MENJELANG penutup tahun 2012, DPRA mempercepat pembuatan produk legislasi yakni Qanun Bendera dan Lambang. Tetapi produk Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang menuai kritik serta penolakan dari sebagian publik di Aceh. Ini terlihat ketika saya mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di ACC Dayan Dawood, Unsyiah, Banda Aceh. Banyak peserta kurang sejalan dengan usulan bendera dan lambang eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijadikan sebagai bendera dan lambang bagi Provinsi Aceh. Padahal banyak qanun lain lebih prioritas dan urgent dibahas, seperti Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dll.
Usulan akan Bendera dan Lambang pun mendapakan tentangan dari Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Zahari Siregar, kalau raqan itu sudah disahkan oleh DPRA, maka qanun tersebut harus ditindaklanjuti ke pemerintah pusat untuk persetujuan, karena Aceh masih bagian dari NKRI. Jadi menurutnya jangan prematur, jangan didahului dulu qanun yang dirumuskan itu langsung diaplikasi di lapangan sebelum ada persetujuan dari pemerintah pusat (theglobejournal, 20/11/2012).
Penilaian saya usulan tunggal dari DPRA tentang bendera dan lambang akan banyak mendapat kritikan yang bersifat konstruktif (masukan), ketika melibatkan partisipasi dari berbagai suku (etnis) di Aceh. Jika tetap disahkan tanpa mengubah desainnya, maka rasa kepemilikan terhadap bendera dan lambang itu tidak mengakar di sanubari masyarakat Aceh yang multietnis, bahkan akan menuai penolakan layaknya Qanun Wali Nanggroe. Jangan sampai pelibatan partisipasi masyarakat hanya sekadar upaya memenuhi syarat dalam ketentuan Tata Cara Pembuatan Qanun saja.
Kesepakatan kolektif
Bendera dan lambang buah dari kesepakatan kolektif yang mencerminkan identitas dan pengakuan akan kewilayahan. Proses pembuatan kedua produk itu melalui dinamika pemikiran yang mengkristalkan kesepakatan. Tentunya komunikasi dan musyarawarah dalam semangat partisipasi membuat bendera dan lambang menjadi kunci keberhasilan mewujudkannya. Secara subtansi pembuatan bendera dan lambang bagi Aceh menurut saya harus memiliki dan memperhatikan unsur historis, filosofi, dan sosiologis.
Dalam konteks Aceh, pembuatan bendera dan lambang Aceh merupakan amanat MoU Helsinki, yang kemudian dituangkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), di mana mengenai bendera dinyatakan di dalam Pasal 246. Bendera dan lambang Aceh akan menegaskan identitas kekhususan Aceh yang memang sepatutnya diarahkan menjadi gerakan nasionalisme kultural yang damai dan demokratis dalam rangka pencarian sebuah dukungan menjadi a nation without state (Adli Abdullah, Serambi, 25/4/2011).
Kalau dikorelasikan dengan teori Langer, simbol adalah “sebuah instrumen pemikiran”. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, bentuk dan makna yang disepakati bersama-sama di antara pelaku komunikasi. Bersama, makna yang disetujui adalah makna denotatif, sebaliknya gambaran atau makna pribadi adalah makna konotatif. Jadi upaya pembuatan bendera dan lambang bagi Provinsi Aceh unsur konsep, ide, pola, dan bentuk harus benar-benar bagian yang mencerminkan ke-Aceh-an.
Menariknya bagi saya mengupas dengan cara pandang logika politik memunculkan tanda tanya, mengapa pembuatan dan pengesahan Qanun Bendera dan Lambang mendekati pemilu 2014? Mengapa tidak jauh-jauh hari setelah anggota DPR Aceh dilantik? Terkesan ada target yang ingin dicapai partai politik melalui perwakilannya di DPRA menggoalkan Qanun Bendera dan Lambang yaitu: Pertama, politik pencitraan seakan-akan kinerja baik, dan; Kedua; bisa menguntungkan atas kepentingan pemilu 2014, dimana bisa jadi jualan politik bahwa salah satu partai telah berhasil memenuhi janji politiknya.
