Beranda » Sejarah Kampung Adat Lewohala

Sejarah Kampung Adat Lewohala





Nama Kampung


Nama kampung: Lewohala Lolon Melu-Tanah Wuring Lamabura). Merupakan salah satu Kampung adat di Desa Jontona–tepatnya di Lereng Gunung Ile Ape-Kecmatan Ile Ape-Kabupaten Lembata-NTT


Nama Lewohala berasal dari nama depan seorang prajurit perang yang bernama:Hala Tede” yang pada saat perang perebutan tanah Lewohala dialah yang menumpas Hulubalang terkenal pihak lawan yang bernama: “Ekan Watan Lolon”


Nama Lewohala juga berasal dari nama sebuah pohon yakni: pohon “Hala” (generasi), pohon tersebut yang kemudian dijadikan lambang dari Lewohala yang mencerminkan keindahan dan keteduhan serta kedamaaian




SEJARAH KAMPUNG LEWOHALA


Masyarakat adat Lewohala pada mulanya berasal dari kepulauan Maluku (Serang Gorang Abo Muar). Pada tahun 1000 masehi, Nenek Moyang kami berangkat meniggalkan tempat asalnya mencari tempat baru untuk didiami. Adapun alasan perpindahan sebagai berikut:


1. Sengketa antara kakak beradik ( puke kawi lusi lei, geni kawa magarai)


2. Perang antar kampung yang tidak berkesudahan


3. Terdesak oleh pendatang-pendatang baru


Dengan demikian nenek moyang kami mulai membuat perahu ( tula tena tani laya) dan menyiapkan segala keperluan untuk berlayar mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian berlayar ke arah barat Nusantara (seba nuho gena katan).



13248975361998802627

-ini adalah salah satu rumah adat di Kampung adat Lewohala-di Lereng Gunung Ile Ape-Lembata-NTT




Setelah beberapa lama dalam pelayaran, tibalah mereka di suatu tempat yang dikenal dengan nama pulau Lepan Batan –Keroko Puken (uli taga sao songe-kebo tena lulu laya).


Cukup lama mereka tinggal disana dan akrab dengan penduduk-penduduk disekitar yakni: Kedang Kalikur.


Pada suatu hari masyarakat Serang Gorang membuat pesta dan mengundang orang Kedang untuk menghadiri pesta mereka. Tuan pesta membunuh ternak berupa kambing dan babi untuk menjamu para tamu. Anehnya masyarakat Kedang tidak berselera dengan lauk pauk yang dihidangkan. Para tamu hanya mau makan jika disajikan daging belut (tuna), karena daging belut tidak tersedia, pesta akhirnya ditunda. Para pelaya diperintahkan untuk mencari belut di laut ( perepa/hutan bakau). Belut yang dicari di dalam hutan bakau tak juga ditemukan. Sementara dalam pencarian, tiba-tiba para pelayan bertemu dengan seorang pencari ikan, kepada pencari ikan para nelayan bertanya; adakah ia ( pencari ikan) pernah melihat tuna? Jawab pencari ikan” saya hanya pernah mendengar ceritra bahwa disini ada tuna piaraan dalam lubang bakau, milik seorang tuan tanah”. Mendengar itu para nelayan langsung menuju ketempat dimana tuna dipelihara dan memasang api di depan lubang. Sambil menunggu keluarnya tuna, mereka bernyanyi (sole) sebagai berikut: “ lodo hau tuna bera lodo hau, tobo miang pae wenge tuna bera lodo hau”.


Karena kepanasan akhirnya tuna tersebut keluar, dengan gembira para pelayan mengambil dan membawanya pulang untuk disajikan sebagai hidangan perjamuan dengan para tamu dari Kedang.


