Beranda » Kaum Padari (Padri) di Padang Darat, Sumatera

Kaum Padari (Padri) di Padang Darat, Sumatera



Dibatasi oleh lereng lereng gunung Marapi dan gunung Singalang , disebelah timur barisan gunung gunung yang melintang di daerah ini, membujurlah dataran tinggi agam; yang di tutupi oleh kampong-kampung, sawah, dan ladang. Disinilah, disuatu kampung bernama Koto Tuo, tinggal seorang ulama yag termashur. Kalau ia sedang tenggelam dalam renungan suci, maka berjam jam lamanya dia tidak bergeming. Hidup menyendiri ini sangat menjauhinya dari kehidupan duniawi, sehingga tersiar kabar bahwa saat seperti itu rohnya sedang terbang naik haji ke Mekkah. Maka berdatanganlah dari segala penjuru murid muridnya untung menimba ilmu, banyak diantara mereka yang akhirnya menjadi ulama. Diajarkan kepada mereka itu ilmu tentang kitab kitab suci, yang penguasaannya dianggap sebagai puncak kealiman.

Dalam mengajarkan isi buku-buku suci itu, dijelaskanlah betapa sedikitnya perintah perintah dalam Al Quran diamalkan di masyarakat. Dibuktikannya, bahwa perlu diadakan perubahan perubahan dalam hal itu, agar agama islam dapat bersinar dan membawa berkah kepada penganutnya.


Akan tetapi, diantara di antara semua murid, terdapat seorang yang menonjol karena kecerdasan dan daya tangkapnya yang cepat, yang disebut sebagai Tuangku Nan Renceh. Dialah yang dipenuhi semangat keagamaan yang berkobar. Sekembalinya ke kampung halamannya di Bukit Kemang, ia mengabdikan dirinya kepada urusan urusan agama. Sampai akhirnya ia menjadi seorang ulama yang paling terpandang dan terpelajar dikalangan alim ulama.


Selang beberapa lama, kembalilah seorang ulama dari tanah suci, iya tidak memiliki kekayaan duniawi sedikitpun, sehingga disebut sebagai Haji Miskin. Dari perjalanannya naik haji ke mekkah ia menjadi sangat fanatik. ia pun tidak menyukai keadaan ketika itu dan ingin mengadakan perubahan dan pembaharuan di negrinya. Antara lain dia berusaha melarang diadakan penyabungan ayam. Dipasar tedapat sebuah balai adat yang besar. Balai adat ini merupakan hiasan kampung yang sangat dihargai oleh penduduk.


Nasehat yang ditujukan kepada penduduk mengenai sabung ayam dan pekerjaan maksiat lainnya diabaikan, sampai Haji Miskin merasa gusar dan membakar balai adat yang sangat dipuja itu. Para penghulu (petinggi desa) sangat marah dan bermaksud menghukum Haji Miskin, akan tetapi Ia berhasil menyelamatkan diri dan bergabung dengan seorang ulama di Koto Lawas bernama Tuanku Mansiangan. Tuanku Mansiangan ini dapat diajak turut serta dalam rencananya. Tetapi rencananya di Koto Lawas gagal.


Sesudah itu haji miskin menyingkir ke Bukit Kamang, di terima dan diberi perlindungan oleh Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin melihat bahwa jiwa ulama ini dibakar oleh hasrat untuk prubahan dalam cara beribadat dan perlembagaan masyarakat. Maka tidaklah sulit baginya untuk mengobarkan semangat tuanku nan renceh untuk ikut kedalam rencananya. Karena itu diputuskanlah oleh Tuanku Nan Renceh untuk menuruti dan melaksanakan pandangan-pandangan Haji Miskin itu dengan setia. Ia yakin , bahwa rencana itu akan disambut baik oleh ulama ulama di negrinya, walaupun demikian, ia tahu benar bahwa banyak kesulitan yang akan mengganggu usahanya, oleh sebab itu ia mengajak banyak tuangku-tuangku di Agam untuk mengajak mereka ikut serta dalam rencananya dan ikut masuk dalam kerja sama guna mulai melaksanakan perobahan perobahan itu. Dengan demikian mereka bertemu untuk mengadakan persektuan dan mengikat janji. Persekutuan ini terdiri dari delapan orang ulama. Mereka adalah:

Tuanku an Renceh di Kamang

Tuanku Lubut Aur di Cadung

Tuanku Berapi di Bukit (Cadung)

Tuanku Padang Laweh di Banuampu

Tuanku Padang luar di Banuampu

Tuanku Banesa dan

Tuanku Kapu di Agam

Beberapa diantara mereka diburu-buru oleh fanatisme, yang lain didorong oleh alasan alasan pribadi. Kedelapan orang ini terkenal di kalangan rakyat dengan nama harimau nan salapan (harimau yang delapan), sebab mereka selalu membawa penderitaan dan kemusnahan di mana saja mereka menampakkan diri.

Akan tetapi sebelum mereka melaksanakan ajaran baru, para ulama itu sepakat untuk menghadap ke orang arif di Koto Tuo untuk mengajak ulama besar ini ikut dalam usaha pembaharuan ini, mereka tahu bahwa pengaruhnya atas rakyat jelata merupakan faktor yang sangat menentukan.


