BERAWAL dari sebuah candi Hindu, lambat laun berubah menjadi mesjid yang kini telah menjadi salah satu tempat wisata realigi di desa Peukan Indrapuri atau dikenal dengan Indrapuri Pasar, Kabupaten Aceh Besar. Unik dan menarik untuk diketahui, serentetan sejarah masuknya Islam ke Aceh membuat kita tidak akan pernah tahu kisah dari candi Hindu yang sempat dihancurkan lalu menjadi mesjid yang kini masih setia menemani warga setempat untuk beribadah.
Mesjid Indrapuri ini masih tetap terjaga dengan etnik tradisional yang dimilikinya, bentuk serta ukuran yang tidak begitu mewah menambah tanda tanya besar, dari mana asal usulnya mesjid yang berukuran bujursangkar tersebut bisa menyimpan berjuta sejarah Aceh tempo dulu.
Sebelum tahun 1607 M – 1636 M pada masa kesultanan Iskandar Muda berjaya, Indrapuri adalah salah satu daerah yang pernah ditempati oleh orang-orang Hindu di Aceh. Candi Hindu itu dulu juga dikenal dengan benteng atau kerajaan orang Hindu, pada tahun 604 M adik perempuan dari Putra Harsha melarikan diri dari kerajaannya ke Aceh. Lalu setelah menetap di Aceh, Putra Harsha mendirikan kerajaan yang diduga adalah besar kemungkinan Indrapuri sekarang ini seperti yang pernah dikutip oleh waspadamedan.com dalam tulisan “Candi Menjadi Masjid Jamik Indrapuri”.
Selain dugaan dari kerajaan yang didirikan oleh Putra Harsha, ada juga bukti lain yang terdapat diseputaran daerah Indrapuri tersebut seperti adanya perkampungan orang Hindu, yakni yang terletak di kampung Tanoh Abe serta beberapa peninggalan kuburan orang Hindu.
Indrapuri menurut orang-orang Hindu pada zaman itu mempunyai arti Kuta Ratu, selain mendirikan kerajaan di Indrapuri, Putra Harsha juga mendirikan kerajaan lainnya di Ladong, Aceh Besar, menuju ke pelabuhan Malahayati, yang sering dikenal masyarakat sekitar dengan nama benteng Indrapatra.
Jika melihat dari buku “Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh”, karangan Yunus Djamil menyebutkan bahwa, Indrapuri merupakan bagian dari kerajaan Hindu Indrapurwa, dan salah satunya termasuk benteng Indrapatra tersebut.
Saat kita mau memasuki komplek dari mesjid tua Indrapuri ini, akan disambut dengan penampilan klasik dari kayu-kayu tua yang berdiri kuat di atas pondasi-pondasi benteng yang telah dirubuhkan pada masa pendudukan Belanda dan Portugis saat bertahan di Aceh.
Selain penampilan yang serba sederhana, atap dari mesjid tua ini memang sangat beda dari mesjid-mesjid pada umumnya di Aceh. Berbentuk segi empat atau dikenal dengan tumpang yang tersusun tiga. Susunan kayu-kayu yang saling menyatu menambah kemolekan dari setiap sudut yang terbentuk dalam mesjid ini. Berbagai sisi yang saling menopang tetap menyimpan berbagi bekas sejarah yang sudah dilewati ratusan tahun oleh mesjid tua Indrapuri ini.
Luas area mesjid Indrapuri sekitar 33 meter kubik tersebut, berada dekat dengan jalan raya lintas Banda Aceh-Medan. Jadi sangat mudah bagi yang mau berwisata religius ke Indrapuri, selain mudah dijangkau, juga bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi. Dari pusat kota Banda Aceh ke Indrapuri berjarak sekitar 24 km ke arah utara.
Ada satu sejarah penting lagi dari mesjid Indrapuri ini diakhir tahun 1874 M, saat penobatan Tuanku Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam, mesjid tua Indrapuri juga menjadi saksi bisu.
Sampai saat ini, peninggalan sejarah dari mesjid Indrapuri telah mendapat perhatian dari pemda setempat. Disisi depan kompleks terlihat jelas papan peringatan untuk masyarakat, yang berbunyi “Dilarang merusak mengambil atau memindahkan. Dilarang mengubah bentuk dan memisahkan keadaan atau kesatuan benda cagar budaya yang berada di dalam situs dan lingkungannya,” semoga dengan berbagai bukti sejarah ini bisa kembali mengingatkan kita akan khasanah budaya Aceh yang begitu besar dulunya sampai sekarang untuk anak cucu kita nantinya.
Tambahan Beritap>
Menurut riwayat sejarah, Indrapuri dulunya merupakan sebuah kerajaan yang didirikan masyarakat terdahulu di Aceh. Asal mula kerajaan tersebut dari salah seorang adik perempuan putra Harsha dari India yang suaminya terbunuh dalam peperangan yang dilancarkan oleh bangsa Huna pada tahun 604 M.
