Orang-orang kulit hitam sudah beribu-ribu tahun mendiami benua Afrika. Diduga kaum San (yang kemudian disebut orang kulit putih sebagai suku Bushmen - orang semak) merupakan keturunan asli nenek moyang orang Afrika dari masa prasejarah yang menjadi orang pribumi Afrika. Merekalah yang diketahui sudah mendiami Afrika selama ribuan tahun sebelum Masehi.
Namun jika menyebut soal orang Afrika (saat ini), barangkali orang-orang kulit hitam dari suku bangsa Bantu adalah yang dominan. Terutama mendiami kawasan Afrika bagian Selatan. Mereka yang berbahasa Bantu ini tercatat sudah memiliki peradaban di Afrika sejak 2.000 tahun lalu.
Sayangnya, sejarah kehidupan di Afrika Selatan tidak terdokumentasikan dalam bentuk peninggalan tertulis sampai akhirnya orang-orang Eropa tiba di sana sekitar tahun 1400-an. Satu-satunya bukti yang bisa dipelajari dari mereka adalah legenda, mitologi, pola budaya dan artefak kuno serta bahasa ibu mereka.
Xhoisa adalah satu sub suku berkulit hitam Afrika berbahasa Bantu yang mendominasi wilayah Afrika Selatan. Merekalah yang menjadi nenek moyang orang-orang Afrika Selatan masa kini, yang awalnya melakukan migrasi dari wilayah Afrika bagian Utara. Perpindahan suku Xhosa ke Afrika selatan secara besar-besaran terjadi pada tahun 1500-an. Lebih dari setengah populasi suku Xhosa yang berjumlah 5 juta jiwa kini mendiami kawasan Eastern Cape Province di Afrika Selatan.
Umumnya orang-orang kulit hitam suku Xhosa ini adalah bangsa peternak dan petani. Namun mereka lebih senang menjadi petani dan peternak nomaden. Lambang kekayaan bagi anggota suku Xhosa diukur dari kepemilikan ternaknya (biasanya sapi). Begitu pun, suku Xhosa tak mau menyantap daging sapi peliharaan mereka. Sapi atau ternak lain hanya dikorbankan untuk kepentingan ritual keagamaan atau perayaan. Karena itu makanan pokok mereka lebih didapat dari hasil tani.
Kaum lelaki Xhosa terbiasa mengikuti tradisi poligami, mereka suka memiliki istri lebih dari satu, mungkin karena menjadi simbol keperkasaan. Aslinya suku Xhosa suka tinggal dalam komunitas keluarga besar dalam satu kompleks rumah. Satu keluarga besar memiliki areal kompleks masing-masing dengan rumah-rumah kecil berbentuk kerucut beratap ilalang untuk satu kepala keluarga. Namun tradisi bermukim secara berkelompok keluarag besaar ini kemudian sirna sejak tahun 1900-an.
Kehidupan asli Xhosa yang dulunya cukup makmur, ternyata berubah drastis setelah kedatangan orang Eropa di Afrika Selatan. Sejumlah besar "bule" asal Inggris dan Belanda membentuk koloni besar-besaran di daerah Xhosa. Walau awalnya suku Xhosa angkat senjata menentang kedatangan orang Eropa, namun penduduk asli ini akhirnya tergusur dan terdesak di wilayah mereka sendiri setelah kalah dalam beberapa pertempuran dengan orang-orang Inggris pada abad ke-19. Mereka pun akhirnya menjadi budak atau pekerja kasar bagi koloni orang-orang kulit putih.
Kini, suku Xhosa sudah kehilangan gaya hidup dan tradisi leluhur mereka.banyak orang Xhosa yang akhirnya hidup di perkotaan. Akibat kehilangan ladang dan kesulitan mendapatkan ternak sendiri, mereka memilih sebagai kaum pekerja di peternakan atau pertanian orang-orang kulit putih. Mereka harus mengurut dada saat berhadapan dengan politik diskriminatif kulit putih terhadap kulit hitam.
