Ratu dari Timur. Itulah julukan untuk kota Batavia karena kecantikan bangunan-bangunannya dan ramainya perdagangan didalamnya. Kota itulah pusat dari segala daya upaya Kompeni menguasai perdagangan di seluruh kepulauan Hindia, sekaligus sebagai Ibukota pemukiman-pemukiman Belanda di Hindia.
Sebelumnya kota itu bernama Jayakarta yang sebagian besar hancur saat kota itu direbut Kompeni pada 1619 dari kesultanan Banten. Jan Pietersen Coen kemudian membangun sebuah kota yang lain, tidak tepat pada lokasi yang sama dengan Jayakarta, namun sangat dekat yang dinamakan dengan Batavia. Konon sesungguhnya nama yang paling diinginkannya adalah New Horn, sebagai pengingat akan kota Horn di Belanda Utara, tempat kelahirannya.
Dalam sejarahnya Ratu dari Timur yang cantik itu pernah pula menjadi tempat berlangsungnya kejadian-kejadian yang mengerikan seperti pembantaian orang China pada tahun 1740 dan hukuman-hukuman penyulaan.
Pembantaian orang China 1740
Cerita mengenai pembantaian orang China di Batavia pada 1740, menarik untuk dituliskan semata karena beberapa detail dalam sumber rujukan tulisan ini luput atau berbeda dengan penulisan-penulisan yang pernah saya baca sebelumnya mengenai kejadian tersebut. Rujukan yang saya maksudkan adalah tulisan seorang Belanda bernama Ary Huysers, yang lama bermukim di Batavia, yang menuangkan kisah pembantaian itu dalan sebuah catatan yang saya akses sebagai catatan kaki dalam buku Eksotisme Jawa oleh John Joseph Stockdale.
Dalam catatan tersebut Huysers menyebutkan bahwa pembantaian itu adalah klimaks dari beberapa kejadian yang terjadi sebelumnya, yang dimulai dengan kedatangan beberapa ribu orang yang disebutnya sebagai petualang dan pemburu harta dari China di Batavia, yang tertarik oleh keberhasilan rekan senegara mereka yang telah lama bermukim di sana.
Tekanan tempat hidup baru serta realita-realita sosial yang tidak mudah, membuat banyak diantara mereka yang melakukan tindakan-tindakan perampokan dan pembunuhan yang membuat Van Imhoff, seorang anggota Dewan Hindia, menyodorkan gagasan untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut. Dalam aturan yang kemudian diterima tersebut, setiap orang China yang tidak bisa membuktikan bahwa dirinya mempunyai penghidupan yang jujur harus ditangkap dan dibuang ke Srilangka untuk dipekerjakan ditambang atau pekerjaan lain untuk Kompeni.
Aturan tersebut kemudian menjadi bumerang karena petugas pelaksana dapat disuap oleh orang China yang tidak dapat membuktikan dirinya tetapi memiliki dan mau menyuap dengan banyak uang, sementara sejumlah besar orang China yang lain sudah ditangkap dan dirantai. Akibatnya, tersebarlah isu bahwa yang tidak mampu membayar akan ditenggelamkan atau dibunuh, yang membuat ribuan orang China melarikan dari kota ke pedalaman dan memperkuat diri.
Menanggapi hal tersebut, pihak Kompeni awalnya menawarkan amnesti yang ditolak dengan sengit disertai ancaman untuk melenyapkan seluruh pemukiman Kristen yang ada. Aksi penjarahan pun mulai, pabrik gula dibakar dan mereka melakukan arak-arakan ke gerbang kota. Aksi mereka itu mendapatkan perlawanan sengit dari warga sipil dan militer yang berhasil mengusir mereka kembali ke pedalaman.
Didalam kota, orang-orang China yang tinggal tetap bersikap tenang. Pemerintah kolonial yang takut akan kondisi yang tidak kondusif untuk mereka memberlakukan jam malam untuk mereka dan meminta mereka mengunci pintu rumah. Walau demikian aturan tersebut tidak mampu menyelamatkan mereka dari kemarahan prajurit dan pelaut yang berada di dalam kota yang menyaksikan kekalahan orang China di luar gerbang. Terjadilah pembantaian tersebut.
