Betapa beratnya merubah pandangan dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang sesuatu. Demikian kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan yang mungkin akan menghancurkan kemapanan. Tetapi aku betul-betul yakin dalam masyarakatku masih banyak orang-orang yang berhati bersih, ihlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan sesuatu itu benar, kurang tepat atau malah salah besar. Salah satu soal yang menggodaku sehingga aku rindu untuk segera menyampaikannya adalah ‘sejarah umat Islam di Indonesia’ dan ‘umat Islam dalam sejarah’.
Yang pertama berkaitan dengan realitas dan fakta penulisan sejarah umat Islam yang ada sekarang, menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah dan karenanya pastilah telah lama membentuk pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia. Yang kedua berkaitan dengan fakta yang benar benar faktuil tentang peran umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat yang sebagian besar tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, atau sengaja dikaburkan.
Penulisan sejarah memang sarat dengan kepentingan politik. Bagaimana sejarah itu ditulis bisa jadi alat melanggengkan kekuasaan seseorang atau suatu rezim. Contohnya adalah apa yang dilakukan Eugene Dubois. Setelah melakukan penelitian di pulau Jawa, khususnya di Mojokerto dan Kediri, ia berpendapat bahwa manusia yang pernah hidup di Indonesia adalah pithecantrophus erectus alias manusia kera yang berdiri tegak. Manusia jenis ini juga ditemukan di wilayah Afrika dan Asia lainnya. Sementara penelitian di Eropa menemukan jenis
lain, yaitu homo sapiens bascilus atau manusia yang sudah bisa berfikir. Sudah bisa diduga bagaimana kesimpulannya : manusia eropa atau berkulit putih lebih pintar dan lebih maju dibandingkan orang Asia atau Afrika. Wajar saja kalau orang Eropa menjadi kaum penjajah, dan orang Asia dan Afrika menjadi kaum terjajah. Karena misi utama penjajahan adalah memper-adabkan manusia pribumi. Itulah contoh sikap hipokrit orang Eropa. Mengatasnamakan kajian
ilmiah tetapi maksud utamanya adalah membenarkan penjajahan.
lain, yaitu homo sapiens bascilus atau manusia yang sudah bisa berfikir. Sudah bisa diduga bagaimana kesimpulannya : manusia eropa atau berkulit putih lebih pintar dan lebih maju dibandingkan orang Asia atau Afrika. Wajar saja kalau orang Eropa menjadi kaum penjajah, dan orang Asia dan Afrika menjadi kaum terjajah. Karena misi utama penjajahan adalah memper-adabkan manusia pribumi. Itulah contoh sikap hipokrit orang Eropa. Mengatasnamakan kajian
ilmiah tetapi maksud utamanya adalah membenarkan penjajahan.
Monstesquieu yang terkenal karena teori Trias Politica-nya malah beranggapan bahwa tidak mungkin Tuhan memberikan ruh kepada orang Negro yang hitam kelam. Dan karena itu musustahil bagi kita untuk bisa berbelaskasihan pada mereka. Mereka hanya cocok menjadi budak budak belian. Rudyar Kipling bahkan menyebut mereka half devil and half child (setengah setan dan setengah kanak-kanak). Jadi penjajahan merupakan tugas orang kulit putih memanusiakan bangsa pribumi. Aduh, kurang ajar betul... Nah, di Indonesia Timur Belanda menemukan etnis kulit hitam yang mirip orang Afrika, mereka menamainya Papua, yang artinya daerah hitam tempat perbudakan. Sayang sekali nama Papua dianggap lebih keren ketimbang nama Irian yang berarti sinar yang menghalau kabut.
Sumber: http://yanhasanudinmalik.blogspot.com/2010/05/meluruskan-sejarah-1.html
Dalam kaitan dengan bagimana umat Islam dalam sejarah, sejak lama penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah. Mereka ingin menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Datangnya Islam tidaklah menghapuskan kehinduan mereka. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis. Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, raja orang Sunda yang dianggap punya kesaktian luar biasa, dan demi mempertahankan keyakinan hindunya, ia berubah menjadi harimau, sering muncul di hutan larangan yang bernama Hutan Sarongge di gunung Salak, sedangkan keturunannya seperti Suryakancana menguasai gunung Gede, menikahi jin (entah bagaimana wujud manusia ketururunannya yang hasil blasteran manusia dan jin ini), bahkan melalui tapa brata dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi atau eyang Suryakancana ini bisa diundang datang, mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Demikian cerita seterusnya berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng orang Sunda.
Dalam kaitan dengan bagimana umat Islam dalam sejarah, sejak lama penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah. Mereka ingin menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Datangnya Islam tidaklah menghapuskan kehinduan mereka. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis. Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, raja orang Sunda yang dianggap punya kesaktian luar biasa, dan demi mempertahankan keyakinan hindunya, ia berubah menjadi harimau, sering muncul di hutan larangan yang bernama Hutan Sarongge di gunung Salak, sedangkan keturunannya seperti Suryakancana menguasai gunung Gede, menikahi jin (entah bagaimana wujud manusia ketururunannya yang hasil blasteran manusia dan jin ini), bahkan melalui tapa brata dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi atau eyang Suryakancana ini bisa diundang datang, mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Demikian cerita seterusnya berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng orang Sunda.
Tahukah anda, dalam buku Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, bersumberkan buku Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi (PS) ternyata masuk Islam. Ia menikah dengan seorang wanita bernama Nyai Subang Larang, seorang santri putri Syekh Hasanudin yang dikenal sebagai Syekh Qura. Nah dari pernikahannya ini lahirlah tiga orang anak : Walang Sungsang (lk), Nyai Rara Santang (pr), dan Raja Sangara (lk). Nyai Rara Santang dinikahi Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullahpun, seorang Arab turunan Bani Ismail, kemudian berputera yang diberi nama Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Jadi salah seorang wali sanga itu ternyata cucu PS. Dengan demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan PS sebagai seorang Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan kehinduannya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari penjajah Belanda. Bertujuan mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena keengganan menerima kenyataan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai, di antaranya melalui pernikahan campuran, hidup penuh sikap toleran bersama-sama umat Hindu serta berpengaruh besar dalam pembentukan tatanan sosial dan kultural bangsa ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat, dan sampai jumpa di tulisan yang lain..