Penderitaan itu ternyata semakin parah kala konflik antar suku Xhosa dan Zulu (kelompok suku terbesar di Afrika Selatan) terjadi pada kurun 1080-an sampai 1990-an. Perang saudara ini menimbulkan korban tewas jutaan umat di kedua belah pihak. Perang “modern” mereka ini hanya karena perbedaan pandangan politik…
Perang Hitam-Putih
Tragedi tahun 1856 ini tertulis dalam catatan sejarah kehidupan suku Xhosa. Kelompok suku terbesar kedua yang menempati wilayah Afrika Selatan itu nyaris punah hanya karena seorang gadis usia 14 tahun. Kepercayaan mereka pada kekuatan magis ternyata membawa petaka yang menewaskan lebih dari 50.000 anggota suku!
Gadis kecil itu bernama Nongqause. Seorang perempuan muda suku Xhosa yang diyakini menjadi gadis muda pilihan para dewa leluhur. Ia melihat sebuah penampakan gaib yang dipercaya sebagai pesan dari dunia lain. Nongquase dianggap sebagai mediator suku Xhosa dengan para leluhur dan dewa-dewa mereka. Ia membawa pesan penting yang dipercaya bisa mengubah nasib suku Xhosa yang teraniaya… namun kepercayaan berlebih suku Xhosa justru membawa mereka ke jurang maut!
Kala itu, suku Xhosa sedang terpuruk. Mereka terdesak oleh ekspansi dan kolonialisai orang-orang kulit putih Eropa. Setelah kalah dalam beberapa pertempuran yang tak seimbang, kaum Xhosa tergusur dan menderita di tanah airnya sendiri. Kaum Xhosa yang dulunya dikenal sebagai bangsa gagah perkasa di antara orang-orang kulit hitam Afrika tak bisa menerima kekalahan telak mereka dalam pertempuran. Pada 1853, para pejuang suku Xhosa yang gagah berani melakukan konsolidasi untuk pertempuran penghabisan mengusir orang-orang kulit putih dari teritori mereka.
Sebelum serangan dimulai, pada 1854 penyakit ternak misterius mewabah dan menyerang hampir semua hewan ternak orang-orang Xhosa. Faktanya, penyakit ternak itu ditularkan dari hewan ternak orang-orang kulit putih, namun orang-orang Xhosa justru menganggap penyakit itu disebar oleh mantra sihir orang-orang "bule" yang disebut ubuthi. Banyaknya hewan ternak yang mati dan gagalnya hasil panen akibat kemarau, membuat kaum Xhosa frustasi dan membatalkan serangan.
Ramalan
Lalu pada Mei 1856, Nongqause tampil. Saat itu, gadis belia usia 14 tahun itu berniat untuk mengambil air di sebuah kolam air di tepi muara Gxarha River. Sekembalinya dari sungai itu, Nongqause melapor pada pamannya Mhlakaza bahwa ia telah bertemu 3 roh di kolam itu. Ia mengatakan bahwa ketiga roh tersebut berpesan padanya agar seluruh hewan ternak kaum Xhosa harus disembelih dan panenan mereka dimusnahkan. Setelah semua hal itu dilakukan, para pejuang dan satria suku Xhosa yang telah mati akan bangkit kembali dan membantu mereka mengusir orang-orang kulit putih. Lalu roh leluhur Xhosa akan memberi mereka ternak-ternak baru yang sehat dan gemuk untuk menggantikan setiap ternak yang sudah disembelih.
Mhlakaza yakin betul akan penampakan dan pesan yang disampaikan leluhur mereka melalui Nongqause. Dengan tergesa-gesa ia menemui kepala suku Xhosa, Sarhili. Sang kepala suku Sarhili kemudian mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat suku Xhosa untuk mematuhi petuah dan petunjuk roh-roh leluhur tersebut. Untuk pertama kalinya, kaum Xhosa pun menyembelih ternak-ternak yang paling gemuk secara massal.
Setelah pemotongan hewan itu terlaksana, Nongqause kembali ke tepi sungai tempat pertama kali ia melihat penampakan roh-roh leluhur tersebut. Di sana ia mendengar suara keras yang aneh dan menakutkan dari dalam kolam. Seperti suara lenguhan tak teratur dari hewan yang disembelih. Ia kembali melapor pada Mhlakaza tentang hal tersebut.
