Tentang asal muasal waqaf Habib Bugak menurut Hermansyah adalah dari hasil sumbangan, sedekah, dan infak jamaah haji Aceh yang dikoordinir Habib Bugak. Saya tidak tahu sumber rujukan Herman tentang ini. Jika kita merujuk kepada Akte Ikrar Waqaf Habib Bugak yang masih tersimpan rapi pada Nazir Waqaf Habib Bugak di Maktab Al-Aziziyah Mekkah yang disahkan Mahkamah Syar’iyah Mekkah, dengan bahasa Arab yang jelas dan terang disebutkan bahwa Habib Bugak telah menyisihkan (menahan, waqafa) dari hartanya sendiri (min maalihi).
Menganggap Habib Bugak hanyalah seorang pengumpul sedekah dan infak sangat bertentangan dengan sarakata Sayyid Abdurrahman Peusangan yang disampaikannya, sebuah sarakata yang distempel oleh Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang sama kedudukannya dengan presiden sekarang. Logikanya, apakah mungkin Sayyid Abdurrahman mendapat penghormatan sebesar itu oleh Sultan, jika dia hanya sekadar pengumpul sedekah? Sekitar 5 sarakata yang kami dapatkan, ditandatangani Sultan Mahmudsyah dan Sultan Masnsyursyah, dengan tegas menyebut siapakah Sayyid Abdurrahman itu.
Sebagai seorang hartawan yang memiliki tanah luas, tidaklah begitu sulit bagi Habib untuk membeli tanah di sekitar Masjidil Haram pada waktu itu, karena kekayaan yang beliau miliki sangat berlimpah. Bisa diteliti keturunan beliau seperti Habib Shafi di Idi Aceh Timur yang juga sangat kaya raya serta paling ditakuti Orientalis Snouck saat itu.
Sebagai informasi tambahan, Sayyid Abdurrahman itu kelahiran Mekkah, kakek buyutnya adalah ulama besar Mekkah yang menjadi Mufti di Mekkah. Adalah wajar seorang ulama memiliki rumah di sekitar Ka’bah. Konon lagi, Ka’bah dan dan sekitarnya termasuk Masjidil Haram adalah sesuatu yang dulu turun temurun dijaga dan dipelihara oleh para Sayyid bahkan sejak kakek-kakek Nabi Muhammad saw, indatu Habib Abdurrahman.
Jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tanah wakaf di Mekkah bukanlah milik Habib Bugak, tentu bernada tendensius ghalil adab tanpa dasar. Karena Habib Bugak sendiri atau keluarga dan keturunannya tidak pernah menganggap atau mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Karena tanah tersebut memang sudah diwakafkan kepada masyarakat Aceh dan sudah tidak lagi menjadi harta pribadi atau keturunannya. Namun jika terjadi penyelewengan terhadap tanah tersebut, adalah menjadi kewajiban keturunan Habib untuk meluruskannya.
Demikian pula yang menyatakan bahwa wakaf Habib Bugak sebagai wakaf Baitul Asyi adalah tidak tepat sama sekali. Hal ini menyimpang dari sejarah dan tujuan wakaf itu sendiri yang telah diberikan oleh Habib Bugak dua ratus tahun lalu. Demikian pula sampai saat ini, tanda nama daripada wakaf tersebut di Mekkah adalah jelas tertulis, “Waqaf Habib Bugak Asyi,” bukannya Waqaf Baitul Asyi. Menurut kami, perubahan nama ini akan menghilangkan sejarah wakaf, sekaligus dapat melupakan sang pemberi wakaf.
Adapun tempat tinggal dan makam Sayyid Abdurrahman, adalah tidak dapat diragukan lagi, tentu di Peusangan, Monklayu dan wafat di Bugak. Sejauh ini, tidak ada wilayah yang terdapat kampung yang bernama tersebut, kecuali di sekitar Bireuen. Bukan di Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, ataupun lainnya. Dalam hal ini, perkumpulan para Sayyid Aceh yang tergabung dalam Rabithah Alawiyah Aceh telah sepakat bahwa Sayyid Abdurrahman atau Habib Abdurrahman bertempat tinggal di sekitar Monklayu, Peusangan, dan Bugak. Karena terakhir tinggal di Bugak, maka beliau digelar sebagai Habib Bugak Asyi. Pernyataan ini diperkuat dengan sarakata yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah dan Sultan Mansyursyah.
