Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada zaman orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu sangat besar, karena mereka menjadi “sasaran tembak” pelaku petrus. Sistem dari penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, bromocorah, anak jalanan, dan sejenisnya. Awalnya, program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang diimplementasikan oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai berada di ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup efektif, maka operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hasilnya, pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Kondisi ini berlanjut sampai tahun 1985.
Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan Soeharto, sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan pribadinya. Kasus ini juga mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-orang yang menjadi buruan petrus adalah oknum yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutkan bahwa oknum tersebut dulunya pernah dimanfaatkan Soeharto selama kampanye pemilu tahun 1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat keamanan. Jika benar begitu, maka aparat keamanan seolah buta mata setelah merasakan keefektifan program Operasi Clurit, yang merupakan cikal bakal dari penembakan misterius. Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan strategi ini untuk meneror siapa saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu, peran lembaga yudikatif seolah berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas sampai sekarang. Secara umum, penyebab belum tuntasnya kasus ini adalah kerusakan sistem pemerintahan yang cenderung mendukung pendapat Soeharto tentang teror penembakan misterius.
Menurut pandangan saya, konsep menghukum pelaku kriminal adalah benar, namun segi aplikasinya ke dalam tindakan nyata sangat keliru. Yang saya tangkap dari kasus ini, sebenarnya yang ingin ditanamkan adalah ketegasan aparat keamanan dalam menangani kasus kejahatan. Dengan cara ini pula citra aparat keamanan di mata masyarakat menjadi disegani sekaligus ditakuti. Fakta korban tewas pada tahun 1983-1985 juga menimbulkan efek jera yang membuat para preman dan kawanannya “blingsatan”. Namun, cara eksekusi para pelaku kriminal ini sangat tidak manusiawi, mereka diculik, ditembak dalam keadaan mata tertutup dan tangan terikat, kemudian mayatnya digeletakkan di sembarang tempat. Kita semua mungkin sepakat bahwa kasus ini merampas hak-hak asasi dari para korbannya. Negara ini adalah negara hukum, bahkan hal itu sudah tercantum di UUD 1945 atau 43 tahun sebelum peristiwa ini terjadi. Jika memang terbukti pemerintah ada di balik semua ini, maka telah terjadi pelanggaran hukum yang sangat berat yaitu pelanggaran konstitusi.
Komnas HAM pernah mencoba mengumpulkan kesaksian dari beberapa sumber. Hal itu disampaikan oleh Bathi Mulyono, seorang saksi hidup atau lebih tepatnya mantan buronan petrus. Bathi menambahkan, menurutnya langkah lembaga ini seolah hanya sekedar melengkapi kepustakaan dan dokumen saja, tidak ada tindakan nyata selanjutnya. Proses hukum yang dilakukan Komnas HAM memang cukup rumit, tidak semudah kasus pelanggaran HAM lainnya. Bedanya kasus ini dengan kasus lain adalah pelaku penembakan yang masih misterius, karena tidak ada pihak yang mau mengklaim bertanggung jawab atas kasus tersebut. Semuanya serba tabu, sehingga penyelidik mengalami hambatan dalam memulai tugasnya untuk mendapatkan informasi yang akurat. Keadilan sangat membutuhkan adanya saksi, namun kesaksian perlu dikonfirmasi dan diolah agar didapatkan kesimpulan yang logis. Di sini keefektifan langkah Komnas HAM diuji, yaitu bagaimana memproses informasi dari saksi-saksi sebagai dasar untuk menentukan tindakan selanjutnya. Namun, pada kenyataannya, langkah ini terhenti dan tidak berkembang.
Mungkin bagi generasi muda sekarang, termasuk saya sendiri, cerita tentang kasus penembakan misterius hanya didengar melalui cerita orang tua, kakek, atau nenek yang memang hidup di masa itu. Letak kekuatan generasi muda bisa sebagai media pencari informasi yang efektif, karena sumber informasinya adalah orang-orang terdekat yang sekarang masih ada. Dengan kemajuan teknologi, generasi muda bisa saja membentuk grup-grup diskusi di dunia maya untuk saling berbagi informasi tentang kesaksian penembakan misterius, dan hasilnya bisa dilaporkan kepada Komnas HAM. Peran pemuda di sini adalah sebagai jembatan informasi antara narasumber dengan lembaga Komnas HAM, disertai dengan fungsi sebagai penyuplai informasi sehingga Komnas HAM tidak kehilangan arah dalam bertindak. Diharapkan dengan adanya sistem seperti itu bisa diperoleh titik temu yang bisa dijadikan bahan penyelidikan lebih lanjut.
Peristiwa seperti petrus, dan juga pelanggaran HAM lain merupakan bentuk dari ketidakpastian hukum. Secara sadar, manusia sepakat tentang adanya hak-hak asasi, namun terkadang kesadaran itu hilang saat seseorang bernafsu mencapai suatu tujan dan dipengaruhi oleh kondisi emosi. Sebuah ironi jika hukum dibuat oleh penguasa, dijalankan oleh penguasa, dan dilanggar oleh penguasa sendiri. Negara Indonesia menerapkan hukuman bagi pelanggaran sesuai dengan kadarnya, artinya kepastian hukum sudah jelas ada dan telah diatur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif seharusnya menjauhi sikap represif dalam menghadapi penolakan dari rakyatnya, karena negara ini menganut paham demokrasi, bukan otoriter. Salah satu indikator sitem demokrasi adalah menghukum seseorang melalui prosedur yang sah, tidak serta-merta merampas hak-hak asasi. Mekanisme penjatuhan hukuman bagi tindakan kriminal sudah diatur dalam pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Menurut saya, efek jera bisa diperoleh asalkan aturan dijalankan secara tegas. Saran dari saya, Komnas HAM segera membentuk tim khusus pencari fakta sejarah serta segera pula mengembangkan jaringan komuniskasi, misalnya dengan forum diskusi pemuda yang tadi disebutkan. Langkah ini harus dilakukan sekarang juga, karena semakin lama jumlah narasumber dan saksi hidup semakin berkurang. Sebagai kontrol dan penyeimbang, diharapkan media massa berperan melakukan publikasi isu-isu terkini dari perkembangan kasus ini, agar masyarakat luas bisa ikut bersikap kritis.
Mohammad Achor