Sabtu sore, mendung cukup memekatkan langit Surabaya.
Sore, pukul 15.00 WIB, aku dan seorang kawan backpacker, bersiap berangkat touring candi menuju Sidoarjo. Destinasi yang kami tuju kali ini, yaitu Candi Pari dan Candi Sumur. Keduanya berlokasi di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Hujan rintik-rintik ikut menemani perjalanan kami menuju Porong. Jalanan lumayan ramai, didominasi oleh kaum buruh yang sedang berpulang ke rumah masing-masing setelah seharian bekerja.
Porong, merupakan sebuah kota kecil sebelah selatan Kabupaten Sidoarjo. Kota ini, berbatasan dengan Kecamatan Tanggulangin di sisi utaranya. Sedangkan di sebelah selatan, berbatasan dengan Gempol; yang sudah termasuk Kabupaten Pasuruan. Kota Porong, beberapa tahun belakangan, lebih populer dengan Lumpur Lapindo. Siapa yang tidak tahu dengan Lapindo? Rasanya, hampir semua orang, sekarang, sudah mafhum dengan nama yang satu itu.
Kembali ke masalah touring…
Setelah sekitar sejam perjalanan, ditambah bertanya ke beberapa orang, akhirnya tiba juga kami di Candi Pari. Bagaimana alur kisah tentang candi yang satu ini? Ini dia…
Sebelum memasuki kawasan candi, kami memasuki perkampungan desa Gedang. Jalanan di desa ini beraspal halus. Rumah-rumah penduduk berjejer rapi, bersih, dan berhalaman luas. Hawa sejuk menyergap tubuh. Tidak lama, view persawahan hijau luas menghampar, tersaji di depan mata. Tampak kejauhan, eksotika Gunung Arjuno dan Gunung Penanggungan menghias di sore jelang senja ini. Awan-awan berkelebat mendung, menghalangi pandangan kami terhadap kedua gunung kaya sejarah tersebut.
***Candi Pari, begitu masyarakat sekitar menyebutnya. Rasanya kosakata “Pari” tak asing bagi masyarakat Jawa. Kata ini merujuk pada sebuah hasil pertanian yang berupa pari atau padi. Kata Pari lebih berasosiasi pada keadaan desa di sekitar candi, yang subur dan makmur. Sehingga, kemakmuran masyarakat desa Pari, lalu digunakan sebagai nama candi yang terletak di tengah-tengah pemukiman masyarakat desa.
Candi Pari, sebuah bangunan suci peninggalan Imperium Majapahit; khususnya peninggalan pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Candi ini, dibangun pada 1293 Saka atau 1371 M. Angka Tahun Saka, tertera pada ambang atas pintu masuk candi. Secara keseluruhan, struktur candi terbuat dari batu bata merah. Bentuk candi ini tergolong tambun. Agak kurang lazim pula jika dibandingkan dengan kebanyakan candi peninggalan Majapahit yang terkesan ramping. Posisi candi, tegak menghadap ke barat. Saat menaiki batur candi yang berundak, tampak kejauhan di selatan, Gunung Penanggungan yang gagah perkasa. Gunung yang berwarna biru, berselimut awan mendung, seolah berpesan; jangan sekali-kali mengabaikan sebuah sejarah bangsa, sebab sejarah, punya banyak andil terhadap zaman kekinian.
Di dinding sebelah selatan dan utara, ada dinding tonjolan ke luar. Dinding tersebut, merupakan replika dari bangunan Candi Pari. Struktur bangunan ini, berada di antara bilik yang bisa langsung tembus ke dalam ruangan candi. Di bagian atas struktur tonjolan ini, ada sebuah hiasan. Hanya saja, kami tidak mengetahui secara pasti, hiasan apakah itu.
