Ukhuwah Islamiah Meningkatkan Kapasitas Fiskal Aceh Bongkar Tafsir Nasionalisme Apalah Arti Kode Etik Forex dalam Islam Kekuasaan Membuat Lupa Oleh Munawar A. Djalil LAHIRNYA Qanun Wali Nanggroe (WN), telah memunculkan banyak reaksi, seperti di Tanah Gayo, ribuan demonstran menolak Qanun WN yang menurut mereka penetapan Qanun cara diktator dan diskriminatif karena mengabaikan suku minoritas di bagian Aceh lainnya (Serambi, 9/11/2012). Di samping gonjang ganjing tentang tidak adanya syarat mampu baca Quran bagi calon WN, juga termasuk kisruh penetapan Teungku Malik Mahmud sebagai WN ke-9 yang belakangan muncul opini di harian ini, kalau Teungku Hasan Tiro WN ke-8, Teungku Malik Mahmud ke 9 dan siapa WN ke 7, 6 dan seterusnya. Meskipun Sekjen Partai Aceh Teungku Yahya Muaz telah merekam kembali WN Aceh dari masa ke masa (Serambi, 13/11/2012). Namun demikian tulisan saya ini akan mencoba untuk meluruskan beberapa perkara mengenai Wali Nanggroe. Sebelumnya, saya ingin meluruskan penyebutan kata Teungku (menggunakan huruf “u” di tengah kata) dan Tengku (tanpa “u”). Ketika saya menulis kata “Teungku” dalam buku saya “Hasan Tiro Berontak” beragam pendapat bermunculan untuk meluruskan sebutan tersebut. Saya jelaskan, Tengku tanpa huruf “u” adalah penyebutan gelar Raja dan keturunanya di kerajaan Melayu, di Sumatera Timur. Biasanya Tengku penyebutan kepada anak perempuan raja untuk anak laki-laki raja disebut Tuanku. Sementara Teungku (juga disingkat Tgk) secara umum merupakan gelar sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh. Setiap laki-laki dewasa dari suku Aceh dapat disapa dengan sapaan Teungku, seperti ditegaskan dalam hadih maja: Aceh teungku, Meulayu abang, Cina toke, kaphe tuan. Pepatah tersebut dalam Bahasa Indonesia dapat ditafsirkan bahwa orang Aceh bergelar teungku, orang Melayu bergelar abang, orang Cina bergelar tauke, dan orang Eropa bergelar tuan. Meskipun demikian, secara khusus Teungku juga merupakan gelar kepakaran dalam keagamaan di Aceh misalnya; Teungku Chik Di Tiro dan Teungku Daud Beureueh. Gelar kepakaran Teungku juga dapat disandang oleh wanita misalnya Teungku Fakinah. Sebagai pembedaan gender pemakai, gelar Teungku bagi wanita sering dilengkapi dengan sebutan Teungku Nyak. Dan, mengapa dalam beberapa karya, saya selalu menyebutkan Wali Hasan Tiro dengan Teungku (dengan huruf “u”) karena menurut hemat saya bahwa Teungku Hasan Muhammad di Tiro bukanlah keturunan dari Raja Melayu melainkan beliau adalah keturunan Ulama Besar dari garis Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman. Pada titik ini sangat pantas kalau saya menyebutkannya dengan Teungku (menggunakan huruf “u”). Dan saya rasa penyebutan nama Beliau dengan Teungku tidak akan mengurangi kewibawaan dan kehormatan beliau sebagai WN Aceh ke 8. Begitu pula penulisan WN IX Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud jangan hanya disingkat “Tgk”, karena singkatan ini menjadi kabur antara Teungku atau Tengku. Keluarga Tiro Berbicara Tiro, tidak terlepas pembicaraan kita dengan pahlawan nasional Teungku Chik ditiro dan tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Hasan Tiro. Nama asli Teungku Chik Di Tiro adalah Teungku Muhammad Saman lahir pada 1836 M/1251 H di Dayah Jrueng, Kenegerian Cumbok, Lamlo, Pidie. Dia adalah anak Syeikh Abdullah bin Syeikh Ubaidullah. Secara silsilah keluarga, hubungan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman dengan Teungku Hasan Tiro berdasarkan dari garis keturunan sebelah pihak Ibunda Beliau. Teungku Hasan Di Tiro bernama lengkap Hasan Bin Muhammad dilahirkan pada 25 September 1925 di Kampung Tanjong Bungong, Lamlo, Kecamatan Kota Bakti, Kabupaten Pidie. Ayahnya bernama Teungku Muhammad dan Ibundanya bernama Pocut Fatimah Binti Mahyiddin Binti Teungku Syekh Muhammad Saman Binti Syeikh Teungku Abdullah. Secara singkat sejak kecil Teungku Chik Ditiro diasuh oleh orang tuanya dalam bidang agama. Kemudian ia belajar dengan beberapa orang ulama yang berpengaruh pada masa itu, misalnya Teungku di Ie Leubeue, Teungku Chik di Tanjong Bungong, Teungku Chik Dayah Cut, Teungku di Lamkrak dan lain-lain. Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman memiliki beberapa orang anak dan cucu yaitu Teungku Muhammad Amin, Teungku Abdussalam, Teungku Sulaiman, Teungku Ubaidillah, Teungku Mahyuddin Di Tiro (Ayah dari Ibunda Teungku Hasan Muhammad Di Tiro) dan Teungku Muaz Bin Teungku Muhammad Amin (cucu). Mereka semua menggantikan kedudukan Teungku Chik Di Tiro setelah beliau wafat 21 Januari 1891. Teungku Muaz cucu Teungku Chik yang syahid 3 Desember 1911, kemudian diteruskan oleh Teungku Hasan Tiro yang mendeklarasikan GAM sebagai perjuangan sambungan setelah 65 tahun mengalami kevakuman (1911-1976) dan syahidnya Teungku Muaz pada 3 Desember 1911 menjadi asal usul dari pada pendeklarasian GAM 4 Desember 1976. Sejarah WN Aceh Dalam Undang-undang Kerajaan Aceh (Qanun Meukuta ‘Alam Al-Asyi) disebutkan kekuasaan Sultan sederajat dengan Malikkul Adil dan Ketua Reusam. Kekuasaan tertinggi ada pada Majelis Parlemen. Majelis inilah yang memberikan hak dan kewajiban serta berkuasa penuh atas adat dan undang-undang. Oleh karena itu, tatkala pada 25 Januari 1874 mangkat Sultan Mahmud Syah, maka yang tinggal adalah Malikul Adil Teungku Imum Lueng Bata dan Ketua adat Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Waktu itu perang sedang berkecamuk di Bandar Aceh, maka seluruh anggota parlemen, ketua adat, Sultan sementara (karena ketika itu Sultan Muhammad Daud Syah baru berumur 11 tahun), Malikul Adil hijrah ke Pidie, sebagai bagian dari strategi perang. Setelah tiga hari perjalanan, pada 28 Januari 1874 sampailah di Keumala, Pidie dan parlemen langsung menarik semua kekuasaan adat, undang-undang ke hadapan parlemen. Anggota parlemen pada saat itu adalah Tuanku Raja Keumala, Tuanku Banta Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, serta Teungku Tjhik di Tanoh Abee Syeh Abdul Wahab. Pada saat itu Tuanku Raja Keumala di hadapan Majelis bertitah memberikan kekuasaan kerajaan Aceh kepada Teungku Chik di Tiro pada 28 Januari 1874. Nah, sejak saat itulah secara legitimasi sahlah Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman selaku penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk atau Wali Nanggroe Aceh Pertama. Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman memimpin negara Aceh selama 17 tahun dan beliau mangkat pada 21 Januari 1891. Setelah itu, kekuasaan dan perjuangan negara Aceh dilanjutkan oleh anak lelakinya yang tua, Teungku Muhammad Amin Bin Muhammad Saman yang syahid pada 1896, disusul Teungku Abdussalam Bin Muhammad Saman (syahid 1898), Teungku Sulaiman Bin Muhammad Saman (syahid 1902), Teungku Ubaidillah Bin Muhammad Saman (syahid 1905), Teungku Mahyiddin Bin Muhammad Saman (syahid 1910), dan Teungku Mu’az Bin Muhammad Amin (syahid 3 Desember 1911). Perjuangan bangsa Aceh berlanjut sampai dengan Belanda terusir dari bumi Aceh tanpa berhasil menaklukinya. Menurut Teungku Hasan Tiro setelah 65 tahun (terhitung dari syahid Teungku Mu’az 3 Desember 1911) perjuangan mengalami kevakuman, maka tepat pada 4 Desember 1976, Teungku Hasan Tiro mengumumkan kembali kemerdekaan Aceh sebagai perjuangan lanjutan kerajaan Aceh dulu. Dari fakta sejarah ini, saya berasumsi bahwa Wali Nanggroe dimulai dari penunjukan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman sebagai penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk atau Wali Negara Aceh yang sah pada 28 Januari 1874. Ketika Teungku Chik dinobatkan sebagai Wali Nanggroe, Sultan Aceh terakhir Sultan Muhammad Daud Syah masih berumur 11 tahun, yang kemudian setelah Beliau syahid diteruskan oleh anak-anak cucunya secara turun temurun, dengan urutan WN sebagai berikut: Teungku Chik Ditiro (WN I), Teungku Muhammad Amin (WN II), Teungku Abdussalam (WN III), Teungku Sulaiman (WN IV), Teungku Ubaidillah (WN V), Teungku Mahyiddin (WN VI) dan Teungku Mu’az (WN VII), dan Teungku Hasan Tiro cucu Teungku Chik sebagai orang yang meneruskan perjuangan keluarga Tiro dinobatkan sebagai WN VIII. Sementara Teungku Malik Mahmud sebagai WN IX dinobatkan oleh DPRA, menurut saya hampir berbanding lurus dengan sejarah pengangkatan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman sebagai WN I. Karena sejarah adalah potongan-potongan zaman yang cenderung mirip dan terduplikasi. Aceh adalah sebuah bangsa besar yang mempunyai perjalanan sejarah tersendiri. Semoga tulisan saya ini menjadi rujukan atau awal dari kajian sejarah Aceh yang kabur dan berliku, sehingga kewajiban anak bangsa meluruskannya. Allahu ‘alam.
* Munawar A. Djalil, Ph.D Bidang Islamic Political Sceince, Penulis Buku “Hasan Tiro Berontak, Antara Alasan Historis, Yuridis dan Realitas Sosial” dan Penulis bersama Buku “Hasan Tiro Unfinished Story”, Saat kini tinggal di Tijue-Sigli. Email: gampatra@yahoo.com