Koq bisa? Ya, karena memang asal-muasal Karo adalah dari India. Sebagai informasi, di India ada sebuah negara bagian bernama Tamil Nadhu, yang mana mereka ini masuk dalam sub ras Dravidia, yang secara mudahnya ciri-ciri fisiknya adalah: tinggi, kurus, dan berkulit hitam pekat. Komunitas seperti ini banyak ditemui di Medan, dikenal sebagai Keling, sehingga ada yang namanya Kampung Keling, yang ciri-ciri penghuni kampung tersebut adalah seperti di atas.
Pada tahun 1879 ditemukan sebuah ditemukan sebuah prasasti di Lobu Tua, Barus, Tapanuli Selatan, oleh seorang kontrolir Belanda bernama G.J.J. Deuts. Tahun 1932, prasasti tersebut diterjemahkan oleh Prof. Nilakantiasastri, seorang guru besar Universitas Madras, India.
Dari tulisan di prasasti tersebut diketahui bahwa pada tahun 1080, ada pemukiman Orang Tamil di daerah tersebut (Lobu Tua). Pada awalnya, Orang Tamil ini adalah pedagang kapur barus. Pedagang Tamil tersebut membawa pegawai-pegawainya yang berjumlah sekitar 1500 orang. Mereka datang dari berbagai daerah asal seperti Colay, Pandya, Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga. Kemudian, seiring datangnya pedagang Arab yang Muslim, pada tahun 1128-1285, para Tamil ini tersingkir karena persaingan untuk menguasai perdagangan kapur barus yang ingin memonopoli perdagangan di daerah pantai barat Sumatera tersebut. Selain berdagang, pedagang Arab ini juga mengembangkan Islam, sehingga terjadi dua pertentangan: Bangsa dan agama/budaya. Kedatangan Bangsa Arab ini membuat mereka (Tamil) ini harus mengungsi ke bagian timur, masuk ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Alas dan Gayo, yang keduanya berada di propinsi Nagroe Acheh Darussalam (NAD). Selain ke Alas dan Gayo, ada juga yang dengan menyusuri sungai Cinendang akhirnya sampai di wilayah yang sekarnag dikenal sebagai Karo, berbaur dengan masyarakat asli setempat. Kemudian, orang Tamil ini mendirikan Kerajaan Haru Lingga Timur Raja. Dari pembauran dengan masyarakat asli di sana, lahirlah marga Sembiring Sigombak, yang mana kemudian dipecah menjadi beberapa sub-marga: Brahmana, Pandia, Colya, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi, Bunuh Aji, Busuk, Muhan, Meliala, Pande Bayang, Maha, Teykang, dan Kapur, yang mana setiap marga tersebut menggambarkan asal-usul kedatangan mereka di daerah India, yang 1.500 orang tadi. Komunitas tetap menjaga tradisi atau agamanaya, yang mana dalam perkembangannya nama kepercayaan ini disebut Agama PEMENA, yang mana artinya adalah Agama PERTAMA.
Salah satu dari tradisi pemena ini adalah melarung abu jenazah ke laut. Bila di India dilakukan di Sungai Gangga, maka di pedalaman Sumatra dilakukan di Sungai Wampu, Langkat, yang tembus ke laut di Selat Malaka. Ritus keagamaan ini sempat tidak hilang beberapa dekade lalu. Abu jenazah yang tidak sempat di hanyutkan/dilarung, abunya disimpang dalam sebuah wadah yang terbuat dari batu berbentuk rumah mini yang disebut abu partulenan.
Bukti budaya Karo yang berasal dari Tamil adalah suara serunai Karo yang lebih tinggi oktafnya dari seruai masyarakat Batak, cenderung suaranya melengking tinggi, mengingatkan kita kepada film India yang mana suara perempuan akan selalu melengking tinggi (high pitch). Beberapa tradisi lain yang masih dilakukan oleh penganut agama Pemena di Karo adalah pemotongan gigi dan menghitamkannya, mandi air limau (erpangir kulau), dan tentu saja kebiasaan wanita hamil yang yang membuat titik di keningnya. Kebiasaan tersebut sangat mudah kita “raba” saat kita melihat budaya India tradisional, khususnya yang berbau Tamil.
Kontak masyarakat Tamil di Sumatara sempat terputus dengan leluhurnya di India, hingga pada pada abad ke-16, seorang resi Megit, seorang Brahmana, datang dari India. Resi ini menikah dengan Putri Karo. Turunan mereka ini kemudian mengembangkan agama Hindu aliran Maharesi Brgu Sekte Ciwi, serta mereka bergabung ke dalam marga Sembiring yang sudah lebih dulu dibentuk orang Tamil berabad sebelumnya. Hubungan dengan India sempat terputus lagi hingga pada tahun 1950-an seorang Pendeta Hindu datang ke Karo. Hasil kunjungan itu menbuktikan bahwa Pemena adalah Hindu. Dan pada tahun 1977 terbentuklah Parisadha Hindu Dharma di Tanah Karo. Inilah penjelasan yang menjelaskan mengapa Tanah Karo adalah tempat kedua penganut Hindu terbesar di Indonesia setelah Bali.
Selain bukti adat dan kepercayaan di atas, bukti lain adalah tulisan. Tulisan dan huruf Karo (dan juga Toba) adalah sama dengan tulisan atau huruf di India Selatan, yang bahkan hingga hari ini pun masih ada dari mereka yang bisa membaca tulisan tersebut, setidaknya meraba bunyinya. Tentu hal ini tidak asing bagi kita, karena memang budaya Tamil telah mempengaruhi kehidupan di Sumatara.
Lalu, mengapa Karo sekarang tidak seperti Tamil, berkulit hitam pekat dan tinggi kurus? Jawabnya adalah perbauran. Karo sudah terbentuk dari budaya gado-gado. Tamil asli tetap terlihat dengan ras Dravidianya, dan yang asli ras Austronesia tetap terlihat ras keaustronesiannya. Oleh sebab itu, mendefinisikan Karo tidaklah semudah yang dibayangkan Si Taringan yang dengan dengan gigih “memperjuankan” kebukan-batakannya. Tetapi, Karo bukanlah hitam putih. Karo adalah campuran gado-gado, nano-nano, “manis-asam, asin” rupanya.
Untuk sedikit informasi tambahan kepada pembaca, bahwa tidak semua penduduk Sumatara Utara yang telihat berwajah Tamil India adalah Karo. Sebagian dari Mereka adalah memang orang India yang didatangkan ke Sumatara Utara pada masa penjajahan Belanda dulu, untuk membuka perkebunan di sana. Mereka ini hidup dengan budaya yang bisa dikatakan hampir tidak berbeda dengan nenek moyang mereka di India Selatan sana, dan mereka tetap menganut Agama Hindu India. Kampung Keling di Medan sepertinya adalah kampung yang dibentuk oleh Tamil India yang didatangkan oleh Belanda tersebut, bukan yang datang berabad sebelumnya.
Baca Tradisi Pemena di desa Suka Jadi II, Medan, Sumatra Utara: http://www.scribd.com/dberantemmaornggpent/d/96243013-Visual-Anthropology
Edited: Tambahan Informasi. Kata Sembiring yang memang berasal dari Bahasa Tamil, bisa diterjemahkan menjadi The Black One.
Andreas