Beranda » Menyingkap Isi Gunung Padang

Menyingkap Isi Gunung Padang



Diduga lebih besar dari Borobudur. Di dalamnya ada ruang besar?

Seorang ayah dan anak lelakinya berjalan hati-hati di punggung Gunung Padang. Bukit setinggi lebih dari 800 meter di Desa Karyamukti, Cianjur itu sarat pepohonan besar dan batuan purba raksasa. Mata mereka tajam melihat sekeliling. Telinga menyimak suara, antara desiran angin dan dengung lebah liar.

Mata si bocah menangkap kerubungan tawon di kejauhan. Nalurinya sebagai pencari madu terpancing. Dia berlari mengikuti arah binatang itu terbang, menuju sebuah gua di lereng bukit sebelah timur. Liang itu beratap batu, dindingnya disusun dari menhir panjang.

Menduga di sanalah lebah bersarang, si bocah nekat masuk ke dalam gua yang gelap. Tak sampai dua meter melangkah, tiba-tiba sepasang tangan ayahnya menariknya ke luar. “Jangan masuk, ada ular,” kata sang ayah panik. Nafasnya tersenggal.

Setelah menjauh, sang ayah berkisah liang itu adalah lorong keramat, kawah Gunung Padang. Konon di dalamnya ada ruangan berisi harta karun yang dijaga ular besar. “Orang yang masuk ke sana tidak akan pernah bisa ke luar.” Semua warga desa tahu cerita itu. Tapi tak satupun berani melanggar pantangan.

Empat puluh tahun berselang, seorang pria separo baya menunjuk ke lokasi gua terlarang itu. Ia ingat rute itu: dari teras bukit pertama lurus, patokannya pohon cempaka tua yang tak seberapa tinggi, lubang batu itu dekat hamparan pohon bambu. “Tapi sekarang guanya sudah tidak bisa dimasuki, tertutup longsoran,” kata dia.

Ia juga ingat, ada batu besar limas di teras pertama bukit, tapi kini tak lagi tersisa. Hancur tertimpa pohon ditebangi masyarakat akhir 1970-an lalu. “Sebelumnya di sini hutan, banyak pohon gede ditebang. Ada mahoni, campuran,” kata dia.

Pria itu bernama Dadi. Usianya 52 tahun, juru kunci sekaligus saksi hidup keberadaan lorong batu itu. Ia tak menyangka pengalaman masa kecilnya, saat ia berusia 12 tahun, menjadi petunjuk penting. Bahkan, itu bisa jadi awal dari sebuah ekskavasi kolosal menguak peradaban nusantara yang hilang.

Benarkah celah di dinding batu itu adalah gua?

Kelihatannya, itu juga bukan isapan jempol. Belakangan, pemindaian georadar dan geolistrik menunjukkan adanya celah setinggi 4 sampai 5 meter tertimbun tanah, di lokasi yang ditunjukkan sang kuncen. Diduga itu pintu masuk ke perut Gunung Padang.

Kamar misterius
Kamis 21 Juni 2012 siang, enam lelaki bekerja keras membabat tumbuhan liar setinggi dua meter. Hari itu Kamis, 21 Juni 2012, mereka merapat ke dinding curam bukit sebelah timur Gunung Padang. Di sisi lain, ada empat lelaki merangkai peralatan diangkut enam koper hitam. Ada antena berbentuk huruf T terbalik, diikat tali dan kotak sensor kecil . Dua antena ini disambung oleh satu kabel panjang terhubung pada sebuah komputer.

Pada pukul 3 sore, alat itu siap digunakan di jalur yang sudah bersih dari alang-alang. Dua orang mengangkat dan menggeser tiang, satu sibuk mengatur panjang pendek kabel, satu lainnya mencatat. Dilarang keras menyalakan alat komunikasi saat itu.

Para pria itu adalah tim geolog. Dipimpin Dr Danny Hilman, dan dibantu sejumlah warga, mereka sibuk melakukan pemandaian geolistrik. Cara ini bisa melihat anomali dan struktur di bawah tanah hingga kedalaman 20-30 meter. “Dari hasil geolistrik terlihat ada struktur menarik. Kelihatannya bukan struktur geologi alam biasa,” kata Danny Hilman kepada VIVAnews.

Hamparan batu purba itu pernah memukau sejarawan Belanda, N.J Krom saat melihatnya di tahun 1914 lalu. Tapi Tuan Krom waktu itu hanya melihat permukaan belaka. Struktur lebih spektakuler justru tersimpan di perut bukit, berupa punden raksasa terkubur --rahasia peradaban yang menanti ribuan tahun untuk diungkap.

Para ilmuwan yang tergabung dalam Tim Terpadu Penelitian Mandiri itu kini mencoba membongkar rahasia itu dengan memakai teknologi, sesuatu yang belum begitu canggih pada abad ketika Tuan Krom menelitinya.