Mhlakaza menganggap bahwa itu adalah tanda bahwa hewan ternak harus disembelih lebih banyak lagi. Artinya seluruh hewan ternak yang dimiliki suku Xhosa diperintahkan roh leluhur itu agar tak ada yang dibiarkan hidup, begitu juga dengan setiap hasil panen jagung mereka harus dimusnahkan. Jika semua hal itu sudah terlaksana maka pada 11 Agustus 1856 (sesuai tanggal penetapan dalam penampakan Nongqause), roh leluhur akan memenuhi janjinya.
Sementara para panglima perang suku Xhosa yang nyaris kehilangan semangat tempur, akhirnya kembali bersemangat setelah mendengar soal ramalan itu apalagi mereka mendapat kabar kematian Letnan Jenderal Cathcart pemimpin pasukan orang-orang kulit putih. Kematian itu mereka anggap akibat adanya intervensi roh-roh leluhur.
Sebagian besar suku Xhosa kemudian mematuhi perintah kepala sukunya. Seluruh ternak dibunuh dan seluruh ladang dan hasil panen dibakar… Keputusan ini ternyata mengakibatkan petaka.
Kelaparan segera merambat ke seluruh daerah Xhosa. Walau sudah begitu menderita, rakyat Xhosa tetap menanti tanggal digenapinya ramalan itu.
Tepat pada 10 Agustus 1856, seluruh tetua suku, pejuang dan sejumlah besar rakyat berkumpul di suatu lapangan terbuka. Seluruh suku Xhosa mengenakan pakaian kebesaran mereka. Kalung-kalung manik dari tulang dan coret-moret khas di sekujur tubuh. Sejak matahari terbenam sampai matahari menjelang terbit, mereka menari-nari dengan tenaga yang tersisa. Di tengah bencana kelaparan berbulan-bulan mereka yakin harapan sudah di depan mata.
Matahari pun terbit pada pagi 11 Agustus 1856. Menurut ramalan, matahari yang terbit akan berwarna merah darah dan terpaku sekian lama di puncak tengah hari… kala itulah para dewa dan leluhur akan menampakkan diri dan memenuhi semua janjinya. Seluruh suku terpana memandang langit, mereka menanti-nanti keajaiban itu muncul.
Namun hingga matahari kembali terbenam tak ada keajaiban apapun yang muncul. Kecuali korban tewas akibat kelaparan semakin bertambah… mereka kemudian tersadar bahwa apa yang mereka lakukan ternyata sia-sia. Namun semuanya sudah terlambat… Yang selamat kemudian berupaya mencari makanan dari wilayah sekitar, atau yang sudah frustasi akhirnya menjadi kanibal. Mereka saling membunuh dan memakan daging sesamanya… sungguh tragedi kemanusiaan!
Sejarah mencatat 25.000 orang Xhosa yang tewas dalam tragedi tersebut. Dan total sampai suku Xhosa kembali terbebas dari kelaparan jumlah korban sudah melebihi angka 50.000 orang tewas!
Kehidupan sederhana suku Xhosa di Afrika Selatan yang nyaman dan tenteram tak bertahan selamanya. Ketenangan itu mulai terusik ketika penjelajah Eropa mulai mendarat di pantai Afrika Selatan. Lalu penderitaan dan kesengsaraan mulai menghantui mereka…
Orang Eropa pertama yang membentuk pemukiman di wilayah Afrika Selatan adalah orang-orang Belanda (The Dutch) pada pertengahan 1600-an. Mereka membangun kawasan pemukiman di wilayah dekat Sungai Fish River di Afrika Selatan. Sementara orang-orang Xhosa sudah mendiami wilayah timur sungai itu sampai teritori yang didiami orang-orang kulit hitam berbahasa Zulu (kini Kota Durban).
Suku Xhosa sebenarnya amat terbuka dan suka bergaul dengan kelompok masyarakat suku lain. Mereka berinteraksi dengan suku Koi, orang Bushmen dan suku nomaden Afrika. Terkadang untuk berdagang atau saling tukar informasi dan pengetahuan.
Namun orang-orang kulit putih mulai mendesak wilayah kaum Xhosa sehingga menimbulkan konflik. Orang-orang Xhosa tadinya adalah peternak dan petani yang menguasai padang rumput yang luas. Namun orang-orang kulit putih juga beternak dan berladang sehingga sering muncul konflik tanah.
