Lama sebelum manusia mempunyai pengertian yang sebenarnya mengenai bentuk atau besar planet yang menghidupi mereka, apalagi jauh sebelum mereka memiliki pengetahuan tentang tempatnya yang hina dalam alam semesta ini, manusia sudah diresapi oleh suatu keyakinan. Keyakinan itu adalah bahwa setiap lembah kelahirannya, atau pelabuhannya yang aman dan terlindung atau dataranya yang kaya akan binatang buruan tempat mereka bertahan hidup, bagaimana pun juga semua itu menjadi pusat seluruh rencana semesta.
Di negeri Yunani Purba, orang pecaya bahwa semua dewa alam semesta terdiam di sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi, yakni gunung Olympus yang terletak 241 kilometer dari Athena. Meskipun negeri China dirobek-robek serta diduduki berkali-kali oleh orang Barbar yang bergelombang datangnya, namun penduduknya selalu menganggap bahwa negeri itu sebagai pusat segala Negara.
Baru beberapa puluh tahun berselang, pengakuan kota Boston sebagai Pusat Alam Semesta yang sebenarnya hanyalah lelucon,ternyata bukan lelucon bagi warga Boston itu sendiri. Di belakang setiap perasaan ini dan sekitar seratus perasaan serupa, terdapatlah logikan tertentu, yakni bahwa pada akhirnya, setiap orang adalah pusat cakrawalanya sendiri, setiap kerajaan ada ditengah-tengah tetangganya; dalam pandangan manusia, kawasan bumi adalah pusat langit sekitarnya. Lama juga jangka waktu sebelum ada orang yang merenungkan ukuran planet bumi itu sendiri. Tingginya gunung di benua dan dalamya parit di samudra pernah dan masih cukup mengagumkan, meskipun bila dilihat secara horizontal jarak vertical yang memisahkan Puncak gunung Everest dari dasar Parit Mariana tidak lebih tamasya sehari.
Meskipun para filsuf yang lebih awal telah menyimpulkan bahwa bumi itu bulat, namun baru sekitar 250 Sebelum Masehi, Eratosthenes seorang Yunani Iskandariah, telah menggunakan geometri untuk memecahkan masalah seluruh matra bumi. Di Syene, sebuah kota udik sekitar 5.000 stadia (800 kilometer) di sebelah selatan Iskandariah, terdapatlah sumur yang dalam dan kering. Erastothenes menemukan bahwa pada hari titik balik matahari musim panas, pada waktu tengah hari, cahaya matahari langsung turun kelubang sumur dan menerangi dasarnya. Erastothenes pun tahu bahwa pada hari itu juga di Iskandariah, pada waktu tengah hari matahari bukannya tegak lurus akan tetapimenjatuhkan bayangan yang cukup panjang. Oleh karena matahari itu sebagai sumber cahaya yang cukup jauh untuk membuat sinarnya praktis sejajar, maka Eratosthenes menggunakan perhirtungan geometri sederhana untuk memperlihatkan bahwa “selisih sudut antara Syene dengan Iskandariah adalah seperlima puluh lingkaran”, jadi dengan melipatkan “5000 stadia kali 50”, Erastothenes mandapatkan perhitungan pertama dalam sejarah yang hasilnya mendekati panjang keliling bumi. Kalau dipindahkan dari stadia ke kilometer, Erastothenes akan mendapatkan angka sekitar 40.300 kilometer untuk keliling bumi, dan lebih kurang 12.900 kilometer untuk garis tengahnya. Hasil pengukuran modern pada khatulistiwa adalah 40.075,7 kilometer untuk keliling bumi dan 12.740 kilometer untuk garis tengahnya.
Untuk pengukuran yang sekasar itu, hasil karya Erastothenes tadi sangatlah mengagumkan , (Berdasarkan itu, seorang ahli geometri Yunani lain malah sampai pada perhitungan mengenai jarak bulan ke bumi, juga dengan hasil yang mengejutkan ketepatannya). Bagaimanapun juga, perhitungan dari Iskandariah itu diabaikan atau hilang. Maka dari iu, kira-kira 1.700 tahun kemudian, berangkatlah Columbus ke barat, mengelilingi dunia menuju Hindia, akan tetapi dalam angan-angannya ukuran bumi diperkirakan jauh lebih kecil. Bertentangan dengan anggapan dongeng, Columbus pun tahu bahwa bumi itu bulat, sebagaimana diketahui juga oleh pelaut besar dalam zamannya, akan tetapi yang tidak diketahuinya adalah ukuran bumi yang sebenarnya. Bahkan perhitungan Erastothenes tadi baru dimantapkan kembali pada zaman pelayanran keliling bumi abad ke-16.
Aan Faalil F