Maka berangkatlah tuanku nan renceh ke surau tuanku koto tuo, diringi kawan kawannya sesama ulama menemui imam besar itu. Sekarang mereka berkumpul di tempat yang sama, yaitu tempat mereka pertama kali menerima pelajaran pelajaran tentang agama, tempat yang dipenuhi kenangan masa remaja menuju kedewasaan. Tempat yang dahulu mereka gunakan untuk melewati kegembiraan dan kesedihan kini menjadi tempat perseteruan bathin antara ilmu yang diperoleh dan fanatisme tak terbendung.


Setelah memberi salam, tuanku nan renceh membentangkan kepada bekas gurunya rencana rencana mereka tentang perubahan itu dan cara cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan itu. Semua kebiasaan dan adat yang tidak merupakan suruhan dalam Al Quran dan pelanggar-pelanggar dari suruhan nabi akan dihukum dengan kematian dan kehancuran.


Menanggapi itu tuangku koto tuo mengatakan bahwa ia sependapat tentang perubahan perubahan itu, tapi ia tidak setuju dengan cara kekerasan, ia menyarankan untuk menggunakan cara yang lebih lunak. Akan tetapi nafsu besar mengalahkan sikap lunak. Naik darah karena fanatisme, tuangku nan rencer dan pengikutnya menyalahkan sifat lunak ulama besar ini.


Ketika tuanku koto tuo melihat bahwa tegurannya ditolak, iapun memutuskan untuk tidak ikut serta dalam usaha mereka itu jika mereka masih ingin melakukan segalanya dengan kebengisan, sehingga penyimpangan sekecil apapun dari ajaran agama akan dihukum dengan perampasan, bahkan pembunuhan.


Sesudah mendapat keyakinan bahwa tuangku koto tuo tidak akan ikut serta dalam rencana mereka, maka tuanku nan renceh dan orang orangnya untuk mendekati tuangku lain yang berpengaruh. Tuanku nan renceh diberi tahu oleh Haji miskin, bahwa tuanku pamansiangan akan membantu kereka,maka diputuskanlah oleh tuangku nan renceh dan orang orangnya untuk mendatangai tuanku pamansiangan untuk memastikan bantuannya.


Tuanku Nan Renceh dan prang orangnya mengunjungi Tuanku mansiangan dan dengan segera dari ulama ini diperoleh janji untuk ikut kedalam rencana mereka. Sesudah itu mereka saling bersumpah setia untuk bekerja sama. Tuanku Mansiangan dinyatakan sebagai pemimpin rohani tertinggi yang akan melaksanakan penyebaran ajaran baru itu. Akan tetapi dalam pekerjaannya Tuanku Nan Renceh lebih menonjol.


Sekembalinya ke Bukit Kamang, tempat tinggalnya, Tuangku Nan Renceh mengundang semua penghulu dan rakyat banyak untuk menghadiri kenduri besar, dikelilingi oleh serombongan besar alim-ulama yang berpakaian seperti Tuangku Nan Renceh.


Sehabis kenduri, ia berbicara kepada semua yang datang ke perjamuan itu, diuraikan kepada mereka suruhan-suruhan dan kehendak nabi yang mereka lupakan walaupun ia dan rekan rekannya sudah berkali kali mengajak mereka bersikap yang lebih baik dan mengamalkan syariat agama. Akan tetapi sekarang ia memutuskan untuk menuntut pelaksanaan hukum yang keras dan tidak akan mentolerir penyimpangan sekecilpun. Dilarangnya: merokok, makan sirih, candu, dan minum minuman keras, begitu juga dengan main judi. Pakaian sutra, dan perhiasan hanya diizinkan bagi kaum ibu. Selanjutnya ia menghendaki agar kaum laki laki memelihara jenggot dan berpakaian putih seluruhnya, lalu kaum ibu harus menutup mukanya, agar tidak membiarkannya terpandang oleh setiap orang. Di akhir pembicaraannya dia berkata “barangsiapa di antara saudara saudara melanggar salah satu peraturan ini, maka ia akan menjalani hukuman mati dan harta bendanya akan dirampas; karna demikianlah kehendak Nabi”.


Bagi mereka yang menjadi pimpinan dalam urusan masyarakat ucapan itu mengakibatkan ketidak senangan dalam hati, karena dari kata kata itu, jelaslah kepada mereka bahwa dengan cara seperti itu pengaruh kepemimpinan mereka yang berdasarkan perlembagaan kuno, aka terhapus oleh pengaruh kaum alim-ulama. sejalan dengan itu tentulah akan dimuali pula pemerintahan oleh nilai nilai yang di usung ileh alim-ulama seperti yang dijelaskan tuanku nan renceh. Mereka memohon agar warisan zaman dahulu itu di jaga, dan menolak menundukan diri atas pandangan yang mencemoohkan dari pengikut ajaran baru itu. “Mereka, yang mewariskan pranata-pranata kuno itu adalah orang kafir seperti saudara saudara, sedangkan ia, yang kata katanya saya khotbahkan, adalah Rasul Allah dan perintah perintahnya akan dijalankan, kalau tidak, maka hukuman mati akan di jatuhkan kepada siapapun yang melanggarnya” tegas tuanku nan renceh.

