Kebijakan Politik Etis Hindia Belanda (Edukasi, Irigasi, Emigrasi) yang digulirkan pada penghujung abad XIX, berefek dahsyat terhadap pergerakan di Nusantara. Sekian organisasi bermunculan. Mulai organisasi ronda, keagamaan, dagang, pendidikan, hingga organisasi politik. Pendeknya, rakyat sedang demam organisasi. Rakyat mulai bergerak dengan cara baru, meninggalkan cara lama (perang kolosal) yang hampir selalu gagal. Inilah yang disebut Takashi Siraishi sebagai Zaman Bergerak![1]
Lalu, ada apa dibalik Politik Etis? Untuk apa digulirkan? Pihak mana yang mengusulkannya? Dalam konteks apa ia lahir?
Revolusi Industri di Inggris (tahun?) adalah tonggak kelahiran kapitalisme, dan kematian merchantilisme Eropa. Ia adalah fase baru dalam sejarah dimana kekuasaan raja mulai dipereteli oleh kaum pemilik modal. Memang, tiap modal membawa daya kuasa; daya kuasa mencipta kekuasaan; dan kekuasaan menentukan hukumnya sendiri.[2] Kaum pemodal rame-rame masuk di pusat kekuasaan dan menentukan kebijakan yang—tentunya—menguntungkan dirinya. Dan di parlemen Belanda, kaum pemodal-swasta (dalam partai liberal) berhasil mendominasi mengalahkan golongan konservatif dan sosialis. Kebijakan mereka juga diturunkan di Hindia Belanda pada 1870 tentang Undang-Undang Agraria (UUA)[3] dan disusul Politiki Etis pada 1899.
UUA, menandai era Hindia Belanda dimana kalangan swasta rame-rame turut merasakan nikmatnya penjajahan. Tanah Hindia-Belanda mulai dibolehkan (baca: dipaksa) untuk disewa pihak swasta.[4] Perusahaan-perusahaan (yang memanfaatkan tanah sewa) mulai dibangun. Perkebunan-perkebunan swasta mulai marak—ini menandai akhirnya sistem kerja paksa. Pekerja-pekerja terampil dibutuhkan. Sementara rakyat masih papa dan bodoh. Dan orang bodoh kurang potensial untuk dijadikan tenaga kerja. Sementara pemodal menginginkan laba sebesar-besarnya. Maka, menyekolahkan pribumi adalah keharusan!
Memang, UUA, selain anugerah, juga kutukan. Lewat UUA kerja paksa dihapus. Lewat ia pula rakyat diploretariasi. Tanah-tanah mereka yang bisa ditanami untuk kebutuhan pangan (semisal padi), kini sebagian besar disewa-paksa dengan harga rendah, dan dijadikan lahan perkebunan komoditas ekspor, semisal tebu. Maka, mereka terpaksa menjadi buruh dengan gaji murah, sementara di beberapa tempat, bahan pangan mulai langka seiring menyempitnya persawahan. Kelaparan pun merebak![5]
Politik Etis, yang diandaikan sebagai Balas Budi, paling tidak ada dua faktor yang mempengaruhinya. Kalangan Etis (Humanis), semisal Edward Douwes Dekker,[6] melihat penderitaan pribumi, mengkritik pedas pemerintah kolonial. Dan mengusulkan agar pemerintah lebih manusiawi dalam kebijakan-kebijakannya. Sementara kaum pemodal swasta dalam pemerintahan, menginginkan stabilitas dan kelancaran untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Dan ini mengharuskan regulasi baru: Politik Etis. Edukasi untuk tenaga kerja murah, terampil, dan bisa baca-tulis-hitung. Irigasi untuk pengairan perkebunan swasta kaum pemodal. Emigrasi juga untuk tenaga kerja perusahaan-perkebunan di daerah berpenduduk jarang.[7] Lengkap sudah.
Pendidikan ternyata menimbulkan kesadaran baru bagi pribumi atas derita penjajahan yang dialami. Gagasan-gagasan Eropa tentang revolusi, demokrasi, dll., mulai merasuki fikiran para pelajar, sementara mereka melihat penindasan-penjajahan dalam realita kehidupan sehari-hari—sangat kontras.[8] Maka, dalam hati beberapa pelajar, ini tak bisa dibiarkan. Pribumi harus sejahtera. Dan untuk itu, pertama-tama mereka harus sadar bahwa mereka terjajah. Harus sadar bahwa untuk melawan penjajahan tak bisa lagi dengan perang kolosal yang sangat primordial—selain kemungkinannya sangat kecil. Perjuangan itu harus dilakukan dengan cara baru. Organisasi modern dibutuhkan.
Adalah Sjarikat Prijaji (1906), organisasi pribumi yang pertama kali dirintis Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (RM TAS, Tirto).[9] Tujuannya mempersatukan para priyayi. Sebab, kaum priyayi lah yang mula-mula menikmati pendidikan. Meskipun elitis dan akhirnya ambruk sebab pertentangan internal, organisasi ini berhasil membawa sepercik penyadaran pada kaum pribumi lewat media massa yang dikelolanya: Medan Prijaji.
