Beranda » Sejarah Papua, Sesatkah?

Sejarah Papua, Sesatkah?



Yang dinamakan tanah air Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederlands IndiĆ«…….

Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”



(Kutipan Pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963)


Merujuk pada kutipan pidato Bung Karno pada saat itu, sudah sangat pasti bahwa Papua yang juga merupakan jajahan Belanda adalah bagian dari wilayah Indonesia. Tapi memang pada saat itu Belanda belum mau hengkang dari tempat itu. Hal tersebut menimbulkan polemik/penyimpangan yang mungkin memang disengaja oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Perlu diketahui bahwa Papua sebagai wilayah Indonesia adalah sah dan tidak perlu dipertanyakan lagi.


Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee pada Agustus 2009 silam mengatakan bahwa Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar sehingga tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi”. Hal ini disampaikan dalam menanggapi sejumah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) pada 1969 silam.


Lebih lanjut Ramses mencontohkan bahwa fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sangat disayangkan masih adanya yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini sangatlah keliru karena para pemuda Papua Hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ramses mencontohkan bahwa ayahnya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda yang hadir pada saat pengikraran Sumpah Pemuda.


Selain itu, Ramses mengatakan bahwa yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.



Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Papua (yang pada saat itu bernama Irian Barat) menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.


Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan “New York Agreement” untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu. Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.


Hal serupa juga pernah diungkapkan oleh Nicholas Youwe pada pertemuannya dengan Purnomo Yusgiantoro (Menteri Pertahanan) dan jajarannya di Kementerian Pertahanan, Jakarta pada April 2010, yang menyatakan bahwa “Hak Asasi Manusia orang Papua sudah direalisasikan pada tahun 1969 dan diakui PBB ketika orang Papua menentukan nasibnya sendiri dalam Republik Indonesia”.


Nicholas Youwe juga pernah mengatakan “Saya tidak melihat ada hal-hal seperti itu (ketidakpuasan dan pelanggaran HAM) terjadi di Papua. Papua itu wilayah Indonesia dan semua rakyat Indonesia ingin maju. Kami ingin jadi warganegara yang setia


Opini yang pernah diucapkan oleh pemimpin senior sekaligus pendiri gerakan separatis Papua Merdeka tersebut menunjukkan bahwa dirinya mengaku tidak melihat ada ketidakpuasan maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti selama ini kerap disebut terjadi di tanah kelahirannya tersebut.


Papua itu wilayah Indonesia dan semua rakyat Indonesia ingin maju.


– Nicholas Youwe–


Selama ini Nicholas Youwe bermukim di Belanda dengan didampingi mantan Mantan Menteri Luar Negeri OPM Nicholas M. Messet. Nicholas Youwe yang pada April 2010 lalu baru beberapa minggu tinggal dan kembali ke Indonesia setelah selamaa hidupnya kebanyakan dihabiskan di Belanda mengatakan sangat bangga saat dirinya dipertemukan dengan perwira TNI dari berbagai kesatuan dan matra angkatan TNI, yang berasal dari Papua. Nicholas Youwe juga meminta pemerintah agar bisa lebih banyak lagi untuk menerima putra asli Papua sebagai prajurut TNI.

Dari beberapa fakta diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa hal yang menunujukkan keabsahan Papua sebagai wilayah Indonesia yang selama ini menjadi polemik di masyarakat. Diantaranya yaitu:1. Keturutsertaan pemuda pada saat sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 yang selama ini dibelokkan dengan menyatakan bahwa pemuda Papua tidak ada yang menghadiri ikrar tersebut. Itu dapat ditepis bahwa Poreu Ohee (Ayah Ramses Ohee) menghadiri saat-saat pengikraran Sumpah Pemuda.

  1. Secara hukum imternasional, Uti Possedetis Juris yang menyatakan bahwa wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka.
  2. Hasil akhir Pepera pada 1969 yang menyatakan bahwa masyarakat Papua memilih bergabung dengan NKRI
  3. Keluarnya resolusi No. 2504 tanggal 19 November 1969 dari Majelis Umum PBB yang mensahkan hasil PAPERA dan secara otomatis pemerintahan efektif Papua telah diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Indonesia, hal ini juga ditandai dengan diturunkannya bendera UNTEA yang sebelumnya bendera Indonesia harus berbarengan dengan bendera UNTEA (yang menandakan bahwa pemerintahan Papua belum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia).
Permasalah sejarah tentang Papua sudah seharusnya tidak menjadi perdebatan dikalangan masyarakat karena sudah diakui secara sah dalam hukum nasional maupun internasional bahwa Papua memang milik Indonesia mulai sebelum kemerdekaan maupun hingga saat ini berdasarkan beberapa bukti sejarah yang ada. Oleh sebab itu, mudah-mudahan tidak ada lagi pihak-pihak yang ingin membelokkan sejarah yang pernah terjadi.

Dewi Sartika





Powered by Blogger.