Setibanya di Aceh dari pelarian tersebut Putri kerajaan mendirikan sebuah kerajaan yang kini dikenal dengan sebutan Indrapuri. Hal tersebut diperkuat dengan fakta jika didekat Indrapuri terdapat perkampungan yang dulunya dihuni masyarakat beragama hindu yaitu di desa Tanoh Abei serta sejumlah kuburan Hindu di seputaran Indrapuri.
Di kerajaan tersebut didirikan candi yang diberi nama dengan Indrapuri yang artinya Kuta Ratu. Selain itu kerajaan juga mendirikan kerajaan Indrapatra yang terletak di Ladong atau jalan menuju Pelabuhan Malahayati Krueng Raya.
“Candi atau Masjid Indrapuri dulunya merupakan bagian dari tiga benteng yang berbentuk segitiga sebagai titik kekuatan tiga kerajaan Hindu terbesar. Kedua benteng lainnya adalah benteng Indrapatra di Ladong Kecamatan Mesjid Raya dan Benteng Indrapurwa di Lembadeuk Kecamatan Peukan Bada,” kata Imam Masjid Indrapuri Tengku Syafi’i Zamzami.
Seiring dengan berkembangnya Islam di Aceh, bangunan candi yang dibangun kerajaan Indrapuri pun diruntuhkan. Dan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) di atas reruntuhan itu dibangun masjid sebagai tempai ibadah umat muslim.
Sementara kisah lainnya menyebutkan, Masjid Indrapuri tersebut telah dibangun sejak abad 10 M sebagai peninggalan kerajaan Poli/Puri yang kemudian disebut Lamuri oleh orang Arab dan disebut Lambri oleh Marcopolo.
Dikisahkan , sebelum masa Iskandar Muda, seorang penyiar Islam bernama Abdullah Kan’an yang bergelar Tengku Abdullah Lampeuneuen berasal dari Peurelak, Aceh Timur bersama Meurah johan, Putra Kerajaan Lingga mencoba mengajak raja beserta rakyat Kerajaan Lamuri untuk memeluk Islam.
Dan kebetulan pada saat itu Kerajaan Lamuri kedatangan gerombolan bajak laut Cina yang dipimpin seorang Ratu yang bernama Putroe Neng. Meski cantik, Ratu tersebut dikenal sangat kejam dan begis serta seluruh anak buahnya juga memiliki ilmu bela diri yang tinggi.
Kedatangan ratu bajak laut tersebut ke Kerajaan Lamuri, tidak lain hanyalah utuk menaklukkan negeri Lamuri. Melihat upaya tersebut, Raja Lamuri segera menolak mentah keinginan tersebut. Sehingga perang pun tidak bisa dihindari.
Pada saat Kerajaan Lamuri dalam keadaan terdesak. Tengku Abdullah Lampeneuen dan Meurah Johan menawarkan bantuan. Dan berkat bantuan kedua penyiar Islam itupun akhiranya kerajaan Lamuri dapat mengalahkan gerombolan bajak laut asal Cina tersebut.
Sebagai ungkapan terima kasih Baginda Raja akhirnya memeluk agama Islam beserta dengan rakyatnya. Setelah menjadi kerajaan Islam, oleh Tengku Abdullah Lampeuneuen, Baginda Raja Lamuri diberi gelar Sultan Alaidin Johansyah Dhilullah Fil’alam.
Setelah Lamuri menjadi kerajaan Islam, candi-candi yang dulunya digunakan umat Hindu itupun terbengkalai dan runtuh satu persatu. Atas dasar tidak mubazir, candi tersebut akhirnya diusulkan menjadi masjid. Usulan itupun diterima Raja hingga akhirnya candi Indrapuri resmi berubah fungsi menjadi sebagai masjid.
Kemudian pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di atas bekas candi tersebut kembali dipugar kembali menjadi masjid yang lebih megah dengan ukuran 18,8 m x 48,8 meter dan tinggi 11,65 meter. Selain sebagai tempat ibadah mesjid tersebut juga digunakan sebagai pusat kegiatan masyarakat seperti pendidikan, ibadah, ekonomi dan sebagainya.
Masjid Indrapuri juga pernah digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam untuk beberapa bulan ketika ibukota kerajaan yang berada di Kutaraja direbut oleh Belanda. Namun kemudian masjid ini pun dapat direbut Belanda sehingga ibukota kembali dipindahkan dari Indrapuri ke Keumala.
Peristiwa yang paling terkenal dalam perkembangan masjid ini terkenal adalah penggunaan masjid sebagai tempat penobatan Tuanku Mahammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaaan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah pada akhir tahun 1874 M.
