TIDAK dapat dipungkiri, bahwa persoalan nasionalisme tidak akan selesai diperdebatkan dalam ruang dan waktu singkat. Indonesia sendiri masih terus bergerak untuk menemukan nasionalisme yang utuh, karena dibangun dari pondasi imajinasi, meskipun sudah disepakati sebuah nation sejak berpuluh-puluh tahun. Wajar, mengingat sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia lahir dari beragam bangsa (etnisitas) yang sudah lama ada di Nusantara ini, mulai dari Aceh hingga Papua.
Melacak lebih mendalam tentang perasaan kebangsaan, maka akan muncul ke permukaan mengenai “siapa kita”. Di Sulawesi, ada suku Mandar (yang terkenal dunia maritimnya) tidak mau disebut orang Bugis maupun Makassar, meskipun sama-sama beradaptasi dalam satu wilayah. Begitupun di Jawa, orang Sunda, dan Madura tetap tidak akan mau dipanggil orang Jawa.
Di Aceh sendiri, suku-suku tertentu pun enggan menyebut dirinya Aceh dalam skala mikro. Dilihat dalam kacamata lebih makro, antara masyarakat yang hidup di Aceh bagian timur, dan barat-pun tetap membedakan dirinya. Identitas menjadi orang tertentu yang terkonstruksi dalam imajinasi kita adalah perasaan bangga untuk menjadi bagian dari bangsa yang kita yakini (primordial).
Ekspansi identitas
Kegundahan suku Gayo dan pesisir barat merespons “ekspansi identitas” adalah sebuah kewajaran dalam ranah sosial, dan budaya. Kesadaran nasionalisme muncul tatkala manusia mulai memahami, dan membatasi identitas dirinya berbeda dari komunitas lainnya. Perbedaan itu muncul dari sisi budaya (bahasa, adat istiadat, kesenian, sistem kepercayaan dan pola survive dengan lingkungannya).
Embrio nasionalis etnik akan tetap survive selama “klaim” atas dirinya berbeda dengan yang lain dipertahankan. Karena itu, kesadaran akan musuh bersama (etnik) muncul bila mengusik identitas “mereka”, hingga datang perasaan kebangsaan. Kasus Papua, misalnya, dalam tema yang sedikit menyentil maka akan muncul istilah “Demokrasi Kesukuan” (lihat: Sem Karoba dkk, 2010).
Pada tataran politik, maka kondisi apa yang sedang terjadi di Aceh akan dimaknai secara beragam oleh berbagai kalangan. Sisi kultural yang seharusnya mampu melihat ini lebih mendalam tidak muncul, karena ditekan oleh kekuatan politik yang menyeret argumen sejarah sebagai simbol kekuatan untuk melegalkan sebuah tujuan.
Pada sisi kultural sebenarnya etnisitas menjadi perhatian utama, karena dia menyangkut dengan budaya, dan identitas sebuah komunitas yang hidup sepanjang sejarah. Etnisitas tidak akan pernah berhenti mereproduksi simbol budayanya untuk memperoleh keadilan dari pihak yang menang.
Embrio nasionalisme
Embrio nasionalisme etnik itu muncul, tatkala konsep Qanun Wali Nanggroe yang baru disahkan di Aceh dianggap tidak mengakomodir sub-etnik yang juga hidup di Aceh. Kondisi ini telah membangkitkan kesadaran nasionalisme mereka (sub-etnik Aceh) yang ikut merasakan penderitaan selama masa konflik. Mereka yang juga merasa bagian dari Aceh, menuntut pengakuan identitas kebangsaan (Aceh) oleh “orang Aceh” yang mendominasi teritorial Serambi Mekkah ini. Pengakuan identitas tersebut setidaknya ikut melibatkan simbol budaya mereka ke dalam wilayah kekuasaan “monarki” baru (Wali Nanggroe).