Pertikaian kedua ras berbeda ini menyulut adu senjata pertama kali di awal tahun 1700-an di sekitar Somerset East. Lantas dalam tahun-tahun berikutnya, konflik semakin meluas setelah terjadi perluasan kolonialisasi eropa di Afrika Selatan. Lalu pada 1700-an akhir, saat orang Indo (perkimpoian silang Afrika- Eropa) melakukan migrasi dari Cape Town ke wilayah Great Fish River di Eastern Cape, mereka semakin memperuncing konflik dengan suku Xhosa.
Selama 20 tahun lebih perang dan konflik semakin menajam. Sampai akhirnya pejuang-pejuang suku Xhosa terlibat perang terbuka dengan orang-orang kulit putih. Pada 1811-1812, suku Xhosa terdesak semakin ke timur oleh pasukan kolonial Inggris dalam perang Third Frontier War.
Lantas di tahun berikutnya, suku Xhosa juga terlibat konflik antar suku Afrika dan terdesak ke barat dalam ekspansi suku Zulu (yang juga membenci orang-orang kulit putih). Akibatnya kehidupan suku Xhosa sangat terjepit. Di satu sisi oleh sesama orang kulit hitam, di sisi lain oleh orang-orang kolonial Eropa.
Kekalahan demi kekalahan dalam pertempuran tombak melawan bedil membuat mereka semakin sengsara. Wabah meluas dan ternak semakin kurus, hasil panen tak mencukupi. Kelaparan pun mengancam. Apalagi dengan munculnya gerakan pembataian hewan ternak tahun 1856 (cattle-killing movement) akibat kepercayaan buta pada ramalan Nongqause seorang gadis belia.
Peristiwa itu nyaris memusnahkan suku dominan kedua terbesar di Afrika Selatan tersebut. Bencana kelaparan dan praktik kanibalisme itu menjadi catatan paling kelam dalam sejarah Afrika Selatan!
Sejak itu Xhosa berupaya bangkit dari keterpurukan. Namun masalah perbudakan dan politik kulit putih membuat mereka menjadi bansga yang tertindas. Hingga kini konflik masih terjadi suku Xhosa masih terlibat konflik politik dengan suku Zulu!
berbagai sumber
Namun jika menyebut soal orang Afrika (saat ini), barangkali orang-orang kulit hitam dari suku bangsa Bantu adalah yang dominan. Terutama mendiami kawasan Afrika bagian Selatan. Mereka yang berbahasa Bantu ini tercatat sudah memiliki peradaban di Afrika sejak 2.000 tahun lalu.
Sayangnya, sejarah kehidupan di Afrika Selatan tidak terdokumentasikan dalam bentuk peninggalan tertulis sampai akhirnya orang-orang Eropa tiba di sana sekitar tahun 1400-an. Satu-satunya bukti yang bisa dipelajari dari mereka adalah legenda, mitologi, pola budaya dan artefak kuno serta bahasa ibu mereka.
Xhoisa adalah satu sub suku berkulit hitam Afrika berbahasa Bantu yang mendominasi wilayah Afrika Selatan. Merekalah yang menjadi nenek moyang orang-orang Afrika Selatan masa kini, yang awalnya melakukan migrasi dari wilayah Afrika bagian Utara. Perpindahan suku Xhosa ke Afrika selatan secara besar-besaran terjadi pada tahun 1500-an. Lebih dari setengah populasi suku Xhosa yang berjumlah 5 juta jiwa kini mendiami kawasan Eastern Cape Province di Afrika Selatan.
Umumnya orang-orang kulit hitam suku Xhosa ini adalah bangsa peternak dan petani. Namun mereka lebih senang menjadi petani dan peternak nomaden. Lambang kekayaan bagi anggota suku Xhosa diukur dari kepemilikan ternaknya (biasanya sapi). Begitu pun, suku Xhosa tak mau menyantap daging sapi peliharaan mereka. Sapi atau ternak lain hanya dikorbankan untuk kepentingan ritual keagamaan atau perayaan. Karena itu makanan pokok mereka lebih didapat dari hasil tani.