Identitas Aceh baru
Dari sisi kajian kepemerintahan, menjadi menarik lantaran seluruh format administrasi dan birokrasi Pemerintahan Aceh akan berubah. Sekaligus menjadi contoh bagi provinsi lain agar mengusulkan hal serupa kepada Pemerintah Indonesia. Belum lagi tugas dan fungsi Pemerintah Aceh akan bertambah lagi untuk mensosilisasikan dan mengkampanyekan identitas Aceh yang baru yaitu bendera dan lambang.
Satu aturan dalam pembuatan atau menentukan bendera, lambang, dan hymne adalah PP Nomor 77 Tahun 2007, anehnya tidak dimasukkan di Raqan Bendera dan Lambang yang dibuat DPRA dalam ketentuan menimbang. Hasil kajian saya melibatkan pandangan ahli hukum, pada Pasal 3 point b masih ada kata-kata self goverment yang kurang jelas, harus diperjelas lagi mengapa diperlukan. Pasal 4 dan Pasal 17 (1) tentang penjelasan bendera bertentangan dengan PP Nomor 77 Tahun 2007 dan MoU poin 4.2.
Bahkan hasil RDPU di ACC Dayan Dawood pun mengusulkan harus kaji ulang kembali penggunaan bendera dan lambang, menariknya peserta mengusulkan warna kuning. Ada yang mengusulkan menggunakan bendera lama, ada lagi mengusulkan harus bintang bulan harus diganti. Subtansi pasal yaitu harus diperjelas; Apakah pada saat pengibaran bendera tinggi bendera dengan merah putih harus sejajar? Pertanyaan berikutnya, apakah pengibaran bendera dan lambang dapat dilakukan pada acara internasional atau sekaliber nasional?
Bagi saya, seharusnnya dan wajib dilakukan penjaringan masukan atau pendapat terhadap pembuatan Bendera dan Lambang di 23 kabupaten/kota, kalau dimungkinkan lagi sampai ke gampong-gampong. Sudah pasti produk Qanun Bendera dan Lambang menjadi gerakan lintas masyarakat sipil yang peduli terhadap identitas keacehan. Bagi pribadi sangat diperlukan bendera dan lambang, berguna untuk membangkitkan kejayaan Aceh secara identitas dan membangun peradaban yang peduli dengan keluhuran sejarah serta nilai-nilai perekat yang mempersatukan seluruh etnis di Aceh.
Libatkan masyarakat
Catatan penting harus dipahami DPRA adalah Aceh memiliki banyak bendera dan lambang dalam era sejarah di Aceh. Saya tertarik argumentasi pakar sejarah teman saya mengatakan “pembuatan bendera dan lambang harus dilihat era atau tahunnya, karena banyak sekali bendera dan lambang. Sulit sekali ingin dijadikan rujukan mana untuk penggunaan keduanya di Provinsi Aceh.
Solusi berikutnya anggota dan tim ahli DPRA harus membuat tiga usulan terhadap bendera dan lambang, di mana tidak tunggal dalam proses penjaringan pendapat publik. Rancangan bendera dan lambang harus melibatkan partisipasi masyarakat Aceh secara luas, sehingga dihasilkan produk yang benar-benar berkualitas dan bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat di Aceh.
Karena itu, mari buat identitas Aceh melalui bendera dan lambang atas landasan kesepakatan dan keterlibatan seluruh rakyat Aceh, bukan kebutuhan atau klaim dari bagian kecil kelompok tertentu saja. Bumikan identitas bendera dan lambang menjadi nasionalisme keacehan yang mengakar di sanubari kita semua.
* Aryos Nivada, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Al Muslim (Unimus), Aktivis ACSTF, dan Pengamat Politik dan Keamanan Aceh. Email: ari.koalisi@gmail.com