pendiri A. Hassan bandung) , Al Irsyad dan Muhammadiyah tak luput dari anggapan NU, bahwa ormas ormas islam tersebut adalah wahabi. Sebagai jawabannya, kampanye kampanye NU di tahun tersebut bertemakan “wahabi”. Dalam buku ” soal jawab A, Hassan ditandaskan menjawab kampanye kampanye NU dengan menyebut kyai kyai (yang mengidentasikan sebagai ulama) dengan sebutan ” kyai kenduri”
Bila sekarang NU memasarkan “anti wahabi” adalah merupakan fenomena yang terulang kembali, nostalgia NU dalam mengenang kembali kondisi lama yang pernah terjadi. Menjadi lebih marah karena munculnya “salafy ” (yang dalam pandangan NU adalah wahabi) mencungkil kembali luka lama, yang dianggap lebih agresif dari sekedar debat ala Ustad A, Hassan (bandung pendiri Persis) yang mendobrak dan beranggapan tradisi tradisi di NU di masa lalu. Semacam kata ” syirik, bid’ah dan tahayyul” menggelinding kembali, membelah sunyi menjadi marak dengan suara murka NU dan orang orangnya yang merasa terancam. Ustad A, Hassan dan Hasbi Assidiqi ( silsilah Jimli Assidiqi) memang tokoh militan dalam bidang hadist dal ilmunya, keduanya adalah ulama yang menentang segala bentuk kesyirikan didalam tubuh Islam. Pada waktu itu aswaja memang tidak memiliki ulama yang kharismatik yang bisa menghadapi terpaan terpaan Wahabi Semacam A. Hassan ( yang juga menjadi teman kencan Sukarno dalam menelaah kata “wahabi”), Hasbi Assidiqi. Ustad A, Hassan yang vokal dan Hasbi yang tajam menulisnya memang tidak tertandingi selama itu. Terlebih di Madura basis NU harus menguras pikirannya untuk menghdapi sepak terjang Wahabi, yang melahirkan kader Ustad Usman Bahabazy, Ustad Abdul Kadir Muhammad. keduanya menjadi icon keberhasilan masuknya Muhammadiyah di kepulauan. Terutama ustad Usman Bahabazi ketika itu merupakan seorang tokoh yang hafal Quran dan kutubustis’ah diluar kepala, sehingga dalam segala debatnya tidak membutuhkan refrensi berupa kitab kitab yang harus dibawa. Di Madura yang sezaman ustad Usman memang belum ada seorangpun ulama yang mampu mengalahkan kehebatan dan kemampuan ilmu dan logika ustad Usman Bahabazi.
Jelasnya yang menjadi latar belakang NU, mengapa sangat membenci wahabi, memang tak pernah bisa dilepaskan dari situasi lama yang pernah terjadi pada masa transisi menuju Indonesia merdeka. ketika itu lahir seorang penulis aswaja ( kalau sekarang mungkin sama dengan Abu Salafy =anti wahabi, atau dengan situs Sarkub dan situs resmi NU yang menggambarkan “wahabi sebagai momok”) adalah KH. siradjuddin Abbas) penulis buku berjilid jilid 40 puluh masalah dalam Islam. Buku ini satu satunya buku aswaja model NU yang ditulis sekitar tahun 60 an yang paling getol memerangi wahabi. Buku ini juga sarat dengan kebencian kepada wahabi. Berbagai fitnah dan tulisan berrefrensi yang tidak jelas asal usulnya, semuanya tertulis dalam buku tersebut. Misalnya Siradjuddin Abbas menulis, menggmbarkan dengan kebohongannya bahwa Ibnu Taimiyah menyatakan Allah Duduk diatas Kursi layaknya manusia duduk diatas kursi”. Juga pembahasan dg retorika mantiq dan ilmu kalam sangat terasa sekali, menjadi nuansa tersendiri dalam tulisan tulisan Abbas. Ini saja sebuah buku tandingan yang ditulisa secara terpaksa oleh pengarangnya guna menanggapi tulisan tulisan yang dikenal Abbas, sebagai tulisan Wahabi.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah; persetruan Aswaja Vs wahabi adalah persetruan antara muslim ada dan muslim murni, Aswaja mewakili muslim tradisi dalam sepak terjangnya sebagaimana kaum adat ketika menghadapi kelompok Padri dijaman Imam Bonjol, sedangkan Wahabi lebih menuju Islamisasi dalam semua lini aqidah, ibadah dan masyarakat dengan konsep Islam abad pertama, tentu sama dengan kaum Padri yang berusaha menumpas kebiasaan adat yang salah menurut tinjauan wahabi berdasarkan refrensi kitab kitab klasik keislaman.
Sulthony El-madury