Ibnu Abbas رضي الله عنهما bercerita bahwa suatu hari seseorang yang bernama Uyainah bin Hisn meminta izin untuk menghadap Amirul mukminin Umar bin Khaththab رضي الله عنه, kepada pendampingnya yaitu Al-Hurr bin Qais. Al-Hurr lalu memintakan izin untuknya kepada Umar رضي الله عنه. Umar pun mengizinkannya. Tatkala ada di depannya, Uyainah langsung berkata:
هِيْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ وَلَا تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالْعَدْلِ
“Heh, wahai Ibnul Khaththab, demi Allah, kamu tidak memberi kami pemberian yang banyak dan tidak pula memberikan keputusan yang adil di antara kami! “
Umar pun murka hingga ingin memukulnya. Tatkala hampir saja ia memukulnya, berkatalah Al-Hur kepadanya:
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ } وَإِنَّ هَذَا مِنْ الْجَاهِلِينَ
“Wahai Amirulmukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, ‘Jadilah engkau pema’af dan perintahkanlah yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. ‘ (QS.7:199) dan sesungguhnya orang ini (Uyainah)termasuk orang bodoh. “
Ibnu Abbas berkata:
وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ
“Demi Allah, Umar tidak melangkahi ayat itu tatkala diperdengarkan kepadanya, dan ia adalah seorang yang selalu berhenti pada kitabullah. “ Umar pun mengurungkan niatnya untuk memukul orang yang mencelanya. (HR. Bukhari no. 4276 Maktabah Syamilah)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar:
وَمَعْنَى ” مَا جَاوَزَهَا ” مَا عَمِلَ بِغَيْرِ مَا دَلَّتْ عَلَيْهِ بَلْ عَمِلَ بِمُقْتَضَاهَا وَلِذَلِكَ قَالَ ” وَكَانَ وَقَّافًا عِنْد كِتَاب اللَّه ” أَيْ يَعْمَل بِمَا فِيهِ وَلَا يَتَجَاوَزهُ
“Makna: ‘tidak melangkahi ayat itu’ adalah tidak mengamalkan selain apa yang ditunjukkan ayat itu bahkan mengamalkan konsekuensi dari ayat itu. Karena itu berkata Ibnu Abbas, ’dan ia adalah seorang yang selalu berhenti pada kitabullah. ‘ yaitu selalu mengamalkan apa yang ada di dalam kitabullah dan tidak melewatinya. ” (Fathulbari juz 20 hal. 337 Maktabah Syamilah)
Itulah sedikit gambaran tentang keagungan sosok sahabat Nabi yang mulia, Umar bin Khathab رضي الله عنه. Dalam atsar di atas Umar mengajarkan kepada setiap pemimpin tentang sabar dan tunduk terhadap kebenaran.
Umar رضي الله عنه mengajarkan kepada setiap penguasa untuk bersabar menghadapi rakyatnya yang mungkin saja karena ketidaktahuan atau ketidakmautahuan mereka, mengeritik tanpa pertimbangan logis, “asal bunyi”, ringan mengumpat dan perilaku lainnya yang menyakitkan.
Dan kesabaran Umar nampak dari beberapa sisi
1. Ketika Uyainah mengucapkan “heh”, padahal kata ini digunakan untuk menghardik dan membentak.
2. Ketika Uyainah memanggilnya dengan Ibnul Khathab. Ini tentu tidak sopan. Sebab, ia sedang berbicara dengan seorang pemimpin umat dan negara, sedangkan orang-orang di zamannya termasuk para sahabat Nabi saja memanggilnya dengan Amirul mukminin.
3. Ketika Uyainah menyifati Umar sebagai seorang yang pelit dan tidak berbuat adil. Tentu saja itu mustahil berdasarkan fakta yang ada. Sebab, fakta mencatat bagaimana Umar menorehkan tinta emas tentang keadilan dan kezuhudan dalam sejarah umat ini yang tak tertandingi oleh siapapun setelahnya.
Selain itu Umar juga mengajarkan kepada setiap pemimpin untuk siap menerima nasehat atau kritikan yang sampai kepadanya, jika memang itu adalah kebenaran. Hendaknya ia tunduk pada kebenaran, tidak memalingkan muka serta tidak pula menutup telinga darinya, meskipun itu bertentangan dengan kemauan dan kehendaknya, betapapun beratnya.
Hal itu ditunjukkan Umar tatkala pendampingnya, yang juga seorang ulama mengingatkannya dengan ayat Allah, maka ia pun tunduk pada kebenaran yang disampaikannya dan mengenyampingkan emosi yang telah meluap di dadanya.
Sosok yang pantang untuk direndahkan oleh siapapun baik sebelum maupun setelah masuk islam ini, ternyata rela untuk ‘terhina’ dihadapan kebenaran.
Adakah para pemimpin yang mau meniru ini?
Abdullah Al-jakarti