Sepanjang malam acara pesta digelar, sole-oha memecah kesunyian malam. Kira-kira pukul 03.00 pagi, awan mendung menutup langit, guruh gemuruh Guntur disertai petir menggelegar seakan membelah bumi, bersamaan dengan datangnya hujan nan lebat, banjir bandang segera melanda kampung, keramaian pesta berubah seketika, masyarakat menjadi ketakutan. Pembesar kampung membunyikan nafiri pertanda bahaya segera menimpa. Tak berapa selang, terasa gempa mengguncang bumi, bersamaan dengan laut pasang, bencana hebat melanda kampung lepan batan-keroko puken (blebu lebu, blera lerang), ditengah ketakutan, pembesar kampung mengumumkan agar masyarakat segera menyelamatkan diri.


Masing-masing mereka lalu menyelamatkan diri menggunakan perahu. Ada yang kemudian berlayar ke arah utara, selatan, timur dan barat. Yang berlayar menyusuri pantai utara lalu tiba di Kedang (meru wetan tuka-para wailolon), sedangkan yang berlayar menyusuri pantai selatan kemudian melabuhkan perahunya di nila wuyo kape, lama lera dan lewo bala, sebagian lagi terus berlayar dan tiba di pulau adonara dan pulau solor (wulo sodong-arang bao). Wulo sodong, tanah boleng, arang bao, waiwuring- sagu arang.



Nenek moyang cukup lama mendiami kedang dibawah pimpinan ola baga tugu wulan dan pati useng kei lera sedangkan yang di adonara dibawah pimpinan pati arakiang dan kayo wua boli ama.


Tidak lama nenek moyang tinggal di waiwuring dan sagu arang, karena semacam penyakit aneh menimpah yakni: penyakit ketili witi dan udung lawaj. Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk mencari tempat baru. Mereka berlayar menuju ile anakoda, dan sempat menurunkan sebagian di lewokea (lewotolok-sekarang) dan sebagian berlayar terus ke arah utara timur. Dan tibalah mereka di bui baran dan melabuhkan perahunya.


Disamping tanjung lakadoni bapak hali sabo ama sempat menggal sebuah sumur di depan jong bute balu bihang, mereka kemudian memutuskan untuk menetap. Setelah sebulan mereka tinggal, terjadila perundingan diantara mereka untuk membagi tugas dan tempat tinggal.


Pembagian itu yakni:


1. Kaka lewo bolo


2. Arin lewo lere


Kaka lewo bolo tinggal di lereng gunung ile ape dengan tugas: tanam kelapa, pisang, pinang dan siri. Sedangkan arin lewo lere tingggal diantara pantai dan gunung yakni: kewatu moting dan sekaligus bertugas mencari ikan (nelayan), masak garam, bakar kapur untuk dibarter antara mereka.



Kakan lewo bolo kemudian menetap disebuah tempat bernama mita rota guma gole. Ditempat tersebut sudah ada penghuninya yakni tede tawa tanah, disana mereka hidup bersama. Kedatangan mereka atas undangan tede tawa tanah untuk membantu melawan musuhnya yang bernama sadu rupa lima letu dan ekan watan lolon.


Setelah saling mengenal mereka kemudian berunding untuk membangun kekuatan bersama menyerang musuh sadu rupa lima letu dan ekan watan lolon. Perang cukup banyak memakan korban, baik korban jiwa maupun harta beda. Namun demikian musuh besar belum berhasil ditumpas. Karena terus saja mengalami kekalahan mereka kemudian meminta bantuan dari saudara-saudara mereka yang tinggal di kedang tepatnya yang tinggal di meru watan tuka para wailolon dibawah pimpinan ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera.


Beberapa delegasi diutus untuk menemui ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera. Ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera, kemudian menyetujui permintaan dan akhirya berangkat bersama. Dalam perjalanan pulang mereka sempat melabuhkan perahunya di wai bao hadakewa. Dari situ mereka berlayar lagi menuju okang paga wewa matan. Adapun barang yang dibawah oleh ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera adalah:


1. Wuhu pito labi lema (senjata kuno)


2. Sedo wu nake lolong (ritual pesta kacang)


3. Api lera ku keneheng (alat pembuat api dari bambu)



Di okang paga wewan matan telah mereka berjumpa dengan para pembesar kakan lewo bolo dan arin lewo lere, juga pembesar tana tawa, perjumpaan diwarnai isak tangis.


