Ilustrasi
Paham Wujudiyah
Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Ar-Raniri dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan.
Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di wilayah ini, Ar-Raniri berupaya menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Ar-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktik sufi yang salah dan benar. Pada saat Syekh ar-Raniri tiba di Aceh, di wilayah tersebut telah berkembang luas paham wujudiyah. Paham ini dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.
Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, menyatakan Ar-Raniri merupakan tokoh pembaru di Aceh. Dengan dukungan dari para sultan di Aceh, ia memberantas aliran wujudiyah yang dianggap sebagai aliran sesat yang bertentangan dengan Alquran dan hadis.
Aliran wujudiyah ini berasal dari pemikiran dan ajaran panteisme Ibnu Arabi yang kemudian dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Ajaran wujudiyah ini mengacu kepada dua hal, yakni kesatuan wujud Tuhan dengan makhluk dan perbedaan antara syariat dan hakikat.
Untuk menyanggah pendapat dan paham wujudiyah Hamzah Fansuri, ia sengaja menulis beberapa kitab. Beberapa di antaranya adalah Asrar Al-Arifin (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarab Al-Asyiqin (Minuman Para Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak). Di samping itu, ia juga menyanggah ajaran Hamzah melalui polemik-polemik terbuka dengan para pengikut wujudiyah.
Terhadap masalah pertama yang menyatakan keesaan Tuhan dengan makhluk, Syekh Ar-Raniri menjelaskan bahwa jika Tuhan dan makhluk hakikatnya adalah satu; jadilah semua makhluk itu adalah Tuhan. Dengan sifat-sifat ketuhanan, ia akan dapat mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi dan berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa ajaran yang menyatakan 'wujud Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk adalah wujud Allah' mengandung empat kemungkinan yang mustahil terjadi pada Allah SWT.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nidia Zuraya
Paham Wujudiyah
Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Ar-Raniri dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan.
Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di wilayah ini, Ar-Raniri berupaya menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Ar-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktik sufi yang salah dan benar. Pada saat Syekh ar-Raniri tiba di Aceh, di wilayah tersebut telah berkembang luas paham wujudiyah. Paham ini dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.
Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, menyatakan Ar-Raniri merupakan tokoh pembaru di Aceh. Dengan dukungan dari para sultan di Aceh, ia memberantas aliran wujudiyah yang dianggap sebagai aliran sesat yang bertentangan dengan Alquran dan hadis.
Aliran wujudiyah ini berasal dari pemikiran dan ajaran panteisme Ibnu Arabi yang kemudian dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Ajaran wujudiyah ini mengacu kepada dua hal, yakni kesatuan wujud Tuhan dengan makhluk dan perbedaan antara syariat dan hakikat.
Untuk menyanggah pendapat dan paham wujudiyah Hamzah Fansuri, ia sengaja menulis beberapa kitab. Beberapa di antaranya adalah Asrar Al-Arifin (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarab Al-Asyiqin (Minuman Para Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak). Di samping itu, ia juga menyanggah ajaran Hamzah melalui polemik-polemik terbuka dengan para pengikut wujudiyah.
Terhadap masalah pertama yang menyatakan keesaan Tuhan dengan makhluk, Syekh Ar-Raniri menjelaskan bahwa jika Tuhan dan makhluk hakikatnya adalah satu; jadilah semua makhluk itu adalah Tuhan. Dengan sifat-sifat ketuhanan, ia akan dapat mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi dan berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa ajaran yang menyatakan 'wujud Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk adalah wujud Allah' mengandung empat kemungkinan yang mustahil terjadi pada Allah SWT.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nidia Zuraya