Mungkin banyak tokoh yang lupa. Di Istana Negara tercatat sebuah dokumen penting. Catatan sejarah di mana tiga presiden Republik Indonesia meninggalkan warisan. Sebuah warisan sangat penting bagi seluruh anak bangsa, yang sama persis wujud dan nilainya. Sayangnya para petinggi negara dan tokoh masyarakat hanya mencatat, tapi enggan menerima warisan beliau-beliau. Ada apakah? Apakah karena masih dirahasiakan?
Sudah saatnya belajar menghargai dan mengambil hikmah.
Adalah kebetulan bahwa 3 mantan presiden sudah wafat: Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur. Adalah lumrah mereka meninggalkan warisan untuk disimpan di dalam Istana Negara. Adalah bukan masalah jika kebetulan wujud dan nilai warisan sama persis. Adalah penting bangsa Indonesia mau belajar menghargai warisan yang mereka tinggalkan, lalu mengambil hikmahnya. Dan adalah wajib untuk berlega hati sekaligus wajib melupakan perbedaan!
A. Warisan Presiden Soekarno (Bung Karno): Seorang sipil, pejuang kemerdekaan, insinyur, presiden pertama, proklamator, pendiri bangsa, pencetus falsafah Pancasila, pendiri PNI, penguasa jama Orde Lama. Namun jatuh kekuasaanya di tengah jalan.
Apa hikmahnya? Bila mau jujur beliau jatuh bukan karena kritik dan serangan. Bukan itu sebab utamanya. Tapi karena TERLALU MEMANJAKAN Partai Komunis Indonesia. Rakyat cemas kemudian enggan membela ketika beliau dijatuhkan.
B. Warisan Presiden Soeharto (Pak Harto): Seorang angkatan darat, presiden kedua, penyandang gelar Bapak Pembangunan, pendiri Golkar, penguasa jaman Orde Baru. Juga jatuh kekuasaannya di tengah jalan.
Apa hikmahnya? Bila mau jujur beliau jatuh bukan karena kritik dan serangan. Bukan itu sebab utamanya. Tapi karena TERLALU LAMA berkuasa. Rakyat bosan kemudian enggan membela ketika beliau dijatuhkan.
C) Warisan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Seorang santri NU, presiden keempat, budayawan, intelektual, pejuang HAM dan demokrasi, pengayom kaum minoritas, ketua PKB dan PBNU, tokoh era reformasi. Di tengah jalan jatuh pula kekuasaannya.
Apa hikmahnya? Bila mau jujur beliau jatuh bukan karena kritik dan serangan. Bukan itu sebab utamanya. Tapi karena TERLALU BERANI mengambil kebijakan yang bersebrangan dengan aspirasi mayoritas. Sementara PKB cuma partai kecil di bawah PDIP dan Golkar. Rakyat jengkel kemudian enggan membela ketika beliau dijatuhkan.
Di sinilah catatan warisan 3 presiden di Istana Negara.
Meskipun tidak tertulis secara administratif dengan bukti fisik, ketiga presiden telah meninggalkan warisan penting. Yaitu berwujud PELAJARAN bahwa kejatuhan seseorang adalah akibat perbuatan sendiri. Bukan karena kritik, maupun kecaman, ataupun serangan.
Namun sayang seribu sayang para petinggi negara dan tokoh masyarakat enggan menerima, enggan belajar dari warisan tersebut di atas. KEBANYAKAN bersikap seperti itu.
Akibatnya mereka keranjingan bermain citra-citraan. Akibatnya kecanduan popularitas penuh tipu muslihat. Akibatnya ngambek bila dikritik. Akibatnya memusuhi siapapun yang melancarkan kritik. Akibatnya manja minta dikasihani dengan berjualan air mata di muka umum. Akibatnya rame rame berebut posisi menjadi pihak yang DIZALIMI.
Sebegitu lemah mentalitas mereka, apa yang diharapkan?
Maka jangan salahkan rakyat bila lama-lama ENEG atau muak menyaksikan mentalitas kerdil seperti itu. Mentalitas yang lahir dari budaya gemar jalan pintas, gemar berdusta, gemar memanipulasi ayat ayat suci, dan gemar mencari kambing hitam sebagai penyebab kegagalan.
Akhirnya kembali kepada sikap masing masing para petinggi negara dan tokoh masyarakat di semua lapisan. Apakah sudah lupa sejarah dulu antara Bung Karno dengan lawan-lawan politiknya sering sarapan pagi bareng. Mereka saling kritik tiap hari dan tetap rukun bersahabat sambil rajin bareng sarapan pagi.
Bila Anda sepakat dalam hal ini maka “diplomasi sarapan pagi” gaya Bapak Bangsa yang serupa “kopi darat” bagi netizen sangat relevan untuk dipelihara dan dilestarikan. Demi mengembangkan kerukunan di tengah perbedaan. Dan demi membiakan kebesaran jiwa di tengah suburnya kekerdilan jiwa dan sikap mau bener sendiri.
++
“Jika saya jatuh dari kedudukan apapun saya pastikan akibat ulah saya sendiri, bukan jatuh karena kritikan!”'
(Ragile).