Nah, sebelum menaiki candi, ada anak tangga yang terlebih dahulu kita naiki. Uniknya, struktur tangga berbeda dengan lazimnya candi-candi di Jawa Timur. Kalau umumnya candi, tangga langsung terhubung dengan pintu utama di bagian depan. Untuk Candi Pari, tangga terbangun di sisi utara dan selatan. Setelah itu, kami menginjakkan kaki di batur candi; untuk kemudian bisa menaiki tangga yang agak curam juga, langsung menuju area dalam candi. Sebagian besar fisik candi, dipenuhi dengan lumut. Bahkan di bagian atas, mendekati puncak stupa, ada serabut-serabut akar liar. Yang menyenangkan, Candi Pari, berada di antara taman hijau yang dipenuhi banyak tanaman hias. Setidaknya ini yang bisa membuat setiap pengunjung merasa nyaman dan senang.
Ada satu cerita yang kami peroleh dari seorang jupel (juru pelihara) candi. Sebut saja, namanya Pak Simin (55 tahun). Beliau berujar,
“Setiap candi, itu sudah pasti ada makhluk gaib yang menjaganya. Tak terkecuali candi ini. Candi Pari, berada dalam penjagaan seorang perempuan berjilbab dan seorang kakek tua. Ini artinya, sebuah candi dikatakan masih punya soul jika ada makhluk gaib yang menungguinya. Jika tidak, maka candi biasanya sudah tak bersisa ataupun hancur.”
Apa yang disampaikan Pak Simin, patut kita renungkan. Sebab, terkadang di antara kita ada yang sembrono saat berada di percandian. Bentuk kesembronoan bisa berupa memasuki atau menaiki candi tanpa seizin juru kuncinya. Selain itu, berlaku atau berkata-kata yang tidak sepantasnya juga termasuk hal-hal yang kurang beretika saat berada di sebuah bangunan suci. Nah, untuk itu, demi keselamatan, memang kurang semestinya bagi pengunjung yang bertingkah-laku secara tidak baik.
Candi Sumur….
Puas bereksplorasi di Candi Pari, kami lanjutkan ke candi Sumur. Lokasi persis candi ini, dekat dengan Candi Pari. Dan, candi ini juga dibangun pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk.
Candi ini, berstruktur sama dengan Candi Pari, yaitu berbahan bata merah. Sayangnya, candi ini hampir rusak tatanan fisiknya. Lebih dari 70%, struktur kaki candi, telah direstorasi. Artinya, Candi Sumur, telah kehilangan bentuk asli di bagian bawahnya. Pun demikian dengan bagian badan candi. Di bagian ini, bahkan kondisi candi hanya terlihat “separuh” saja. Bagian yang hilang separuh ini, lalu ditopang dengan pilar beton sederhana di bagian inti dalam, secara vertikal. Baik di Candi Pari ataupun Candi Sumur, tidak terlihat panel relief yang menceritakan kejadian zaman dahulu. Ini jelas membuat kami kurang bisa bereksplorasi lebih dalam lagi, terhadap kedua candi Majapahit ini.
Menurut Laporan J. Knebel dalam Rapporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera 1905-1906, Candi Pari dan Candi Sumur dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.
Namun, ada folklore masyarakat yang mengatakan bahwa konon Candi Pari dan Candi Sumur dibangun untuk mengenang peristiwa hilangnya pasangan suami istri, yaitu Jaka Pandelengan dan Nyai Loro Walang Angin karena tidak mau tinggal bersama raja. Sampai sekarang, kedua candi ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah. Kisah ini begitu melegenda di masyarakat sekitar candi.
Sore semakin mendekati temaram senja. Adzan Maghrib bertalun riuh di perkampungan. Kini, saatnya kami melangkah keluar desa Candi Pari. Rasa senang, bercampur kurang puas (karena tidak berhasil menemui sang perawat utama candi) bergumul menjadi satu rasa. Tetapi, tidak apalah. Kedua candi bersejarah tersebut, telah bicara kepada kami berdua, sejarah Majapahit memang agung dan kuasa kala itu. Tak cukup itu, keduanya menegaskan, wilayah yang menjadi pijakan bangunan kedua candi, dulu menjadi kantung kemakmuran Kadipaten Jenggala, salah satu wilayaha bawahan Majapahit.
Cerita-cerita tentang backpacker candi, masih akan tetap berlanjut, nantikan saja…
Salam
Ahmad Junaedi