Kaum lelaki Xhosa terbiasa mengikuti tradisi poligami, mereka suka memiliki istri lebih dari satu, mungkin karena menjadi simbol keperkasaan. Aslinya suku Xhosa suka tinggal dalam komunitas keluarga besar dalam satu kompleks rumah. Satu keluarga besar memiliki areal kompleks masing-masing dengan rumah-rumah kecil berbentuk kerucut beratap ilalang untuk satu kepala keluarga. Namun tradisi bermukim secara berkelompok keluarag besaar ini kemudian sirna sejak tahun 1900-an.
Kehidupan asli Xhosa yang dulunya cukup makmur, ternyata berubah drastis setelah kedatangan orang Eropa di Afrika Selatan. Sejumlah besar "bule" asal Inggris dan Belanda membentuk koloni besar-besaran di daerah Xhosa. Walau awalnya suku Xhosa angkat senjata menentang kedatangan orang Eropa, namun penduduk asli ini akhirnya tergusur dan terdesak di wilayah mereka sendiri setelah kalah dalam beberapa pertempuran dengan orang-orang Inggris pada abad ke-19. Mereka pun akhirnya menjadi budak atau pekerja kasar bagi koloni orang-orang kulit putih.
Kini, suku Xhosa sudah kehilangan gaya hidup dan tradisi leluhur mereka.banyak orang Xhosa yang akhirnya hidup di perkotaan. Akibat kehilangan ladang dan kesulitan mendapatkan ternak sendiri, mereka memilih sebagai kaum pekerja di peternakan atau pertanian orang-orang kulit putih. Mereka harus mengurut dada saat berhadapan dengan politik diskriminatif kulit putih terhadap kulit hitam.
Penderitaan itu ternyata semakin parah kala konflik antar suku Xhosa dan Zulu (kelompok suku terbesar di Afrika Selatan) terjadi pada kurun 1080-an sampai 1990-an. Perang saudara ini menimbulkan korban tewas jutaan umat di kedua belah pihak. Perang “modern” mereka ini hanya karena perbedaan pandangan politik…
Perang Hitam-Putih
Tragedi tahun 1856 ini tertulis dalam catatan sejarah kehidupan suku Xhosa. Kelompok suku terbesar kedua yang menempati wilayah Afrika Selatan itu nyaris punah hanya karena seorang gadis usia 14 tahun. Kepercayaan mereka pada kekuatan magis ternyata membawa petaka yang menewaskan lebih dari 50.000 anggota suku!
Gadis kecil itu bernama Nongqause. Seorang perempuan muda suku Xhosa yang diyakini menjadi gadis muda pilihan para dewa leluhur. Ia melihat sebuah penampakan gaib yang dipercaya sebagai pesan dari dunia lain. Nongquase dianggap sebagai mediator suku Xhosa dengan para leluhur dan dewa-dewa mereka. Ia membawa pesan penting yang dipercaya bisa mengubah nasib suku Xhosa yang teraniaya… namun kepercayaan berlebih suku Xhosa justru membawa mereka ke jurang maut!
Kala itu, suku Xhosa sedang terpuruk. Mereka terdesak oleh ekspansi dan kolonialisai orang-orang kulit putih Eropa. Setelah kalah dalam beberapa pertempuran yang tak seimbang, kaum Xhosa tergusur dan menderita di tanah airnya sendiri. Kaum Xhosa yang dulunya dikenal sebagai bangsa gagah perkasa di antara orang-orang kulit hitam Afrika tak bisa menerima kekalahan telak mereka dalam pertempuran. Pada 1853, para pejuang suku Xhosa yang gagah berani melakukan konsolidasi untuk pertempuran penghabisan mengusir orang-orang kulit putih dari teritori mereka.
Sebelum serangan dimulai, pada 1854 penyakit ternak misterius mewabah dan menyerang hampir semua hewan ternak orang-orang Xhosa. Faktanya, penyakit ternak itu ditularkan dari hewan ternak orang-orang kulit putih, namun orang-orang Xhosa justru menganggap penyakit itu disebar oleh mantra sihir orang-orang "bule" yang disebut ubuthi. Banyaknya hewan ternak yang mati dan gagalnya hasil panen akibat kemarau, membuat kaum Xhosa frustasi dan membatalkan serangan.
