Seorang ibu Amungme berpakaian compang camping bertelanjang kaki duduk sambil mencuci kaki di tepi sungai Aykwa yang telah tercemar tailing tambang sambil meratap dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata :
Ayuu…Dorang su Ame kami pung mama pung kepala, semua sudah ancur, kami sedih, kami sakit hati…..
(aduh, mereka sudah ambil kepala ibu kami, semua hancur, kami sedih, sakit hati..)
Tangisan dan kesedihan ibu ini adalah tangisan orang papua dari suku Amungme. Amungme berasal dari 2 kata, Amung artinya utama dan me artinya manusia. Jadi pengertiannya mereka adalah manusia utama. Menurut cerita dari para leluhur mereka, suku Amungme berasal dari sebuah gua yang sekarang disebut Lembah Baliem atau Mepingama ( tempat manusia keluar pertama kali).
Menurut mitos yang mereka yakini, zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat semua jenis tumbuhan dan binatang. Alkisah suatu ketika orang-orang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan luar di gua. Namun tidak ada seorangpun yang mampu membuka pintu gua kecuali seorang sesepuh adat mereka dengan membaca mantra-mantra tertentu. Saat waktu yang diinginkan mereka ingin keluar, sesepuh tua itu membaca mantra-mantranya dibantu seorang gadis yang masih suci dan mereka pun berhasil membuka pintu gua itu.
Akan tetapi masih ada yang menghalangi mereka untuk bisa keluar dari gua. Saat itu permukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi di sekitar lingkungan gua, diutuslah seekor burung nuri dan menanti datangnya kembali sang burung. Ternyata burung nuri tidak kembali juga. Maka diutuslah seekor burung murai atau negelarki. Saat burung murai kembali, paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal ini menandakan bumi sudah mengering. Esok harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan berjalan mengikuti arah sinar matahari, arah ke barat.
Selama perjalanan, orang-orang menebarkan bibit-bibit tanaman dan melepas semua jenis binatang. Sampailah mereka pada sebuah gunung. Me-arangguma-bugin yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan. Dan orang Amungme percaya mereka adalah rombongan manusia yang pertama kali keluar dari gua. Disusul rombongan dari suku-suku lain, seperti Ekagi, Moni, Wolani.
Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitar. Alam memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan mencintai alam sekitar. Caranya dengan tidak sembarangan merusak lingkungan hidup. Jika ada yang merusak alam, orang Amungme akan berkata :
“Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arap nap atendak, ib arop nan atendak. Kelap arop nan atendak, iatong heno, Inak juo onen diamo !”
( Anak-anak mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku kan mengawasimu”)
Bagi orang Amungme, tanah bukan hanya bernilai ekonomis, melainkan bermakna magis religius. Tanah ibarat seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya. “Tanah adalah ibu kami”, ungkap mereka.
Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju termasuk puncak-puncak gunung tertinggi bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme. Puncak gunung Carstenz, Ertsberg, Grassberg beserta lembah-lembah sekitarnya sebagai wilayah keramat yang suci tidak boleh diganggu gugat. Di kawasan kepala ibu itulah konon mereka berasal dan nenek moyang berada. Daerah asal yang bernilai religius-magis inilah yang saat ini porak poranda oleh kegiatan tambang emas dan tembaga oleh Freeport.
Kehadiran Freeport yang mengambil alih seluruh tanah masyarakat ( yang dalam pandangan suku Amungme mengandung kekuatan magis dan mitologis) menyebabkan kosmologi suku tersebut terguncang sampai ke akar-akarnya. Guncangan itu semakin merasuk dan bertambah parah akan kehadiran orang - orang asing yang dipekerjakan di tanah mereka dan dalam perkembangannya suku Amungme yang dulunya merupakan pemilik tanah , saat ini hanya menjadi penonton di atas tanah uluyat mereka sendiri.
Perubahan yang mengguncangkan tersebut dapat terlihat dari lenyapnya beberapa puncak gunung yang bernilai magis dan mitologis bagi mereka, menjadi sumur-sumur raksasa yang menganga lebar.
Meskipun masih ada gunung-gunung yang kelihatannya masih utuh, di dalamnya sudah keropos dengan adanya terowongan-terowongan besar yang berlapis-lapis. Ditambah penjagaan militer yang ketat setiap harinya, membuat orang Amungme sama sekali tidak bisa mendekati dan menyentuh wilayah keramat mereka. Terlebih semua daerah konsesi Freeport saat ini dipagari kawat berduri dan penjagaan militer bersenjata lengkap, seperti di pos mile 64 sampai 78. Bahkan untuk masuk wilayah Tembagapura diperlukan surat izin khusus dari kantor Freeport di Jakarta.
Belum lagi kawasan keramat yang lainnya disekitar freeport sudah berubah menjadi kawasan pemukiman pekerja freeport dan kawasan transmigrasi program pemerintah. Daerah ini sudah menjadi infrastruktur kota Freeport. Dengan demikian tanah-tanah suci dan dikeramatkan oleh orang suku Amungme sudah berpindah menjadi tanah-tanah milik Freeport.
Jadi jangan terkejut bila ibu Amungme selalu menangis dan sakit hati bila melihat orang Freeport yang bekerja di atas tanah keramat mereka.
Ditambah sakit hati mereka, keadaan ekonomi yang harusnya mereka ikut merasakan manisnya tembaga, emas, nikel, tapi tidak mereka rasakan.
“Kami ingin berada di Irian Jaya lebih dari 100 tahun”
(Milton H Ward, Chairman of The Board of Directors Freeport Indonesia Inc, 1991)
“Freeport adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia”
(Soeharto, 03 Maret 1973)
Kedua suara inilah yang menyebabkan gaung ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi di Papua mulai tumbuh. Yang satu menjual bangsanya sendiri dan yang satu menjajah bangsa orang Amungme.
Masihkah Pemerintah terus berdiam diri melihat duka orang Amungme yang bertahan dengan hanya memandang tanah dan gunung keramat mereka sudah berubah ? dan menjadi milik bangsa lain ? Atau kita yang tega menjual tanah mereka dengan segelintir kekayaan ?
—————kisah ini diceritakan oleh Yesaya Haluk, seorang Pemuda Papua yang menjadi mahasiswa di salah satu Universitas di Bali dengan terisak dan tangisan hati yang memilukan– Sabarlah Pace….————–
ilustrasi dialog SBY and Obama
SBY : Men, masih banyak tuh SDA dan energi yang masih bisa lo jarah, yaa asal harganya pas gue lepas deh…
Obama : Yang bener lo, berapa lo mau gua kasih deh tapi ntu kalau ada yg protes-protes diberesin dulu ya, udah gue siapin tuh pangkalan di Aussie, ok khan Sob? hehehehe……..