Menurut penelitian yang dilakukan sejak tahun 2007 oleh Tim Red Crescent yang dipimpin Dr Hilmy Bakar atas bantuan dan bimbingan Dr Alwi Shihab (mantan Menko Kesra), Prof. Alyasa Abubakar (mantan Kadis Syariat Islam Aceh), Prof. Yusny Saby (mantan Rektor IAIN Ar-Raniry), Prof. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Baiturrahman), dan lain-lain, Habib Abdurrahman Al-Habsyi yang juga dikenal sebagai Habib Bugak Al-Asyi, selain sebagai pemberi Waqaf Habib Bugak di Mekkah, ternyata juga memiliki peranan yang signifikan dalam sejarah perdamaian Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pascapelengseranan Dinasti Sayyid Jamalullayl sebagai penguasa, pasca-dimakzulkannya Sultanah Kamalatsyah pada tahun 1699 M.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, setelah wafatnya Sultan Iskandar Tsani, kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh putri Sultan Iskandar Muda, yang juga Permaisuri Sultan Iskandar Tsani, Sultanah Safiatuddin yang dilanjutkan saudari-saudarinya atas bimbingan dan asuhan ulama kharismatis Syekh Abdul Rauf al-Singkili yang dikenal juga sebagai Maulana Syiah Kuala yang menjabat Qadhi Malik al-Adil. Ketika beliau wafat, para ulama sepakat memakzulkan Sultanah Kamalatsyah dan digantikan oleh suaminya, Sayyid Badrul Alam Ibrahim Jamalullayl sebagai Sultan Aceh yang baru. Sejak saat itu Aceh di bawah Dinasti Sayyid Jamalullayl yang berasal dari Mekkah, sebagai utusan Syarif Mekkah ke Kerajaan Aceh Darussalam.
Sistem kepemimpinan yang Islamis dan sangat kosmopolis di Kerajaan Aceh Darussalam masa itu, telah memungkinkan “orang luar” menjadi Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam. Kepemimpinan bukan hanya ditentukan oleh garis keturunan saja, tapi yang terpenting kualitas kepemimpinan seseorang, sebagaimana dicontohkan Sultan Iskandar Muda yang telah menunjuk penggantinya Sultan Iskandar Tsani yang diketahui bukan orang Aceh, tapi berasal dari Pahang di Semenanjung Melayu. Tradisi inilah yang diikuti para Sultan sesudahnya, sehingga menjadikan Kerajaan Aceh sebagai miniatur negara Islam internasional, atau “Serambi Mekkah”.
Selama hampir 25 tahun dinasti Jamalullayl menjadi penguasa Kerajaan Aceh Darussalam, telah menimbulkan pergesekan di kalangan elite penguasa dan para bangsawan, yang berujung pada pergantian Sultan, yang menaikkan seorang pengusaha kaya raya, dengan gelar Orang Kaya Maharaja Lela yang berketurunan darah Bugis. Pergantian Dinasti ini telah menimbulkan konflik di kalangan para pengikut kedua belah pihak Dinasti.
Adalah menjadi tradisi Para Sultan Aceh sejak Kerajaan Perlak ataupun Pasai terdahulu untuk menjalin hubungan dekat dengan Syarif Mekkah dan senantiasa meminta penasihat dari penguasa pusat spiritual dunia Islam yang secara tradisi dipimpin oleh para keturunan Rasulullah saw. Demikian pula halnya dengan Sultan Aceh dari Dinasti Bugis yang tengah berkuasa. Sang Sultan meminta Syarif Mekkah untuk mengirimkan para ulama yang akan membantu memelihara perdamaian di Kerajaan Aceh yang mulai bergejolak akibat pergerakan dari Dinasti Jamalullayl terdahulu.
Pada sekitar tahun 1760-an, Syarif Mekkah telah mengirim serombongan alim ulama ke Kerajaan Aceh, yang terutama di antaranya adalah Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi berasal dari Hadramawt Yaman, Syekh Abdullah Al-Baid dan lain-lainnya. Para alim ulama ini mengajar dan berdakwah di Bandar Aceh Darussalam dan membantu Sultan sebagai penasihat kerajaan. Mereka melanjutkan tradisi para pendahulunya sebagai utusan resmi Syarif Mekkah di Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah selesai menjalankan tugas di Bandar Aceh, Sayyid Abdurrahman bersama sahabatnya, Syekh Abdullah berpindah ke Aceh bagian timur, yang dikenal sebagai Matang Bireuen sekarang. Sayyid Abdurrahman tinggal di sekitar pantai ujung delta Krueng Tingkem, yang dikenal dengan Monklayu, sedangkan sahabatnya Syekh Abdullah tinggal di penggiran Sungai Tingkem sebelah atas, yang sekarang dikenal sebagai Awee Geutah. Hubungan kedua sahabat ini terjalin harmonis sampai beberapa generasi, diketahui banyak terjadi hubungan perkawinan antara keturunan Sayyid Abdurrahman dengan keturunan Syekh Abdullah. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Nazir Waqaf Habib Bugak di Mekkah yang ditunjuk oleh Habib Bugak, dari pertama harta tersebut diwakafkan sampai sekarang adalah keturunan Syekh Abdullah, sahabat seperjuangan beliau di Mekkah, Bandar Aceh sampai di Peusangan.
Fadhil