Dalam sebuah laporan Jurnal Geofisika International yang diterbitkan bulan ini, Dr Graeme Eagle dari Departemen Ilmu Pengetahuan Alam Royal Holloway, Universitas London, mengungkapkan bagaimana sebuah benua yang paling besar pernah ada, mengalami kepunahannya.
Gondwana adalah sebuah superkontinen (benua raksasa) yang pernah ada di antara 500 dan 180 juta tahun yang lalu. Selama masa empat dekade lalu, para ahli geologi telah mendiskusikan bagaimana Gondwana mengalami kehancuran. Skenario yang banyak berkembang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok pemikiran – satu teori menyatakan bahwa benua tersebut terpisah menjadi beberapa lempeng kecil, dan teori kedua mengklaim bahwa pecahnya benua tersebut menjadi beberapa lempeng besar. Dr Eagles, bekerjasama dengan Dr Matthais Konig dari Institut Alfred Wegener untuk Riset Kutub dan Angkatan Laut di Bremerhaven, Jerman, telah memikirkan suatu model komputer yang baru yang mampu menunjukkan bahwa superkontinen pecah ke dalam dua potongan, terlalu berat untuk menopangnya secara bersamaan.
Gondwana terdiri dari sebagian luas wilayah di bagian Selatan Belahan Bumi masa kini, yang meliputi Antartika, Amerika Selatan, Afrika, Negeri Madagaskar, Australia, Papua Nugini dan Selandia Baru, sedangkan Arab dan India merupakan anak benua dari bagian Utara belahan bumi tersebut. Berkisar antara tahun 250 dan 180 juta tahun yang lalu, semua itu membentuk superkontinen tunggal yang disebut “Pangea”.
Bukti menyatakan bahwa Gondwana mulai pecah sekitar 183 juta tahun yang lalu. Analisis magnetis dan data anomali gravitas dari beberapa pecahan Gondwana pertama adalah patahan zone wilayah di Mozambique dan Laut Riiser-Larsen sampai Antartika. Dr Eagle dan Dr Konig yang merekonstruksi alur masing-masing bagian dari pecahan-pecahan Gondwana yang terpisah itu. Model komputer mengungkapkan bahwa superkontinen dibagi menjadi hanya dua plat besar, barat dan timur. Kira-Kira 30 juta tahun kemudian, dua plat ini mulai berpisah membentuk benua yang kita kenal seperti pada bagian selatan belahan bumi masa kini.
Menurut Dr Eagle dan studi Dr Konig, dikarenakan superkontinen seperti Gondwana memiliki gaya gravitasi yang tidak stabil dengan samudera dan mempunyai kulit keras dan tebal pada bagian dalam, maka dengan cepat gondwana mulai roboh ke bawah karena beban mereka sendiri.
Dr Eagles menyatakan, “Penemuan ini merupakan titik awal untuk melakukan riset yang lebih akurat dan teliti terhadap superkontinen tersebut. Model baru terhadap posisi India dan Sri Lanka di Gondwana yang secara lebih luas telah digunakan untuk masa 40 tahun yang lalu, menempatkan mereka pada posisi yang sangat berbeda di superkontinen itu. Perbedaan ini mempunyai konsekuensi pada pemahaman kita terhadap Bumi.