Ary Huyser mendeskripsikan kejadian tersebut sebagai berikut: “Tiba-tiba dan secara tak terduga teriakan pembantaian dan kengerian menggaung di seluruh kota, dan pemandangan mengerikan dan barbar itu pun mewujud di seluruh sisi kota. Semua orang China, tanpa perkecualian, lelaki, perempuan, dan anak-anak, melayang nyawa tersambar pedang. Perempuan hamil, bayi yang masih menyusu pun tidak luput dari pembunuhan yang tidak berkesudahan itu. Para tawanan yang dirantai, kira-kira berjumlah seratusan orang, pada saat yang sama juga dibantai seperti domba.” Pada saat itu semua orang China yang berada didalam kota, salah atau tidak salah, dilenyapkan sama sekali.
Para penduduk eropa, juga menjadi orang-orang yang tidak berperikemanusiaan dan tidak bermoral ketika mereka menyerahkan orang-orang China kaya yang berlindung kepada mereka kepada pemburu-pemburu mereka dan mengambilalih harta yang dipercayakan kepada mereka.
Banyak pertanyaan kemudian yang menyebar diantara penduduk Batavia mengenai penyebab pembantaian tersebut. Gubernur Jenderal yang sedang menjabat Valckenier dan saudara iparnya Helvetius, menjadi tertuduh dari masyarakat sebagai penyebab dan penganjur pembantaian tersebut, namun tidak pernah terbukti. Pada saat akhirnya Valckenier dipenjara seumur hidup di Batavia atas berbagai tuduhan kesalahan administrasi selama kepemimpinannya, dugaan keterlibatannya dalam pembantaian mengerikan itu tidak pernah disinggung sama sekali.
Setelah pembantaian tersebut, pihak Kompeni menjadi cemas akan kemungkinan murka dan serangan dari Kaisar China. Untuk mencegah kemungkinan buruk tersebut, Kompeni mengirimkan para deputinya menghadap Kaisar China untuk meminta maaf. Surat permohonan maaf itu menceritakan semua kejadian tersebut kecuali dengan tambahan yang tidak sesuai dengan keterangan Huyser bahwa orang-orang China di dalam kota telah memulai pembakaran dan bersiap memberontak. Meskipun begitu, pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa pun diakui dalam surat tersebut dan dimohon untuk dimaafkan dengan alasan kondisi yang memaksa. Di luar dugaan para deputi, Sang Kaisar menanggapi dengan tenang dan menyatakan ketidakpeduliannya akan nasib rakyatnya yang disebutnya tak berharga karena demi memburu harta, telah meninggalkan negerinya dan meninggalkan makam-makan leluhur mereka.
Penyulaan
Penyulaan adalah hukuman mati yang pelaksanaannya dengan disula dengan sebuah besi dan dibiarkan diudara terbuka sampai mati.
Prosesnya sebagaimana yang dialami oleh seorang Makassar yang dihukum mati pada tahun 1769 karena membunuh majikannya adalah dengan ditengkurapkan. Seorang algojo kemudian mengiris bagian bawah tubuh terpidana sampai bagian tulang yang disebut sebagai os scrotum (tulang besar, dasar tulang belakang). Kemudian sebuah penyula berupa besi runcing mengkilat sepanjang kira-kira 1,8 meter ditusukkan melalui irisan tersebut dan ditelusupkan diantara kulit dan tulang belakang sampai tembus diantara leher dan kedua bahunya. Untuk melakukan hal tersebut sang algojo dibantu dua orang pembantunya.
Besi sula itu kemudian dipakukan pada ujung sebuah tiang kayu dengan kuat dan diangkat dan tiang kayu itu didirikan diatas tanah. Pada ujung tiang kayu tersebut dibawah sambungan besi penyula dan tiang kayu, pada ketinggian sekitar tiga meter dipasang sebuah bangku untuk peyangga tubuh terpidana.
Selama proses hukuman tersebut sampai kematiannya, si terpidana tidak pernah diberi makan dan minum. Tidak adanya bagian vital tubuh yang dilukai dalam penyulaan ini menjadikan kematian membutuhkan waktu lama yang bisa berhari-hari. Dalam kasus tahun 1769 itu, terpidana bertahan hidup sampai keesokan harinya kira-kira pukul tiga sore.
Rujukan: Stockdale, John Joseph; Eksotisme Jawa, Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa; Progresif Book; 2010.
Catatan: Penggunaan istilah etnik atau suku bukan dimaksudkan untuk rasis tetapi semata catatan sebagaimana sejarah menuliskannya.
Sumber fotoWuala Tomaguni