Beranda » Mengenang Teuku Abdul Djalil

Mengenang Teuku Abdul Djalil



kayu ara di dalam bulan
Patah seranting digoyang gempa
Setiap tahun Nabi berpesan
Suruh sembahyang dengan puasa
(Dr Teuku Abdul Djalil Lamno)


Bait syair di atas dibacakan oleh Tgk Abdul Malik, 73 tahun, keturunan Aceh kelahiran Kampung Aceh, Yan. Tgk Abdul Malik membacakan kepada penulis ketika berkunjung ke Kampung Aceh Yan, Kedah, Malaysia, 27 September 2011. Menurut Tgk Abdul Malik, syair tersebut diajarkan oleh ibundanya ketika ia masih kecil. Dan yang paling berkesan dari syair yang bertajuk “ingatan” sebanyak dua halaman ini ditulis dan dibacakan oleh Teuku Abdul Djalil ketika dia mengajar agama Islam di Kampung Aceh, kepada murid-muridnya. Salah satu murid Teuku Abdul Djalil adalah ibunda Tgk Abdul Malik. Meskipun Tgk Abdul Malik tidak pernah berjumpa dan menimba ilmu dengan Teuku Abdul Djalil, namun beliau masih mengingat dan menghafal syair tersebut dengan penuh makna dan kesan yang sangat mendalam.

Memang, bagi generasi muda sekarang di Aceh, tidak banyak yang mengetahui latar belakang sejarah Dr Teuku Abdul Djalil, apalagi bagi warga Aceh Jaya. Akan tetapi, bagi warga Aceh Yan, Kedah, nama beliau sangat disanjung dan diingat sepanjang masa. Nama Teuku Abdul Djalil tertulis di batu nisan bersama dengan nama Teungku Abdul Hamid sebagai pengasas berdirinya sebuah sekolah yang bernama Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah, yang diasaskan dan dibangun pada tahun 1938. Tujuan utama pendirian sekolah untuk mendidik putra-putri Aceh dan menjadi pusat penyebaran agama Islam, pengajaran bahasa Aceh dan Arab serta melahirkan ulama yang berjuang untuk mempertahankan marwah bangsa Aceh dan agama Islam. Menurut Teuku Abdul Djalil, rakyat Aceh perlu ada sebuah sekolah yang dapat melahirkan tokoh-tokoh yang berkualitas tinggi dan dapat bersaing dengan sekolah Belanda dan Inggris. Maktab Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah telah membuka peluang pendidikan kepada rakyat Kampung Aceh dan kawasan yang ada di sekitar dengannya. Menurut Mohd Noor Ibrahim dan Cek Gu Abdurrahman, pada masa itu belum ada sekolah lagi di kawasan Yan, dan maktab Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah menjadi pusat pendidikan bagi rakyat Aceh dan penduduk setempat untuk belajar agama Islam. Kami sangat berterima kasih kepada Teuku Abdul Djalil dan Tengku Abdul Hamid atas gagasan beliau untuk mendirikan sebuah sekolah agama di kampung Aceh, Yan. Sekolah itu telah mendidik kami dan kawan-kawan kami menjadi orang berilmu dan bermartabat.

Meskipun sekolah tersebut telah berubah bentuk dari segi nama, kurikulum, dan sistem pengajaran, namun sekolah Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah masih dijadikan sebagai sekolah agama modern. Menurut Tgk Abdul Malik, pengambilalihan pengelolaan sekolah tersebut disebabkan kelemahan dalam pengajaran dan dana, sehingga untuk beberapa tahun sekolah tidak dapat beroperasi. Agar khazanah rakyat Aceh dapat terpelihara dengan baik, maka hasil musyawarah masyarakat Kampung Aceh, dicarikan jalan alternatif agar sekolah dapat aktif kembali. Pada masa itu, Tan Sri Sanusi Junid (putra jati kampung Aceh) sebagai Menteri Besar (Gubernur) Kedah, maka oleh tokoh-tokoh Kampung Aceh diadakan musyawarah membicarakan bagaimana agar sekolah Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah dapat beroperasi seperti sedia kala, dan anak-anak Aceh di kampung Aceh dan sekitarnya dapat belajar agama Islam. Maka pada tahun 1998 atas persetujuan Menteri Besar Kedah (Tan Sri Sanusi Junid), sekolah Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah dijadikan sekolah Maktab Mahmud. Maktab Mahmud dibiayai sepenuhnya oleh Kerajaan Negeri Kedah Darulaman dan dinaungi oleh Sultan Kedah.

