Perang 10 November, Adalah Perang Santri
“Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! Merdeka !”
Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo itu tak lepas dari pekik takbir dan kata merdeka, yang merupakan ciri khas pidatonya dalam membakar semangat kepahlawanan para pejuang Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Kalimat itu selalu digunakan dalam mengawali dan mengakhiri pidato. Bukan merdeka atau mati. Padahal dalam rentang waktu proklamasi 17 Agustus 1945 hingga Oktober 1945, pekik ‘merdeka atau mati’ sudah tersosialisasi secara luas di seluruh penjuru tanah air.
“Bung Tomo tampaknya cukup tahu kalau para pejuang yang terjun langsung dalam peristiwa itu adalah umat Islam,” kata Rosdiansyah, alumnus Institute of Social Studies Den Haag, Belanda, kepada MATAN. Dengan demikian, kalimat takbir yang dipekikkan Bung Tomo tidak dilakukan dengan asal-asalan, tetapi melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Sebab, Lanjut Rosdiansyah, penggunaan takbir saat berperang mempertahankan tanah air adalah panggilan perang suci, jihad fi sabilillah.
Dugaan ini semakin menemukan konteksnya seiring dengan terbitnya In memoriam: Sutomo, hasil disertasi William H. Frederick, di Cornell University. Buku yang diterjemahkan oleh Hermawan Sulistyo dengan judul Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979) itu disebut bahwa teriakan Allahu Akbar sebelum dan sesudah (pidato, red), diperhitungkan untuk menarik perhatian orang Islam Surabaya yang taat, tetapi belum terjaring dalam perlawanan melawan penjajah. Kesimpulan ini diambil setelah Frederick mewawancarai langsung Bung Tomo sebelum wafat pada tahun 1981, yaitu 1972-1973.
Propaganda Islami inilah yang menggerakkan rakyat ikut aktif dalam perjuangan melawan musuh, yaitu tentara Inggris yang menyelundupkan tentara Belanda, Netherlands Indies Civil Adminsitration (NICA). Meski bersenjata seadanya, mereka dengan gagah berani berhadapan langsung melawan Inggris di daerah Pambun dan Bubutan. “Inilah yang membedakan pertempuran di Surabaya dengan daerah lain. Surabaya tidak menerapkan perang gerilya, tetapi face to face,” terang Rosdiansyah.
Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak semua negara di dunia mengakuinya, termasuk Belanda dan sekutunya. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, Indonesia mulai diserang kembali oleh Belanda dan sekutunya. Sehingga para kiai dan santrinya bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah untuk menghadang kolonial masuk kembali ke Indonesia. Berbagai pesantrenyang merupakan tempat pendidikan berubah fungsi sebagai markas pasukan kedua satuan itu, dan setiap saat siap menunggu komando untuk berangkat ke medan perang.
Di Surabaya, beberapa tokoh Islam berkumpul, mengatur strategi menghadapi serangan Sekutu yang telah mengultimatum Indonesia untuk ‘menyerah’ pada 9 November 1945. Diantara mereka ada KH. Mas Mansur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani, dan Dul Arnowo. (Baca:
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India, Zia-ul-Haq, terheran-heran menyaksikan para Kyai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq terenyuh, dan dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap tentara yang kemudian menjadi Presiden Pakistan ini tentu saja semakin menyulitkan pasukan Inggris menguasai Indonesia dari sisi Surabaya.
Peran penting umat Islam dalam peristiwa 10 November itu juga diamini oleh KH Sholahuddin Wahid, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari. Menurut pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng Jombang ini, kakeknya bersama beberapa Kyai berunding dan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. “Umat Islam wajib membantu tentara Indonesia yang saat itu baru didirikan untuk melawan Belanda, dan siapa yang gugur mendapat status syahid,” kenangnya.
Untuk itulah, KH Hasyim Asy’ari memerintahkan KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syamsuri untuk mengumpulkan Kyai se-Jawa dan Madura. Para Kyai dari itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dan dipimpin Kyai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari, atas nama PBNU, mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. “Itulah yang mendorong kaum muda untuk menyambut seruan Bung Tomo untuk berperang melawan tentara Inggris dan Belanda,” paparnya.
Resolusi jihad itu lahir karena tentara Indonesia yang baru berdiri belum sekuat sekarang, bahkan berdirinya saja masih beberapa minggu. Dalam resolusi itu disebutkan, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada’. Sedangkan warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. “Kesadaran itu menunjukkan bahwa kalangan santri mempunyai nasionalisme yang tinggi untuk mengusir penjajah,” terang Kyai yang akrab dengan panggilan Gus Sholah itu.
Untuk menyambut pidato di radio yang menggelora dari Bung Tomo, maka semakin mantaplah semangat heroisme para pejuang yang berada di lapangan. Tidak hanya itu, laskar Hisbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer umat Islam mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Di antara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya itu adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rowi, dan KH Sulanam Samsun.
Tidak beda dengan Jatim, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jabar. Tampil sebagai pelopor adalah KH. Amin dari Babakan Ciwaringin, Cirebon, sebagai komandan Hizbullah. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi KH Amin menjalin komunikasi yang baik dengan para Kyai di Jombang, Solo, dan Yogyakarta. “Saat itu sudah ada dua guru dari Muhammadiyah Yogyakarta yang ikut mengajar di lembaga pendidikan yang didirikan Kyai Amin. Namanya Bunyamin dan Mazidah, keduanya takhassus seangkatan dengan KH Sanusi dan KH Hanan” tutur KH Fathoni Amin, anak sulung KH Amin.
Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan ‘misi’ mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin menggelar rapat bersama para Kyai di wilayahnya. Menurut penuturan Kyai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon. Bersama dengan Kyai Amin, Kyai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH Anshory (Plered), dll. “Namun, saat itu saya masih kecil,” tutur pria yang dipercaya sebagai penerus pengasuhan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon tersebut.
Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH Amin juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaannya untuk berangkat. “Untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin,” ungkap Kyai Fathoni yang saat itu melihat langsung.
Kepahlawanan KH Amin dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang. Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya. Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali. Siaran inilah yang membuat kepulangan KH Amin ke Cirebon disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Kondisi ini tentu saja membuatnya marah. “Beliau mengatakan tidak mati karena bomnya meleset,” kenang Fathoni saat ayahnya datang dari Surabaya
Ribuan anggota lain menempuh jalan seperti yang diambil KH Amin, yaitu menanggalkan kenangan perang dan kembali ke pesantren. Sebuah langkah sama yang diambil oleh KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, dan KH Baidowi. Sebagian besar bahkan memilih untuk menyingkir dari arena politik sama sekali, sehingga sejarah akhirnya menenggelamkan kiprah mereka yang sebenarnya luar biasa. Bukankah sejarah yang tertulis adalah hak dan kadangkala monopoli golongan atau kelompok yang menang dalam pertarungan politik?
Lima butir Resolusi Jihad
1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong
3. Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia
4. Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali
5. Kewajiban ini merupakan perang suci bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.
Munif Alaska