Ramalan
Lalu pada Mei 1856, Nongqause tampil. Saat itu, gadis belia usia 14 tahun itu berniat untuk mengambil air di sebuah kolam air di tepi muara Gxarha River. Sekembalinya dari sungai itu, Nongqause melapor pada pamannya Mhlakaza bahwa ia telah bertemu 3 roh di kolam itu. Ia mengatakan bahwa ketiga roh tersebut berpesan padanya agar seluruh hewan ternak kaum Xhosa harus disembelih dan panenan mereka dimusnahkan. Setelah semua hal itu dilakukan, para pejuang dan satria suku Xhosa yang telah mati akan bangkit kembali dan membantu mereka mengusir orang-orang kulit putih. Lalu roh leluhur Xhosa akan memberi mereka ternak-ternak baru yang sehat dan gemuk untuk menggantikan setiap ternak yang sudah disembelih.
Mhlakaza yakin betul akan penampakan dan pesan yang disampaikan leluhur mereka melalui Nongqause. Dengan tergesa-gesa ia menemui kepala suku Xhosa, Sarhili. Sang kepala suku Sarhili kemudian mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat suku Xhosa untuk mematuhi petuah dan petunjuk roh-roh leluhur tersebut. Untuk pertama kalinya, kaum Xhosa pun menyembelih ternak-ternak yang paling gemuk secara massal.
Setelah pemotongan hewan itu terlaksana, Nongqause kembali ke tepi sungai tempat pertama kali ia melihat penampakan roh-roh leluhur tersebut. Di sana ia mendengar suara keras yang aneh dan menakutkan dari dalam kolam. Seperti suara lenguhan tak teratur dari hewan yang disembelih. Ia kembali melapor pada Mhlakaza tentang hal tersebut.
Mhlakaza menganggap bahwa itu adalah tanda bahwa hewan ternak harus disembelih lebih banyak lagi. Artinya seluruh hewan ternak yang dimiliki suku Xhosa diperintahkan roh leluhur itu agar tak ada yang dibiarkan hidup, begitu juga dengan setiap hasil panen jagung mereka harus dimusnahkan. Jika semua hal itu sudah terlaksana maka pada 11 Agustus 1856 (sesuai tanggal penetapan dalam penampakan Nongqause), roh leluhur akan memenuhi janjinya.
Sementara para panglima perang suku Xhosa yang nyaris kehilangan semangat tempur, akhirnya kembali bersemangat setelah mendengar soal ramalan itu apalagi mereka mendapat kabar kematian Letnan Jenderal Cathcart pemimpin pasukan orang-orang kulit putih. Kematian itu mereka anggap akibat adanya intervensi roh-roh leluhur.
Sebagian besar suku Xhosa kemudian mematuhi perintah kepala sukunya. Seluruh ternak dibunuh dan seluruh ladang dan hasil panen dibakar… Keputusan ini ternyata mengakibatkan petaka.
Kelaparan segera merambat ke seluruh daerah Xhosa. Walau sudah begitu menderita, rakyat Xhosa tetap menanti tanggal digenapinya ramalan itu.
Tepat pada 10 Agustus 1856, seluruh tetua suku, pejuang dan sejumlah besar rakyat berkumpul di suatu lapangan terbuka. Seluruh suku Xhosa mengenakan pakaian kebesaran mereka. Kalung-kalung manik dari tulang dan coret-moret khas di sekujur tubuh. Sejak matahari terbenam sampai matahari menjelang terbit, mereka menari-nari dengan tenaga yang tersisa. Di tengah bencana kelaparan berbulan-bulan mereka yakin harapan sudah di depan mata.
Matahari pun terbit pada pagi 11 Agustus 1856. Menurut ramalan, matahari yang terbit akan berwarna merah darah dan terpaku sekian lama di puncak tengah hari… kala itulah para dewa dan leluhur akan menampakkan diri dan memenuhi semua janjinya. Seluruh suku terpana memandang langit, mereka menanti-nanti keajaiban itu muncul.
