Pada mulanya adalah Hellenisme: serbuan peradaban Yunani ke Timur. Waktu itu, Alexander The Great berhasil mengalahkan Darius. Alexander datang tidak untuk menghancurkan kebudayaan Persia. Justru ia ingin memadukan peradaban Yunani dan Persia. Setelah Alexander meninggal, kerajaannya terbagi menjadi tiga: Macedonia di Eropa, Ptolemeus di Mesir dengan Alexandria sebagai ibukotanya, dan Seleucid di Asia. Kota-kota penting yang menjadi pusat peradaban pada saat itu ialah Antioch di Syria, Seleucia di Mesopotamia, dan Bactra di Persia Timur. Bermula dari sinilah, peradaban Yunani berhasil masuk dan kukuh membekas di dunia Timur. Bahasa administrasi pemerintahan yang dipakai waktu itu adalah bahasa Yunani. Bahasa administrasi ini baru berganti Arab pada abad VII M saat Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dari Bani Umayyah berkuasa.
Di masa Umayyah, ketiga kota Hellenis itu masih menjadi pusat ilmu pengetahun, ditambah satu kota lagi, yakni Jundisaphur yang terletak tidak jauh dari Baghdad. Di bawah kekuasaan Islam, Jundishapur merupakan pusat studi ilmu kedokteran. Di sana sudah berdiri lembaga akademis dan rumah sakit besar. Ketika Khalifah al-Manshur dari Bani Abbas sakit pada 765 M, kepala Rumah Sakit Jundishapur, Jirjis (George) ibn Bakhtisyu dipanggil untuk mengobatinya, atas saran dari Khalid ibn Barmak, Gubernur Bactra. Keluarga Barmak sendiri adalah keluarga yang suka ilmu pengetahuan, filsafat, dan memiliki kecondongan kepada paham Mu’tazilah.
Harun ar-Rasyid mulai berkuasa pada 786 M. Ia belajar di bawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak, sehingga banyak dipengaruhi kegemaran keluarga Barmak akan ilmu pengetahuan. Sebab itulah, maka ketika menjabat sebagai Khalifah, Harun ar-Rasyid mengadakan proyek penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi untuk membeli manuskrip-manuskrip berisi ilmu pengetahuan Yunani. Buku itu diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Syria, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia pada waktu itu, kemudian baru ke bahasa Arab.
Diantara para penerjemah yang masyhur adalah: (1) Hunayn ibn Ishaq, orang Kristen yang menerjemahkan 20 karya Galen ke dalam bahasa Syria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab, (2) Tsabit ibn Qurra, seorang Sabian, (3) Qusta ibn Luqa, orang Kristen, (4) Hubaisy, keponakan Hunain ibn Ishaq, dan (5) Abu Bisyr Matta ibn Yunus, juga orang Kristen.
Melalui proyek penerjemahan ini, banyak karya-karya Plato, Aristoteles, Plotinus, Phytagoras, dan filsuf-filsuf Yunani lainnya tersajikan dalam bahasa Arab. Dari membaca karya emas peradaban Yunani inilah lahir kelompok rasionalis Islam, Mu’tazilah, yang menelorkan teolog-teolog besar seperti Abu Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim an-Nazzham, Bishr ibn al-Mu’tamir, dll. Jangan dilupakan pula, para ilmuwan Islam yang lahir darinya, seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, Ibn Sina,dll. Para teolog dan ilmuwan ini banyak mendapat pengaruh ajaran dari Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
Berikut ini, saya ingin memaparkan beberapa ilmuwan besar yang punya kecenderungan pada paham Mu’tazilah.
Pertama, Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (796-873 M) yang melakoni karir intelektualnya di masa Abbasiyah, persisnya pada masa al-Ma’mun. Ingat, di masa tiga khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, paham Mu’tazilah sedang berada dalam masa kejayaannya. Al-Kindi berhasil menulis 241 karya tentang logika, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi, politik, optika, dsb. Bukunya tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak memengaruhi Roger Bacon.
Sedikit saja saya ingin menyampaikan pemikiran filsafat al-Kindi tentang ruh—yang menurut keterangan dalam al-Quran, adalah urusan Tuhan (min amri rabbi). Menurut al-Kindi, ruh adalah sebuah substansi (jawhar) yang berasal dari Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Ruh bukan badan. Ia mewujud sendiri. Diantara perbedaan ruh dengan badan adalah badan mempunyai hawa nafsu dan sifat amarah.
Ruh menentang keinginan hawa nafsu itu. Ruh adalah tempat pengetahuan sejati. Dan untuk bisa mendapatkannya, seseorang mesti melepaskan ruh dari penjara badan, melakoni sikap asketis, zuhud. Pengetahuan ruh bersifat emanasi dari Tuhan dan dengan ruhlah seseorang bisa menangkap gambaran akan hakikat segala sesuatu. Ruh besifat kekal dan tidak hancur karena hancurnya badan. Hanya dengan bercerai dari badanlah ruh bisa mendapat kebahagiaan sejati. Setelah bercerai dengan badan, ruh akan pergi ke Alam Kebenaran (‘alam al-haqq). Di sini, cukup tampak bagaimana ajaran tentang al-Kindi ini mirip dengan dunia idea yang dibayangkan oleh Plato.