“Meskipun terdapat sedikit perbedaan sejarah awal berdirinya masjid Indrapuri, namun secara umum hampir semuanya sama, semuanya menyatakan jika Masjid Indrapuri merupakan sebagai simbol kebangkitan Islam di Aceh,” tegas Tengku Syafi’i Zamzami.
Lelaki yang kini bertanggungajawab sebagai Qadhi Masjid Indrapuri tersebut juga menyebutkan arsitektur rumah ibadah yang terletak sekitar 24 km dari pusat Kota Banda Aceh itu masih sangat kenal dengan bangunan kuno. Hal itu tampak dari bahan kayu dan ukiran dengan nuansa abad ke 16.
“Dindin kayu penopang yang berumlah 36 batang tersebut merupakan peninggalan asli dari bangunan kerajaan masa dahulu. Selain itu menara yang terletak di samping kanan masjid juga telah ada sejak lama,” ujar pria paruh baya itu
Sedangkan bekas candi juga masih terlihat pada tapak dan bangunan tembok tebal yang mengelilingi masjid. Dari plester tembok yang sebagian sudah terkelupas dapat diihat jika Candi Indrapuri terbuat dari batu hitam berukuran panjang sekitar 40 cm, lebar 20 cm dan ketebalan 5 cm.
Sampai sekarang tembok berbentuk seperti puden berundak atau tida tinka dengan ketinggian 1,46 meter masih dapat berdiri kokoh di tengah-tengah pusat perbelanjaan masyarakat di Kecamatan Indrapuri.
Kontruksi bangunan Masjid Indrapuri tidak jauh berbeda dengan bangunan masjid kuno yang umumnya dijumpai di Indonesia. Pintu masuk berada di sebelah timur dan untuk masuk setiap pengunjung harus melalui plataran yang merupakan halaman luar.
Di halaman kedua terdapat kolam penampung air hujan, sedangkan pada lantai masjid terdapat 36 tiang penyangga yang terbuat dari batu kali. Di dalam masjid juga dihiasi 36 tiang kayu dengan diameter 0,28 meter. 32 tiang berfungsi sebagai penyangga dan empat tiang yang menghubungkan kubah masjid berbentuk persegi delapan.
Atap Masjid Indrapuri didesain berdasarkan konstruksi atap penopang yang berjumlah tiga susun berdasarkan sistem payung terbuka. Dan pada bagian puncak atap terdapat sebuah mustaka yang berbentuk seperti nenas dengan pola hias simbar.
Kini Masjid Indrapuri pun semakin tampak indah dengan berbagai upaya pemugaran yang dilakukan pemerintah daerah guna menjaga keasrian salah satu situs sejarah Islam di bumi “Serambi Mekkah”.
“Saat ini halaman lingkungan masjid jauh lebih luas ditambah lagi dengan sejumlah bangunan tambahan seperti tempat wudhu’ dan juga perpustakaan yang menyimpan sejumlah dokumen, buku serta kitab-kitab lama yang menunjukkan kejayaan Islam di Indrapuri,” kata Tengku Sayfi’i.
Namun, menurutnya, yang diperbolehkan pemerintah hanya pemugaran bagian luar masjid, sedangkan bangunan dan tembok yang mengelilingi mesjid tidak diperbolehkan pemerintah untuk direnovasi, meskipun hanya cat. Karena dikhawatirkan akan merusak nilai sejarah dari tempat ibadah umat muslim itu.
“Pemerintah, melalui Dinas Kebudayaan telah menyampaikan imbauan kepada kami sebagai pengurus untuk tidak mengubah bentuk asli dari masjid. Serta dilarang memindahkan penempatan sejumlah benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya,” ujar pria murah senyum itu seraya menujukkan dokumen-dokumen yang ia miliki.
Kini kemegahan dan keanggunan masjid yang berada di pinggiran Krueng Aceh juga senantiasa tampak dari banyaknya wisatawan domestik maupun luar negeri yang datang. Bahkan peneliti yang ingin mengkaji kembali sejarah Salah satu masjid tertua di Indonesia itu.
Safwan, warga Indrapuri mengatakan, dirinya merasa sangat senang untuk melaksanakan ibadah di masjid tersebut, selain nuansa sejuk dan tidak bising. Dirinya juga merasa lebih khusu’ dalam melaksanakan ibadah sehari-hari.
“Nuansa alami dan jauh dari kebisingan inilah yang membuat saya senang mengunjungi dan melaksanakan ibadah di masjid ini. Selian itu kita juga bisa merenungkan kembali perjuangan pendahulu kita dalam menyiarkan agama Islam,” kata dia.
Untuk itu, Safwan mengharapkan kepada Pemerintah untuk menjaga dan merawat situs sejarah kebanggaan rakyat Aceh itu. “Saat ini sudah sangat banyak situs-situs sejarah Aceh yang terbengkalai dan hancur, kita harap hal tersebut tidak sampai terjadi dengan Masjid Indrapuri,” harapnya.