Namun hingga matahari kembali terbenam tak ada keajaiban apapun yang muncul. Kecuali korban tewas akibat kelaparan semakin bertambah… mereka kemudian tersadar bahwa apa yang mereka lakukan ternyata sia-sia. Namun semuanya sudah terlambat… Yang selamat kemudian berupaya mencari makanan dari wilayah sekitar, atau yang sudah frustasi akhirnya menjadi kanibal. Mereka saling membunuh dan memakan daging sesamanya… sungguh tragedi kemanusiaan!
Sejarah mencatat 25.000 orang Xhosa yang tewas dalam tragedi tersebut. Dan total sampai suku Xhosa kembali terbebas dari kelaparan jumlah korban sudah melebihi angka 50.000 orang tewas!
Kehidupan sederhana suku Xhosa di Afrika Selatan yang nyaman dan tenteram tak bertahan selamanya. Ketenangan itu mulai terusik ketika penjelajah Eropa mulai mendarat di pantai Afrika Selatan. Lalu penderitaan dan kesengsaraan mulai menghantui mereka…
Orang Eropa pertama yang membentuk pemukiman di wilayah Afrika Selatan adalah orang-orang Belanda (The Dutch) pada pertengahan 1600-an. Mereka membangun kawasan pemukiman di wilayah dekat Sungai Fish River di Afrika Selatan. Sementara orang-orang Xhosa sudah mendiami wilayah timur sungai itu sampai teritori yang didiami orang-orang kulit hitam berbahasa Zulu (kini Kota Durban).
Suku Xhosa sebenarnya amat terbuka dan suka bergaul dengan kelompok masyarakat suku lain. Mereka berinteraksi dengan suku Koi, orang Bushmen dan suku nomaden Afrika. Terkadang untuk berdagang atau saling tukar informasi dan pengetahuan.
Namun orang-orang kulit putih mulai mendesak wilayah kaum Xhosa sehingga menimbulkan konflik. Orang-orang Xhosa tadinya adalah peternak dan petani yang menguasai padang rumput yang luas. Namun orang-orang kulit putih juga beternak dan berladang sehingga sering muncul konflik tanah.
Pertikaian kedua ras berbeda ini menyulut adu senjata pertama kali di awal tahun 1700-an di sekitar Somerset East. Lantas dalam tahun-tahun berikutnya, konflik semakin meluas setelah terjadi perluasan kolonialisasi eropa di Afrika Selatan. Lalu pada 1700-an akhir, saat orang Indo (perkimpoian silang Afrika- Eropa) melakukan migrasi dari Cape Town ke wilayah Great Fish River di Eastern Cape, mereka semakin memperuncing konflik dengan suku Xhosa.
Selama 20 tahun lebih perang dan konflik semakin menajam. Sampai akhirnya pejuang-pejuang suku Xhosa terlibat perang terbuka dengan orang-orang kulit putih. Pada 1811-1812, suku Xhosa terdesak semakin ke timur oleh pasukan kolonial Inggris dalam perang Third Frontier War.
Lantas di tahun berikutnya, suku Xhosa juga terlibat konflik antar suku Afrika dan terdesak ke barat dalam ekspansi suku Zulu (yang juga membenci orang-orang kulit putih). Akibatnya kehidupan suku Xhosa sangat terjepit. Di satu sisi oleh sesama orang kulit hitam, di sisi lain oleh orang-orang kolonial Eropa.
Kekalahan demi kekalahan dalam pertempuran tombak melawan bedil membuat mereka semakin sengsara. Wabah meluas dan ternak semakin kurus, hasil panen tak mencukupi. Kelaparan pun mengancam. Apalagi dengan munculnya gerakan pembataian hewan ternak tahun 1856 (cattle-killing movement) akibat kepercayaan buta pada ramalan Nongqause seorang gadis belia.
Peristiwa itu nyaris memusnahkan suku dominan kedua terbesar di Afrika Selatan tersebut. Bencana kelaparan dan praktik kanibalisme itu menjadi catatan paling kelam dalam sejarah Afrika Selatan!
Sejak itu Xhosa berupaya bangkit dari keterpurukan. Namun masalah perbudakan dan politik kulit putih membuat mereka menjadi bansga yang tertindas. Hingga kini konflik masih terjadi suku Xhosa masih terlibat konflik politik dengan suku Zulu!
berbagai sumber