Beranda » Alquran, “Kitab” Sastra yang Mempesona

Alquran, “Kitab” Sastra yang Mempesona



132023659344610588

Sastra Al-Quran

Saya yakin, Alquran akan tetap relevan tanpa batas ruang dan zaman.

Allah tak memberi Muhammad (mujkizat) ”kesaktian” seperti yang Dia berikan pada Musa dan Isa karena umat Muhammad sudah matang dalam berpikir (setidaknya bila dibandingkan dengan umat sebelumnya). Saya tak bisa memungkiri bahwa Jibril membawa turun Alquran setelah firman Allah itu ”diterjemahkan” ke bahasa manusia (Bahasa Arab). Yang perlu digaris bawahi: meskipun Alquran berbahasa Arab, bukan berarti ia produk budaya (muntaj tsaqofi). Lalu, apa tujuannya?

Sebelum Tuhan mengutus Muhammad, bangsa Arab tersekat-sekat. Mereka membangga-banggakan suku, ras, dan nasab. Saling menghina dan tak menutup kemungkinan berakhir di medan perang. Tapi bangsa Arab adalah orang-orang yang cerdas: mereka menghina dengan puisi-puisi indah sebagai medianya, bukan umpatan-umpatan, dengan mata menyala seperti jago merah yang akan memangsa ranting-ranting kering, seperti di pasar-pasar tradisional di negara kita.

Mereka juga cerdik menyusun pujian dan puisi cinta yang memabukkan. Bangsa Arab adalah penyair-penyair yang layak diperhitungkan, tak berlebihan bila saya katakan demikian.

Dan untuk itu, Alquran diturunkan dengan bahasa sastrawi tak tertandingi: ”kitab sastra” mempesona yang membuat pujangga Jahiliyyah terheran-heran, demikian cerita Muhammad Utsman Ali dalam bukunya, Fi Adab-il Islam-i: Ashr an Nubuwwah wa Ar Rasyidin wa Bani Umayyah: wa Dirasah Washfiyyah-Tahliliyyah. Bahkan pada periode awal Islam, Sastra Arab sempat vakum karena mereka terlena dengan gaya bahasa Alquran yang begitu mempesona.

Cerita itu begitu terkenal, setidaknya bagi pegiat Sastra Arab. Tapi, pertanyaan kita, apakah Alquran diturunkan sebagai tandingan karya sastra penyair Jahiliyyah?

Saya berani menegaskan, tidak. Pasca-kenaikan Isa Al Masih, tampaknya orang tak mengamalkan ajarannya lagi. Injil direvisi total, Isa dan ruhul qudus (melalui berbagai tahap Konsili) dituhankan. Umat manusia perlahan menganut paganisme kembali.

Bagi pembaca, yang mungkin kristolog, tentu sudah mafhum hal ini. Setelah Isa diangkat dan para sahabatnya tak lagi ada, penganut Kristen jadi minoritas; mereka harus berjuang menyelamatkan selembar nyawa dari kejaran para paganisme. Merekalah Kristen yang pertama (Yudeo-Christian).

Perusak pertama ajaran Isa adalah Paulus. Al Razi dalam Tafsir Al Razi, menceritakan awal kebohongan Paulus: waktu itu, Paulus sedang memacu kudanya. Sekonyong-konyong, kudanya terjatuh. Dan, ia terlepar jauh. Saat itu, Paulus mendengar pesan Isa agar ia menyebarkan ajaran Kristian. Sebagai orang yang paling berdosa ia meminta ampun dan bertobat sambil meneput-tepuk kepalanya dengan debu. Paulus merasa berdosa karena dia adalah tangan setan yang membantai pengikut-pengikut Isa.

Akhirnya, ia datang ke tempat para murid Isa. Terjadi perdebatan menegangkan: antara menerima dan menolak, tentu. Tapi berkat pengaruh Barnabas, ia diterima. Lalu, ia ditempatkan di pertapaan. Tapi di sana Paulus bukan bertaubat. Sebaliknya, ia menggunakan kesempatan itu untuk menyusun doktrin-doktrinnya.

Diantara peran Paulus: menghilangkan khitan yang merupakan syariat Musa dan Isa, juga merubah agama Kristen jadi agama terbuka, bukan lagi ajaran yang khusus untuk bangsa Yahudi, tulis Almarhum Saih Ali Husaen, dalam bukunya, Al Aqidah: Baina-al Wahy-i wal Falsafat-i wal Ilm-i. Dan masih banyak lagi.

Maka, Allah mengutus Muhammad dan memberinya Alquran untuk menyegarkan kembali (baca: naskh) agama-kitab para pendahulunya yang sudah tinggal nama.

Waktu itu, ketika malaikat Jibril kali pertama membawa wahyu pada petapa buta aksara, orang-orang Yahudi sudah menyebar kemana-mana. Tak terkecuali di semenanjung Arab. Pun, masyarakat Arab di sekitar ka’bah sudah jadi paganisme kembali.

Tak bisa memungkiri bahwa Jibril membawa turun Alquran setelah firman Allah itu ”diterjemahkan” ke bahasa manusia (Bahasa Arab), tapi yang perlu digaris bawahi: meskipun Alquran berbahasa Arab, bukan berarti ia produk budaya (muntaj tsaqofi). Lalu, apa tujuannya?

Agar bisa dipahami dan dibumikan oleh para pembacanya. Dan, dengan gaya bahasa sastrawi yang mempesona,

Alquran tak bertujuan menandingi karya sastra pentolan para penyair Jahiliyyah (fuhul-u al syu’ara’-i al jahiliyyat-i), tapi menunjukkan bahwa ada pencipta ”di luar” Yang Maha Sempura. Sang Pencipta yang firman-Nya saja (setelah dikondisikan dengan bahasa manusia) begitu mempesona dan sempurna, sampai membuat mereka terheran-heran. Hanya Yang Maha Sempurna yang mampu menciptakan ”karya yang sempurna,” tentu.

Kitab itu adalah mukjizat Muhammad yang akan tetap relevan tanpa batas ruang dan zaman. Allah tak memberi Muhammad (mujkizat) ”kesaktian” seperti yang Dia berikan pada Musa dan Isa karena ummat Muhammad sudah matang dalam berpikir, setidaknhya bila dibandingkan dengan umat sebelumnya. Dan, akan jadi panduan moral serta berinteraksi baik vertikal maupun horizontal; kapan dan di mana pun.

Muntaha Afandi




Powered by Blogger.