Dengan teknologi, tim menemukan struktur high resistivity (batuan keras) berbentuk seperti cekungan atau “cawan raksasa” di perut Gunung Padang. Posisi cawan ini kira-kira sekitar 100 meter dari puncak, atau setara level tempat parkir di permulaan tangga untuk naik ke situs.

Kejutan lain yang membuat para ahli terperangah adalah penampakan tiga tubuh “very-high resistivity” di bawah situs. Dalam konteks struktur di sekitarnya, yang paling mungkin penampakan itu adalah ruang kosong atau chamber.

Apa fungsi kamar itu belum terjawab.

Danny mengatakan, perlu penelitian lanjutan membongkar fungsi kamar besar itu. “Belum bisa diketahui karena tidak ada catatan. Tim tidak ingin berspekulasi sebelum bisa membukanya,” kata dia.

Apapun itu, naluri keilmuwan tim menuntut rahasia itu dikuak. “Kami ingin membuka tabir chamber ini. Kami tidak peduli isinya apa, karena dengan terkuaknya chamber, apapun misteri akan bisa dipecahkan,” kata ahli gempa LIPI itu. Selain memperkuat kesimpulan awal, tim juga mencari jalan masuk ke ruang itu.

Tak sekedar ruang kosong, hasil survei geomagnet memperlihatkan anomali magnetis yang tinggi di beberapa lokasi. Salah satunya persis di samping struktur yang diduga chamber besar. Untuk diketahui, anomali magnetis tinggi bisa berasosiasi dengan timbunan barang-barang terbuat dari bahan metal atau logam.

Meski ada keyakinan masyarakat sekitar itu adalah kamar harta karun yang dijaga ular besar, Danny menegaskan tak ada logam mulia dalam konstruksi bangunan megalitikum Gunung Padang. Lagi pula, mereka tak sedang berburu harta karun. “Tim melakukan riset bukan untuk mencari harta karun berupa logam mulia,” ujarnya.

Dari riset ini sepintas bisa dilihat manusia yang hidup di zaman lampau itu adalah bangsa berperadaban maju. Sebab, untuk membangun konstruksi situs megalitikum serupa Gunung Padang, dibutuhkan kemampuan dan pemahaman teknologi.

Saat pengeboran, tim menemukan material pasir halus di kedalaman 4 meter. “Jangan-jangan ini bantalan untuk menahan guncangan gempa. Diduga sudah ada pengetahuan kegempaan di masa itu. Kalau terbukti benar, itu luar biasa.”

Anggota tim lainnya, Dr Boediarto Ontowirjo mengatakan, dari survei pencitraan bawah permukaan yang sudah dilakukan, ada indikasi struktur bangunan tidak hanya setinggi 15 meteran di bagian atasnya saja, tapi sampai setinggi 100 meteran ke bawahnya, sampai level parkir-pintu masuk. Atau bahkan sampai 300 meteran ke Level Sungai Cimanggu.

“Ini memang masih perlu survei yang lebih komprehensif. Tapi kalau ternyata hal ini benar, maka dia sesuatu yang "truly extraordinary",” kata dia. Singkatnya, Situs Gunung Padang ini bukan produk artefak dari masyarakat purba yang masih primitif.

Ia adalah produk peradaban tinggi, mahakarya arsitektur dari zaman pra-sejarah.

Temuan baru
Tiga lelaki berseragam coklat, topi rimba ala Indiana Jones masuk ke kotak ekskavasi seluas 2,5 x 2,5 meter yang dipagari tali kuning. Mereka giat menyingkirkan tanah dengan sekop, menyikat batu dengan kuas, sambil sesekali mengelap keringat di dahi.

Dipimpin arkeolog Dr Ali Akbar, tim itu mendapat temuan baru. Salah satunya, batuan bersimbol garis dan lengkungan saat melakukan ekskavasi di sisi timur, di kedalaman 1,5 meter. “Asumsi sementara, batu bergaris simetris tiga buah di lereng timur, sejajar teras ke dua, adalah penanda arah masuk. Kami sedang lakukan penelitian lebih dalam dan melibatkan ahli dalam tanda-tanda purba ini untuk membacanya,” kata Ali Akbar.

Belum bisa dipastikan apakah ini pintu masuk ke bagian teras atas atau ke bagian dalam chamber – yang ditemukan para geolog. Mereka juga masih mencari bagian dari batu melengkung yang ditemukan di lubang sejajar dengan teras pertama di sebelah timur.

Tim itu juga menemukan struktur bangunan di barat dan timur Gunung Padang yang tertutup tanah dan semak belukar. Susunan batu di sisi timur berupa teras batu (terasering), yakni sejenis konstruksi bangunan mencegah longsor. Masing-masing teras umumnya memiliki ketinggian 2 meter dengan jarak antar teras juga sekitar 2 meter. Panjang sisi miring terasering tersebut mencapai lebih dari 200 meter. Sedikitnya terdapat 100 tingkat. Mirip dengan yang ada di Machu Picchu, Peru.