Gayo menjadi suku yang pertama sekali memunculkan semangat nasionalisme etniknya. Bila melihat catatan budaya yang terselip, dan kembali menarik garis sejarah. Saat Snouck Hurgronje menulis deskripsi tentang Aceh, maka sepertinya si Abdul Gaffar telah menulis satu buku yang terpisah dari yang lain mengenai keberadaan masyarakat di tengah-tengah Aceh tersebut. Bagi sastrawan Belanda itu, Gayo menjadi perbincangan tersendiri yang menarik untuk dilihat budayanya yang tetap survive, dan hidup di tengah Aceh. Apalagi masyarakat Gayo juga ikut terlibat aktif dalam mempertahankan Aceh dari penjajah hingga masa konflik.
Pada diskusi ini, saya tidak tertarik untuk menarik kasus ini dalam ranah politik yang penuh kompetisi. Saya ingin melihat dalam tataran sosial, dan budaya mengapa embrio etnisitas itu tetap hidup meskipun dalam ranah demokrasi. Antara Aceh, dan sub-etniknya dalam teritorial tersebut, antara Aceh dan saudara-saudaranya yang hanya dibatasi oleh garis batas bahasa dan simbol adat.
Merunut pada realitas di lapangan bahwa ada perubahan arah “musuh bersama” dari vertikal ke horizontal, tapi masih pada tataran konflik etnik (antara Aceh dan Jakarta beralih pada antara Aceh dan sub-etniknya). Lebih mendalam kondisi ini tidak jauh berbeda dengan permasalahan wilayah imagined community yang pernah ditulis oleh Anderson (lihat: Anderson, 2008).
Dalam teorinya G. Kellas (dalam Bangun Tambunan Nasionalisme Etnik: Kashmir dan Quebec, 2004) menyebutkan pada dasarnya ada tiga perspektif nasionalisme (primordial, kontekstual, dan konstruktif). Bila dieksplorisasi tiga persepketif ini, maka sebenarnya semangat etnisitas itu adalah semangat yang diwarisi oleh sejarah mereka (melalui simbol-simbol budaya).
Simbol budaya yang mereka miliki kemudian dibenturkan oleh kondisi perkembangan modern seperti menghadapi ketidakadilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dianggap sudah teraneksasi akibat kompetisi antara yang menang dan kalah. Pada tahapan akhir nasionalisme ini menguat karena ada aktor yang berperan mengkonstruksi kembali nasionalisme, untuk menggerakkan semangat etnisitas mereka.
Solusi bijak
Aceh sebagai kelompok (etnis) yang menang dalam proses aneksasi menurut perjalanan sejarah, tidak bisa melupakan begitu saja sub-nasionalisme (etnisitas) lain yang hidup dalam teritorial mereka. Setidaknya, aktor Aceh harus melakukan upaya-upaya merangkul kembali, atau mengkontruksi sebuah kesadaran kolektif betapa pentingnya kesatuan Aceh sebagai sebuah nasionalisme, dan sub etnisnya. Tentunya, kita tidak mengharapkan adanya perpecahan dalam wilayah yang penuh nuansa sejarah ini. Mengedepankan sisi budaya dalam menyelesaikan kasus antarkomunitas yang mendiami Aceh, cenderung akan menemukan solusi yang bijak.
Selain itu, kita juga harus memahami, bahwa bahasa telah menjadi simbol utama penegas etnisitas, bahasa sangat sensitif dalam arena setting sosial, dan budaya yang mulai dimasuki politik kemudian hari. Bagaimanapun, peran produk industri telah ikut memperkuat komunikasi etnis, sehingga tatkala ada aktor lain yang mengkonstruksinya maka nasionalismenya bangkit. Sedikit saja para aktor sosial, dan politik memahami posisi kultural, maka riak konflik tidak akan terjadi. Tentunya sampai kiamat, Aceh tetap dalam satu bingkai, bukan tiga bingkai. Semoga!
* Muhajir Al Fairusy, Alumnus Magister Antropologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Email: muhajir_alfairusy@yahoo.com