Kedua, Abu Bakar Muhammad in Zakaria ar-Razi (863-925 M) yang pernah menjadi direktur Rumah Sakit Ray dan Baghdad. Ia dikenal di Barat dengan nama Razhes berkat karya-karyanya dalam ilmu kedokteran. Bukunya, al-Hawi merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran Yunani, Syria, dan Arab, dan tersusun lebih dari 20 jilid. Pada 1279, ensiklopedia ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh seorang Yahudi bernama Faraj ibn Salim. Sejak 1486, ensiklopedia ini berkali-kali dicetak dan dipakai di Eropa hingga abad ke-17 M.
Ar-Razi adalah seorang rasionalis tulen. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia sendiri sudah punya potensi untuk mengetahui apa yang baik dan yang buruk tanpa bantuan nabi dan wahyu. Semua manusia, menurutnya, punya kemampuan berpikir yang sama besarnya. Perbedaan kemudian timbul karena berlainan pendidikan dan lingkungan hidupnya. Diantara pendapatnya yang kontroversial adalah: al-Quran bukan mukjizat, pendapat yang bermula dari kepercayaannya yang penuh pada kemampuan akal, sehingga tak memerlukan petunjuk al-Quran.
Sungguhpun demikian, ar-Razi bukan seorang ateis. Ia percaya akan adanya Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam ini. Namanya tercantum dalam deretan pemikir besar Islam. Dalam buku Thabaqat al-Umam karya Abu al-Qasim Sa’id ibn Ahmad al-Andalusi, ar-Razi disebut sebagai dokter umat Islam yang tiada tandingannya (thabib al-muslimin bighairi mudafi’).
Ketiga, Abu Nasr Muhammad al-Farabi (870-950 M) yang belajar kepada Abu Bisyr Matta ibn Yunus di Baghdad selama 20 tahun, kemudian pindah ke Aleppo dn tinggal di istana Saifud-Daulah. Pada waktu itu, istana Saifud-Daulah adalah tempat pertemuan para pakar ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia berkeyakinan bahwa agama dan filsafat bukan suatu hal yang bertentangan, melainkan sama-sama membawa kebenaran.
Bukunya yang terkenal tentang politik berjudul Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Suatu pemerintahan berbentuk “kota” (dalam bahasa Aristoteles: polis), menurutnya, bisa mewujud dalam tiga jenis: (1) al-madinah al-jahilah, yang anggota-anggotanya hanya bertujuan mendapat kekuasaan dan kesenangan duniawi, (2) al-madinah al-fasiqah, yang dipimpin orang-orang berpengetahuan tapi kelakuannya sama dengan para anggota al-madinah al-jahilah, dan (3) al-madinah al-fadhilah, kota ideal, yang diibaratkan semacam tubuh dengan otaknya (pemerintahnya) adalah para filsuf bijak.
Keempat, Abu Ali Husein ibn Abdillah ibn Sina (980-1037 M) yang punya karya besar berjudul al-Qanun fi at-Thibb, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Canon. Di masa Sultan Syamsud-Dawlah yang berkuasa di Hamadan (bagian barat Iran modern), Ibn Sina diangkat menjadi menteri. Ibn Sina, kita tahu, adalah orang Islam yang memiliki nama besar dalam bidang kedokteran.
Sedikit saja tentang pikiran filsafatnya tentang wujudiyyah. Wujud, menurutnya, adalah aspek terpenting dalam kehidupan, melebihi esensi (mahiyah). Esensi, menurut Ibn Sina, terdapat dalam akal, sedangkan wujud ada di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal memiliki eksistensi di luar akal. Tanpa wujud, esensi tiada artinya. Pemikiran tentang wujud ini, di kemudian hari, ikut memengaruhi lahirnya filsafat eksistensialisme di Eropa.
Singkat ceritanya dari paparan di atas, peradaban keilmuan Islam yang gemilang di tangan muslim-muslim rasionalis itu dibawa ke Eropa ketika bangkitnya kesadaran menuju Renaissance. Banyak filsuf besar di Barat yang mengakui bahwa kejayaan peradaban Yunani tidak akan bisa mereka ambil untuk membangkitkan Renaissance tanpa terlebih dahulu menerjemahkan dan mempelajari buku-buku ilmuwan Muslim itu. Sebagian pakar bahkan menyatakan bahwa ilmu-ilmu Yunani niscaya hilang jika tidak diterjemahkan, ditulis ulang, dan dikembangkan oleh para ilmuan Islam di atas.
Terlepas dari hal itu, poin utama yang hendak saya sampaikan dari tulisan ini adalah bahwa kita tidak bisa begitu jasa mengesampingkan jasa besar ilmuan Mu’tazilah itu. Sebab, jika kita menganggap mereka bukan bagian dari Islam hanya karena pandangan keagamaan Mu’tazilah sendiri yang dianggap menyimpang atau sesat dalam pandangan mainstream umat Islam hari ini, maka sungguh sedikit sekali sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia keilmuan. Tokoh-tokoh di atas baru segelintir saja. Tokoh-tokoh yang lain, saya kira, masih ada banyak.
Azis Anwar Fachrudin