Selama ini, bangunan dianggap hanya terdapat di sisi utara sampai selatan. Ternyata kini ia mempunyai sisi timur dan barat. Menurut Ali, luasnya minimal 15 hektar. “Kalau dibandingkan Borobudur yang luasnya 1,5 hektar jadi 10 kali lipat. Kemegahannya belum kelihatan karena tertutup semak belukar,” kata dia. “Kalau kita buka ini megah sekali.”

Ali menambahkan, ekskavasi Gunung Padang bakal makan waktu lama. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit lapisan tanah disingkap, agar batu yang ada tak bergeser. “Kami harapkan ini bisa ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan. Bisa dibayangkan, saat Borobudur ditemukan kondisinya sama, tertutup tanah, ditumbuhi pohon-pohon. Butuh puluhan tahun untuk membukanya, lalu dipugar, dan baru bisa dinikmati.”

Itu kerja besar yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Kecanggihan teknologi memudahkan pengungkapan. “Mulai 15 Mei hasil yang diperoleh sudah banyak,” kata Ali Akbar.

Tempat sakral
Warga di sekitar Gunung Padang mengkeramatkan situs ini. Mereka menganggap lokasi Raja Sunda, Prabu Siliwangi yang gagal membangun istananya dalam semalam. NJ Krom, arkeolog Belanda, itu bahkan menduganya sebagai kuburan. Sementara, pakar lain menyebut itu lokasi pemujaan masyarakat purba, ditandai adanya batu yang mengeluarkan suara musik. Dan arahnya ke Gunung Gede.

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Barat, Dr. Pon Purajatnika berpendapat, secara arsitektural, Gunung Padang punya ruang makro dan mikro. “Ruang makro itu lingkungan sekitar Gunung Padang, sedangkan ruang mikro itu zona utama tempat Gunung Padang,” kata dia saat dihubungi VIVAnews. Pon juga termasuk salah satu tim peneliti Gunung Padang itu.

Zona utama, kata Pon, adalah tempat ritual keagamaan berorientasi atau berkiblat ke Gunung Gede, yang berada di sebelah utara Gunung Padang. “Tempat ini bukan tempat sembarangan, karena sakral dan pusat peradaban,” ujarnya.

Zona utama itu sangat luas. “Secara arsitektur bangunan Gunung Padang tidak mungkin untuk beberapa orang saja, ini untuk sebuah komunitas yang besar, bisa ribuan orang, kira-kira 1.500 orang,” kata dia. “Itu baru di puncaknya belum di teraseringnya.”

Logika arsitektur manusia zaman dulu mencari tempat tinggi untuk menyembah Tuhan. Kebetulan, di Jawa Barat berlimpah gunung. Itu juga juga mendasari Pon membantah dugaan struktur di Gunung Padang adalah sebuah istana. “Itu bukan istana, ini punden berundak, tempat sakral untuk ritual keagamaan,” kata dia.

Pon, yang membuat sketsa imajiner Gunung Padang, menjelaskan, penggunaan ruang-ruang di permukaan sangat beragam.” Secara umum di 5 teras ada pola ruang-ruang. Teras 1 itu ruang untuk masyarakat dan untuk sesaji,” jelas dia.

Teras dua, dia menambahkan, adalah tempat untuk pemimpin umat, penasehat. “Di sini ada tempat duduk batu bersila,” kata dia.

Sementara di teras 3 dan teras 4 yang menghadap barat, untuk ritual malam. “Di ruangan di teras 5 ada tempat duduk buat orang yang dianggap paling pintar. Ini menghadap ke utara ke gunung Gede.” Sementara untuk chamber yang ditemukan tim geologi, Pon menduga, itu bisa jadi ruang penyimpanan alat. “Ada catatan khusus soal struktur konstruksi yang tahan dari berbagai bencana, sudah dipertimbangkan dari kedalaman 20 meter.”

Bangunan Gunung Padang, menurut Pon, tak mungkin berdiri sendiri di tengah hutan belantara. “Di sekitar wilayah itu kemungkinan ada pemukiman, pemakaman atau tempat perburuan,” kata dia.

Pon juga terkesima oleh ukuran punden itu. Biasanya, ukurannya 20 x 30 meter, atau lebih kecil. “Kalau punden ini besar, luasnya bisa sekitar 75 hektar”, ujarnya. Sepanjang pengetahuan Pon, jika tersingkap, Gunung Padang adalah punden berundak terbesar di dunia.

Lalu, kapankah struktur bangunan itu bisa disingkap? Tentu, itu tak bisa dilakukan dalam semalam. Struktur bangunan saja, kata geolog Dr Ali Akbar, baru bisa disibak sekitar dua tahun. “Ini berdasarkan pengalaman ekskavasi Angkor Wat di Kamboja,” ujarnya. (np)

VN



Powered by Blogger.