Suatu peristiwa berdarah mengawali drama yang menarik itu. Diantara sanak keluarga Tuanku Nan Renceh yang tinggal seatap dengannya, terdapat pula bibinya. Karena usianya yang sudah lanjut, dank arena sejak mudanya sudah biasa memakan sirih, amat sulitlah baginya untuk memenuhi perintah ulama itu. Ia percaya kepada tali darah yang mengikatnya dengan ulama itu, maka ia secara diam diam memuaskan hatinya dengan kebiasaan yang disenanginya itu, akan tetapi Tuanku Nan Renceh menangkap basah bibinya sedang melakukan perbuatan yang dilarang olehnya. Maka sebagai teladan bagi yang lainnya, ia membunuh sanaknya ini tanpa memberi izin untuk memakamkan jenazahnya. Tubuhnya dibuang ke hutan dan membiarkan nasibnya pada alam. Katanya seseorang yang selama hidupnya tidak mengenal tuhan dan menjalankan perintahNya sama saja dengan binatang.

Berita mengenai pristiwa ini dengan segera tersebar luas, dari segala penjuru banyak ulama berdatangan. Tidak ada tindakan yang lebih baik dari itu yang bisa mengumpulkan dukungan. Semangat pengukut-pengikutnya dibakar sehingga mereka bertekad akan melaksanakan apapun yang dituntut atas mereka. Sikap itu menimbulkan ketakutan pada lawannya. Tidak seorangpun berani bertindak bertentangan dengan perintah pembaharu. Pada saat ini lah kaum padari mulai berusaha merombak masyarakat padang darat, sementara tuangku nan renceh memperoleh dukungan masyarakat yang semakin besar sehingga ia melanjutkan pelaksanaan maksudnya. Desanya telah diletakkan di bawah kekuasaan alim-ulama. tetapi ia bermaksud memaksa, bila perlu dengan kekerasan, semua negri-negri untuk mengakui kekuasaan dan ajarannya, mereka yang membangkang akan dihukum dengan denda yang berat, atau kalau melawan dosanya akan ditebus dengan kematian dan perbudakan.Tuangku pamansiangan dari Koto Lawas berjasa mengembangkan ajaran baru itu kedaerah barat. Maka berkat usaha Tuanku Nan Renceh dan Tuangku pamansiangan yang tak kenal lelah, didukung oleh ulama-ulama lainnya, maka hamper seluruh Agam, Enam Koto dan Empat Koto masuk kedalam ajaran kaum Padari.

Walaupun Tuangku Koto Tuo menyokong usaha-usaha alim ulama dan rakyat Paninjauan untuk menolak pemgikut-pengikut fanatic yang buas itu, tempat kemunculan agama di daerah ini, yakni Kapeh-Kapeh dimusnahkan. Tuangku pamansiangan pun ikut memusnahkan tempat yang dahulu didiaminya tempat ia menerima pendidikan dari Tuangku Kapeh-Kapeh.

Dengan demikian ajaran baru itu makin berkembang dengan paksaan dan kekerasan di setiap kampung yang selama ini dihuni oleh petani petani yang cinta damai, berubah menjadi perbentengan dan seluruh negri berubah menjadi medan laga peperangan dan kekacauan.Kampung kampung yang indah dikorbankan kepada api yang ganas, penghuni penghuninya sendiri menjadi korban kebencian antar agama yang merajalela, atau lari kedaerah yang masih sunyi dan tidak diganggu oleh keganasan dan paksaan penganut-penganut yang fanatik.Tuanku nan renceh dan tuangku Pamansiangan sudah memulai pembaharuannya di daerah agam. Sementara itu ketika haji miskin melihat gerakan itu, maka ia memutuskan untuk menuebarkan benih benih subur dari perobahan-perobahan itu di daerah lain.

Didataran Lima-Pulu, yang permai dan kaya. Di kampung Air Terbit tinggallah seorang ulama kenamaan bernama Malim Putih, yang termashur. Maka pergilah haji miskin ke daerah itu dan menggerakkan hati malim putih untuk melakukan usaha pembaharuan di sana dan meyebarkan ajaran kaum padari.

Sesudah ia berdiam di Air Terbit, Haji Miskin menghilang begitu saja, tanpa diketahui kemana perginya dalam arus kacau balau yang ditimbulkan gerakan pembaharuan itu.Ibarat angin yang menebar benih tanaman, demikianlah seorang Haji Miskin yang berapi-api menanamkan benih beih fanatisme, yang menggejolakkan api kepercayaan dalam hati alim-ulama dan imam-khatib di daerah itu.
Walaupun ia tidak selalu ikut serta secara konkret melaksanakan gerakan perobahan itu, akan tetapi khutbahnyalah yang menjadi sebab lahirnya rencana rencana itu. sejarah lokal di Indonesia

sejarah Indonesia modern

Elliza Muhammad



Powered by Blogger.