Dr Teuku Abdul Djalil lahir di Lamno pada tahun 1917 dari keluarga Uleebalang Lamno. Ayahanda beliau bernama Teuku M Yunus. Teuku Abdul Djalil mengawali pendidikan agama Islam di Lamno dan melanjutkan pendidikan agama Islam di Montasik, Aceh Besar. Beliau juga teman sekolah Prof Ali Hashimy, mantan Gubernur Aceh. Kemudian melanjutkan pendidikan agama Islam di Maktab Tawalled, Padang. Setelah menamatkan pendidikan di Padang, beliau melanjutkan perjalanan “revolusi kemerdekaan” ke Pulau Pinang, sebelum melanjutkan pendidikan peringkat Doktor Falsafat dalam bidang humanitas di Universitas Lahore, India. Peristiwa yang menarik dari perjalanan beliau, sebelum berangkat ke India beliau singgah di Kampung Aceh, Yan, Kedah. Selama setahun itulah beliau menghabiskan waktu untuk mengasaskan serta mendirikan sekolah agama Islam. Keberhasilan mendirikan sekolah yang diberi nama Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah bersama Tengku Abdul Hamid ini tidak terlepas dari dukungan ulama Aceh Tgk Chik Oemar Di Yan serta masyarakat Kampung Aceh. Pendanaan sekolah melalui pengumpulan beras segenggam dari setiap rumah. Ini merupakan salah satu cara mendanai proses pembelajaran, di samping bentuk sumbangan-sumbangan yang lain, seperti zakat padi dan tanaman.

Setelah Indonesia merdeka, pria kelahiran Lamno yang pandai berbahasa Arab, Urdhu, Belanda, Inggris, dan Rusia ini kembali ke Aceh pada tahun 1952. Beliau bergabung dengan Partai Masyumi, dan terlibat dalam aktivitas ceramah agama dan politik. Teuku Abdul Djalil pernah dipenjara pada masa DI/TII di Aceh dengan tuduhan ceramah-ceramah agama dan politik beliau memihak DII/TII. Pada tahun 1956, Dr Teuku Abdul Djalil terpilih sebagai anggota konstituante mewakili Partai Masyumi dari Aceh dengan nomor keanggotaan 427. Pemikiran dan gagasan politik Dr Teuku Abdul Djalil tertulis melalui salinan pidato-pidato beliau dalam rapat konstituante: kejujuran, memihak rakyat, tidak mementingkan jabatan, dan ikhlas dalam bekerja. Ini dibuktikan oleh beliau ketika konstituante dibubarkan. Saat itu beliau tidak mau apa pun jabatan di pemerintahan Soekarno. Menurut Teuku Abdul Djalil, Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante merupakan awal mula matinya proses demokrasi di Indonesia.

Dr Teuku Abdul Djalil menghabiskan waktu di Lamno, Lhoong, dan Montasik. Masjid Jamik Lamno menjadi pusat aktivitas sosial beragama beliau bersama dengan almarhum Tgk Abdul Wahab dan Tgk Mohd Amin (keduanya Imam Masjid Jamik Lamno). Kamis malam Jumat, 21 Juni 1963, pada usia 46 tahun, Teuku Abdul Djalil wafat dan meninggalkan lima orang anak. Salah seorang anak beliau adalah Teuku Nasrullah SH, MH--pengacara di Jakarta. Batu nisan yang ditulis di depan sekolah Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah atau sekarang disebut sebagai sekolah agama Maktab Mahmud menjadi saksi sejarah sebagai kenangan rakyat Kampung Aceh dan penghargaan negara Malaysia kepada ahli keluarga kami, Dr Teuku Abdul Djalil. Semoga

Dr Muslim Amin, Dosen Pascasarjana, International Business School, Universiti Teknologi Malaysia (UTM), International Campus, Kuala Lumpur, Malaysia.



Powered by Blogger.