DALAM sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.
Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.
Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.
Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.
Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.
Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.
Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.
Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.
Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.
Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.
Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.
Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu.
Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramat itu,” tulis Zentgraaff.
Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.
Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.
Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.
Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.
Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.
Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff.
Pawang Rimueng
Cerita mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.
Bagi masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian. Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan akan memakan sepotong hati harimau.
Hal itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang rimueng-red).
Tentang hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.
Bagi masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.
Mneurut Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.
Cerita tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan. Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe, Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.
Dalam bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.” Tulis Zentgraaff.
Keberadaan pawang rimueng sangat dihargai dalam masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.
Di beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu pula pawang rimueng dapat hidup layak. Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain. “Mereka terkenal karena sangat culas dan buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.
Zentgraaff mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut. Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya, sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.
Menurut Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai melepaskan dirinya dari kebendaan.
Untuk memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan dengan hati yang betul-betul bersih.
Semenjak dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau, bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan, namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak muda dengan bimbingan pawang tua, belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan ilmu kebatinan,” tulis Zentgraaff.
Iskandar Normanang.
Beranda »
Mistik “Rantee Bui” dan Kisah “Pawang Rimueng”
Mistik “Rantee Bui” dan Kisah “Pawang Rimueng”
Powered by Blogger.