Berlanjut Boedi Oetomo (BO), oleh dr. Soetomo, dr. Wahidin Soediro Hoesodo, dkk., pada 1908.[10] BO mencoba mewujudkan Hindia Mulia. Ia bergerak pada bidang pendidikan dan kesehatan, sebab dua hal itulah yang sangat dibutuhkan. Tapi, dalam perjalanannya, selain Javasentris, elitis, juga sangat koordinatif terhadap kolonial.[11] Sehingga, selain mudah disetir oleh kolonial, juga agenda-agendanya kurang begitu dirasakan oleh kalangan masyarakat bawah.
Pada penghujung 1911, di Solo, dibentuk Sjarikat (Dagang) Islam disingkat SDI/SI. Awalnya, SI di Solo adalah organisasi ronda yang bernama Rekso Roemekso (RR) binaan H. Samanhoedi dengan tujuan mengamankan (pedagang) batik pribumi. Suatu hari, RR cekcok dengan organisasi ronda milik Tionghoa. Polisi Hindia Belanda menginvestigasi keduanya. Tapi, Belanda memang mengakui organisasi yang legal. Maka, Samanhoedi mengelak buat sementara dan konsultasi dengan Tirto yang saat itu tinggal di Bogor sebagai pembina Medan Prijaji. Tirto mengusulkan agar RR diubah namanya jadi Sjarikat Dagang Islam yang merupakan cabang dari Sjarikat Dagang Islamijah (SDI) binaan Tirto di Bogor yang sudah legal dan punya AD/ART. Lalu, pada 1912 Sjarikat Islam (SI) resmi berdiri di Solo.[12]
SI adalah organisasi pribumi yang sangat fenomenal pada zamannya. Ia berhasil merebut ratusan ribu hati pribumi untuk mengikuti organisasi ini di berbagai daerah. Memang, tekanan Belanda sangat kuat, tapi SI masih bisa bertahan dengan sekian dinamikanya. Disini lahir banyak tokoh semisal HOS Tjokroaminoto dan Goenawan. Dalam perjalanannya, SI pecah jadi dua. SI Putih yang lalu jadi PSI dipimpin HOS Tjokroaminoto, tapi SI ini kehilangan massa. Kedua SI Merah/Sjarekat Ra’jat yang berpusat di SI cabang Semarang pimpinan Semaoen.[13] SI Merah inilah yang kemudian jadi PKI.
Tahun 1926, menandai tiarapnya pergerakan setelah gagalnya pemberontakan PKI Prambanan. Pemerintah Hindia-Belanda menangkapi semua yang turut berpergerakan dan men-Digoel-kan ribuan para aktivis. Namun, Oktober 1928, para pemuda seluruh Nusantara masing bisa sedikit menunjukkan kekuatannya dalam Kongres Pemoeda yang melahirkan Soempah Pemoeda yang populer itu.[14]
[1] Baca: Zaman Bergerak (Grafiti, 1997) karya Takashi Siraishi yang menyoroti kebangkitan rakyat Jawa khususnya wilayah Vorstenlanden.
[2] Diambil dari buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer (Lentera, 1995).
[3] UUA atau Agrarische Wet bisa dibandingkan UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) awal berdirinya Rezim Orba.
[4] Di sini Belanda sangat memanfaatkan petinggi-petinggi desa dalam melancarkan “sewa-paksa” yang dilakukannya. Petinggi seringkali mendapat imbalan beberapa persen per-Hektar yang berhasil disewakan dari desanya. Sekedar contoh, baca: Dibawah Lentera Merah oleh Soe Hok Gie (Bentang, 1999).
[5] Ibid.
[6] Sering disebut Setiabudi, atau Multatuli, satu dari tiga serangkai pendiri Indische Partij, partai Hindia pertama kali. Seorang Humanis yang menulis buku Max Havelaar dalam menggambarkan penderitaan rakyat Bayah, Banten.
[7] Baca: Jejak Langkah, bagian ke-3 tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer (Lentera Dipantara, 2005).
[8] Sesungguhnya, penyadaran politik atas pribumi dilarang oleh Pemerintah kolonial. Tapi banyak sekali guru-guru yang tetap mengajarkan gagasan-gagasan “berbahaya” itu. Meskipun seringkali guru yang sedemikian bakal dipulangkan ke Belanda lagi.
[9] Biografi lengkap TAS ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku: Sang Pemula (Lentera Dipantara, 1985).
[10] Mereka adalah para pelajar dan alumni STOVIA. Tentu, semuanya priyayi.
[11] Baca: Zaman Bergerak karya Takashi Siraishi (Grafiti, 1997). Baca juga Jejak Langkah dan Rumah Kaca, sekuel ke-3 dan 4 Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer (Lentera Dipantara, 2005).
[12] Ibid
[13] Semaoen, tahun 1917, berhasil menjadi ketua SI cabang Semarang pada usia 19 tahun. Ia adalah anak didik Sneevliet, bapak kaum sosialis Hindia. Semaoen memang sudah beberapa tahun aktif di pergerakan VSTP dan ISDV/ISDP binaan Sneevliet. Dengan “ideologi sosialisme”nya, ia terlibat cekcok dengan petinggi SI sejak kongres CSI ke-2. Dan pada kongres CSI ke-4, perpecahan itu tak terhindarkan. Lengkapnya baca: Dibawah Lentera Merah oleh Soe Hok Gie (Bentang, 1999).
[14] Lengkapnya baca: Revolusi Pemuda karya Benedict ROG Anderson (Sinar Harapan, 1988).
Ahmad Taufiq