Masjid Lhasa di Tibet.
Sebagian besar Muslim Tibet menetap di Ibukota Lhasa dan Shigatse—kota terbesar kedua di Tibet.
Muslim Tibet boleh dibilang memiliki keunikan tersendiri. Sebagian besar dari penganut Islam berasal dari keturunan Kashmir, Persia, atau Arab melalui garis keturunan ayah.
Darah Tibet mengalir melalui garis keturunan ibu. Maka tak heran, banyak dari mereka yang bernama depan Tibet namun nama keluarganya Persia.
Hal itu terjadi lantaran Tibet berbatasan dengan Kashmir dan Turkistan Timur. Konon, imigran Muslim dari Kashmir dan Ladakh pertama kali memasuki wilayah Tibet sekitar abad ke-12 M.
Secara perlahan, pernikahan dan interaksi sosial antara imigran Muslim dengan masyarakat Tibet telah membuat populasi di sekitar kota Lhasa. Meski begitu, tak terlalu banyak penduduk Tibet asli yang berpindah keyakinan ke agama Islam.
Thomas Arnold dalam bukunya berjudul The Preaching of Islam mengatakan, ”Ajaran Islam juga disebarkan ke Tibet oleh para saudagar dari Kashmir. Keberadaan mereka bisa ditemukan di seluruh kota terkemuka di Tibet.”
Para saudagar Muslim Kashmir itu banyak yang menikahi wanita Tibet. Para wanita itu kemudian memeluk agama suaminya. Kedatangan Islam di pegunungan Himalaya diikuti dengan pembangunan Masjid di beberapa wilayah Tibet. Di kota Lhasa berdiri empat masjid. Sedangkan, di Shigate berdiri dua masjid dan satu masjid lainnya dibangun di Tsethang.
Komunitas Muslim Tibet kebanyakan berkumpul di sekitar masjid yang mereka bangun. Masjid pun menjadi pusat kehidupan sosial Muslim Tibet. Tak heran, bila masjid-masjid yang ada Tibet dipelihara dengan baik. Ketika Tibet berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tibet, umat Islam bisa hidup dengan tenang dan damai.
Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakuan istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah. Pemerintah juga mengizinkan komunitas Muslim untuk memilih lima anggota komisi yang dikenal sebagai ‘Ponj’ untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Heri Ruslan
Sebagian besar Muslim Tibet menetap di Ibukota Lhasa dan Shigatse—kota terbesar kedua di Tibet.
Muslim Tibet boleh dibilang memiliki keunikan tersendiri. Sebagian besar dari penganut Islam berasal dari keturunan Kashmir, Persia, atau Arab melalui garis keturunan ayah.
Darah Tibet mengalir melalui garis keturunan ibu. Maka tak heran, banyak dari mereka yang bernama depan Tibet namun nama keluarganya Persia.
Hal itu terjadi lantaran Tibet berbatasan dengan Kashmir dan Turkistan Timur. Konon, imigran Muslim dari Kashmir dan Ladakh pertama kali memasuki wilayah Tibet sekitar abad ke-12 M.
Secara perlahan, pernikahan dan interaksi sosial antara imigran Muslim dengan masyarakat Tibet telah membuat populasi di sekitar kota Lhasa. Meski begitu, tak terlalu banyak penduduk Tibet asli yang berpindah keyakinan ke agama Islam.
Thomas Arnold dalam bukunya berjudul The Preaching of Islam mengatakan, ”Ajaran Islam juga disebarkan ke Tibet oleh para saudagar dari Kashmir. Keberadaan mereka bisa ditemukan di seluruh kota terkemuka di Tibet.”
Para saudagar Muslim Kashmir itu banyak yang menikahi wanita Tibet. Para wanita itu kemudian memeluk agama suaminya. Kedatangan Islam di pegunungan Himalaya diikuti dengan pembangunan Masjid di beberapa wilayah Tibet. Di kota Lhasa berdiri empat masjid. Sedangkan, di Shigate berdiri dua masjid dan satu masjid lainnya dibangun di Tsethang.
Komunitas Muslim Tibet kebanyakan berkumpul di sekitar masjid yang mereka bangun. Masjid pun menjadi pusat kehidupan sosial Muslim Tibet. Tak heran, bila masjid-masjid yang ada Tibet dipelihara dengan baik. Ketika Tibet berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tibet, umat Islam bisa hidup dengan tenang dan damai.
Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakuan istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah. Pemerintah juga mengizinkan komunitas Muslim untuk memilih lima anggota komisi yang dikenal sebagai ‘Ponj’ untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Heri Ruslan