Mereka kemudian berunding untuk membangun strategi perang melawan musuh. Perang demi perang dilalui namun musuh belum juga berhasil ditumpas.


Oleh karena sering mengalami kekalahan, mereka kemudian mengutus delegasi menemui sadu rupa lima letu untuk berunding. Strategi ini boleh dibilang berhasil, putri kesayangan sadu rupa lima letu somi solang gewo (kewa kala nidi) dinikahkan dengan a’wote abo ama (soge laka rowe) dari suku serang gorang.


Perkawinan dimaksud untuk mencari tahu rahasia perang dan kekuatan sadu rupa lima letu serta benteng pertahanan sadu rupa lima letu. Somi salang gowa akhirnya membeberkan seluruh rahasia kekuatan ayahnya sadu rupa lima letu kepada suaminya a’ wote abo ama (soge laka rowe).


Berbekal ceritra dari somi solang gewo, nenek moyang kemudian mulai berundig dan membangun strategi baru.


Diceritrakan bahwa: sadu rupa lima letu dan ekan watan lolon bertempat tinggal di atas pohon (lewwa). Salah satu kebiasaan sadu rupa lima letu adalah membuang air kencing melalui saluran yang terbuat dari sebatang bambu bulu.


Suatu malam di kediaman sadu rupa lima letu sedang berlangsung pesta pernikahan yang meriah, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Panglima a’ wote abo ama (soge laka rowe) bergerak menuju kediaman sadu rupa lima letu dan menunggu persis didekat saluran bambu. Tak lama berselang, terdengar derap langkah sadu rupa lima letu.


A’ wote abo ama dengan segera memasukan panahnya kedalam lubang saluran, setelah terlihat air seni menetes panah pun dilepas. Sadu rupa ima letu tewas seketika dan jatuh dari atas pohon lewwa. A’ wote abo ama lalu memotong kaki dan tangan sadu rupa lima letu dan kemudian dibawanya menuju namang (tempat hiburan) dimana seluruh masyarakat sadu rupa lima letu sedang berpesta. Ia lalu membuangkaki dan tangan sadu rupa lima letu ketengah kerumunan. Melihat itu masyarakat menjadi panik, ditengah kepanikan seorang tukang sole masih sempat lagukan solenya yang berbunyi: “ sedan aku digelema, pelali lei ge sadu rupa lima letu lei hae. Tutu padu solang dama dai hotoro uhe “ obor kemudian dinyalakan untuk memastika kaki dan tangan siapa yang dibuang itu. Masyarakat terkejut dan semakin panik ketika mengetahui bahwa kaki dan tangan tersebt milik panglima besar mereka sadu rupa lima letu. Karena ketakutan mereka kemudian melarikan diri untuk bersembunyi. Ketika pagi menjelang, ekan watan lolon membunyikan nafiri untuk memanggil masyarakatnya berkumpul dan menguburkan mayat panglima besar mereka.



Suasana haru menyelimuti masyarakat sadu rupa lima letu. Kesedihan itu semakin menjadi ketika kemudian diketahui bahwa orang yang menbunuh sadu rupa lima letu adalah suami dari somi solang gewo- a’ wote abo ama. Akibat kejadian ini perang sempa terhenti untuk beberapa saat.


