Ahlussunnah semakin tumbuh subur saat didukung oleh Al-Mu`tashim dan Al-Mutawakkil, penguasa Dinasti Abbasiyah, yang membebaskan Ahmad bin Hanbal dari tahanan kemudian diberi kebebasan untuk menyebarkan pahamnya. Kasus mihnah atau pengecekan paham yang sebelumnya dilakukan Mu’tazilah menjadi berbalik. Orang-orang yang dinilai berpaham Mu’tazilah dijatuhi hukuman cambuk, dicerca, dan siksa sampai mati kalau tidak berpindah mazhab.
Dalam perkembangannya, Ahlussunnah pecah menjadi dua: Salaf yang diwakili Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah; dan Khalaf yang diwakili Al-Baqilani (w.403 H.) dan Al-Juwaini (w.478 H.). Kelompok pertama memahami ajaran Islam secara tekstual, menolak filsafat dan teologi, menyalahkan kaum sufi, dan memberantas praktik-praktik yang dianggap bid’ah. Sedangkan kelompok kedua menerima filsafat dan teologi, toleran terhadap kaum sufi, dan rasional dalam memahami ajaran Islam.
Dalam hadits menggunakan Bukhari (w.870 M.), Muslim (w. 875 M.), Ibnu Majah (w.886 M.), Abu Dawud (w.886 M.), Al-Tirmidzi (w.892 M.), dan An-Nasai` (w. 916 M.). Sedangkan teologi (akidah) mengambil pemikiran Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Hamid Al-Ghazali. Sejarah berkisah melalui Al-Ghazali pemikiran sufi dan tarekat masuk dalam Mazhab Ahlussunnah hingga sekarang.
Apabila melihat prinsip-prinsip agama (ushuluddin) dari Sunni maupun Syiah, terdapat kesamaan. Sunni meyakini bahwa seorang Muslim atau Muslimah harus percaya kepada Allah. Dalam Syiah juga sama, tetapi dengan bahasa yang berbeda, yaitu Tauhid (mengesakan Allah). Kemudian dalam Sunni meyakini Malaikat, Rasul, dan kitab-kitab Allah. Syiah merangkap ketiganya dalam prinsip Nubuwwah (kenabian); yang bermakna seorang Muslim wajib untuk meyakini hal-hal yang berkaitan dengan Nabi dan Rasul, seperti malaikat yang menurunkan wahyu dan kitab suci sebelum Quran. Apabila Sunni menyebut Hari Akhir, Syiah menyebutnya Al-Maad; yang secara makna adalah berakhirnya dunia (Kiamat). Dalam Sunni ada keyakinan akan takdir baik dan buruk (qadha dan qadar), Syiah meyakini Keadilan Ilahi; yang secara makna adalah ketentuan atau keputusan dari Allah.
Dari kesamaan tersebut, hanya satu yang berbeda, yaitu Imamah. Syiah meyakininya sebagai bagian dari ushuluddin. Sedangkan Sunni memasukannya dalam politik dan bukan termasuk sesuatu yang sakral sehingga tidak termasuk ushuluddin. Mungkin pemahaman ini yang membuat para sahabat melupakan pengangkatan Imam Ali sebagai washi dan maula di Ghadir Khum. Namun, tampaknya ada faktor di luar agama yang menjadikan para sahabat berebut kepemimpinan Islam di Saqifah dan melupakan wasiat Rasulullah saw.
Sunni dan Syiah, dalam dasar-dasar Islam (Rukun Islam) memang ada yang berbeda. Pertama, syahadah atau mengucapkan pengakuan Keesaan Allah dan Kerasulan Muhammad saw dalam Sunni termasuk rukun. Syiah tidak memasukkannya sebagai rukun karena ikrar lahiriah tidak menjamin benar tidaknya keislaman seseorang. Kedua, dalam Syiah terdapat wilayah, yang bermakna pengakuan kekuasaan atau otoritas agama yang dipegang Imam Ahlulbait. Selain kedua hal tersebut, Syiah dan Sunni mengakui shalat, zakat, haji, dan puasa sebagai rukun yang harus dijalankan umat Islam.
Sunni dalam mengambil sumber berdasarkan pada Quran dan Sunnah. Dalil yang menyebutkan ini dalam hadis hanya sedikit. Sedangkan yang banyak disebutkan dalam kitab hadis yang disusun Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya adalah Kitabullah dan Itrati (Ahlulbait). Meski begitu, pada praktiknya dalam merujuk dan membahas keislaman mengambil dari Quran dan Rasulullah saw. Ketika tidak mendapatkan petunjuk, baru kaum Muslim Syiah merujuk pada ucapan dan perbuatan yang dilakukan para Imam Ahlulbait dan Sunni merujuk kepada para sahabat dan ulama-ulama Ahlussunnah.
AHMAD S