Namun setelah itu, ekan watan lolon membangun lagi kekuatan untuk melancarkan serangan kepada suku serang gorang dan tanah tawa. Lagi-lagi korban berjatuhan terlebih pada suku serang gorang dan suku tanah tawa. Dituturkan pula bahwa, perang saat itu menyebar sampai ke lewotolok. Ekan watan lolon dan pasukannya selalu menang dalam pertempuran itu. Oleh karena kemenangan dalam peperangan, ekan watan lolon kemudian melagukan sebuah sole sebagai berikut: “ jadi hala, hala lawa jadi hala, tolok ile ale gole, lawa jadi hala”. Sole sindiran ini menyebabkan kemarahan besar pihak serang gorang dan tanah tawa. Strategi perang baru pun mulai disusun. Para prajurit serang gorang pun diperintahkan panglimanya untuk menggali lubang jebakan dan memasang ranjau pada tempat yang biasa dilalui ekan watan lolon musuh besar mereka.


Strategi ini berhasil menangkap ekan watan lolon. Tubuh ekan watan lolon kemudian ditarik ke kampung serang gorang oleh panglima hala tede dan prajuritnya. Rakyat serang gorang yang selama ini memendam kemarahan berbondong-bondong datang menyaksikan musuh besar mereka yang berhasil ditangkap. Tak ketinggalan kaum ibu, yangdatang dengan membawa pisau dan mengiris sedikit demi sedikit tubuh ekan watan lolon. Luka yang mengangah kemudian disirami garam bercampur Lombok dan cuka. Tidak puas dengan perlakuan itu, ekan watan lolon kemudian diseret ke lewotolok untuk didera. Dalam perjalanan pulang ekan watan lolon meratapi nasibnya sebagai berikut: “ kaka sadu take kae, nong go ekan watan lolon gali hae, pana-pana kai mataj lali kepa bunu tali, gawi-gawi kai lola weli wulo dopi lara. Tanah sira paji ike ekan laga doni pama buto bote nai doan kuma doro nai lela”. Pada akhirnya ekan watan lolon meninggal dan dimakamkan disebuah tempat yang bernama “kepa tawa”


Meninggalnya dua panglima perang ini membuat rakyat watowita dan kumata bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Dibawah pimpinan anak kandung sadu rupa lima letu yang bernama leba letu, mereka kemudian pergi mencari tempat hunian baru.



TERBENTUKNYA KAMPUNG LEWOHALA


(Honi tobo wani pae lewohala)



Berdirinya kampung Lewohala ditandai dengan upacara sejuk dingin yang disebut dengan: “ tewu tanah sira paji, wulu bure bala kenera, hodi ekan lagadoni lodan sode namang gole”. (upacara menebus tanah dengan sebatang gading-moko dan kalung emas/Lodan). Benda adat tersebut di atas diberikan kepada suku witak lamawaleng, luwo waleng koli baran.



Wulu Bure Bala Kenerang dibawah ke Koli Buto sedangkan Lodan Sode Namang Gole dibawah ke Ebak. Setelah penyerahan benda-benda adat tersebut, masyarakat Serang Gorang dan masyarakat Tanah Tawa dibawa pimpinan para pembesarnya masing-masing membangun Lewotanah Lewohala. Masyarakat kemudian membangun rumah untuk dihuni sebanyak tujuh pulu tujuh buah rumah yang kemudian berkembang menjadi tujuh pulu tujuh suku, (jumlah rumah adat tersebut masih tetap dipertahankan sampai sekarang). Setelah kampung terbentuk, masyarakat kemudian berunding untuk memilih pemimpin yang akan memimpin Lewohala yang lazim disebut Belen Raya. Adapun tata cara pemilihan Belen Raya adalah sebagai berikut: dilakukan lomba menarik bambu yang dipotong, tanpa dibersihkan dari ranting dan daun. Syarat dalam perlombaan adalah bambu ditarik dengan posisi terbalik, yakni bagian ujung bambu berada didepan.


Titik star lomba adalah kampung (Lewohala) sampai ke pantai. Suku yang sampai terlebih dahulu di pantai berhak menjadi pemimpin. Lomba ini kemudian dimenangkan oleh suku Serang Gorang atau suku pendatang. Hasil perlombaan ini dianulir oleh suku Tanah Tawa, karena suku pendatang berlaku curang dalam perlombaan. Akhirnya disepakati cara kedua yakni dengan membuat Ceremony adat gantung domba (peke ehang). Masing-masing pihak menanggung seekor domba, domba tersebut digantung pada saat bersamaan. Namun sebelumnya, masing-masing pihak menyampaikan doa.


Upacara dimulai, domba digantung. Dua ekor domba mati pada jam yang sama, tetapi domba milik suku Tanah Tawa kakinya tertutup, yang menandakan bahwa tidak ada jalan. Selain itu jasad domba berbauh dan dipenuhi ulat berbulu serta lalat. Sedangkan domba milik suku Pendatang (Serang Gorang) mati dengan kaki terbuka, serta tidak berbauh. Keadaan inilah yang kemudian diputuskan bahwa suku pendatanglah yang paling berhak memimpin kampung Lewohala.


Walaupun demikian dalam struktur pemerintahan asli saat itu tetap melibatkan suku asli. Adapun pembagian tersebut adalah sebagai berikut:


Ø Belen Werang dijabat oleh Serang Gorang



Ø Belen Leing dijabat oleh Serang Gorang


Ø Raya Lein dijabat oleh Tawa Tanah


Ø Raya Werang dijabat oleh Serang Gorang


Benda adat seperti yang disebutkan diatas, berupa Moko Lodon dan Gading seluruhnya ditanggung oleh Serang Gorang untuk menebus tanah Lewohala.



Batas wilayah adat lewohala:


1. Utara : Gunung Ile Ape


2. Selatan : Teluk Waienga- Teluk Lewoleba


3. Timur : Desa Lamawolo


4. Barat : Desa Ama Kaka dan Desa Tagawiti


Suku-Suku yang mendiami kampung Lewohala:


1. Wungu Belen terdiri dari:


a. Gesi Making


b. Domaking



c. Laba Making


d. Halimaking


e. Soro Making


f. Krowe Making


g. Duli Making


h. Tede Making


i. Lewo Kedang


j. Roga Making


k. Beni Making



l. Puho Boto


m. Lado Angin


n. Lewo Hura


o. Puka Lolong


p. Lewo Tubun- Narawayong


q. Au Urang


2. Wungu Blumer


a. Pureklolon


b. Matarau




1324897671135659430

-salah satu gading adat (gading gaja) di rumah adat suku Balawangak-salah satu suku/klan di Kampung adat Lewohala-Sumber foto-Doc.Pribadi



c. Balawanga


d. Lamatapo


e. Lamawalang


f. Lamablolu


g. Bekayo


h. Langoday



i. Lamabahy


j. Atanila


k. Langotukan


l. Lewokdanga


Desa-Desa komunitas adat Lewohala:


1. Baopuke


2. Waiwaru


3. Kimakama


4. Muruona



5. Woipuke


6. Ohe


7. Bao



III. Sejarah Kedatangan Penghuni Suku


Penghuni suku yang mendiami Lewohala umumnya berasal dari kepulauan Maluku (Serang Gorang Abo Muar).


Awal mula dari Serang Gorang, Nenek Moyang berada dibawah naungan satu suku besar yakni: “ Suku Seram Sara Luka, Luwa Goran Lobi Au” sedangkan suku asli yang sudah menetap terlebih dahulu adalah Suku Duli Making Dan Tede Making ( Tawa Tanah-Gere Ekan).


IV. Tradisi Yang Diwariskan



Tradisi yang diwariskan nenek moyang adalah hasil ciptaan dan buah pikir dari para leluhur yang di bawah dari serang gorang.


V. Hukum Adat


1. Adat Perkawinan : Pain Napan


2. Adat Kematian : Keju Maten


3. Penghamilan Liar : Gowa Sagi


4. Selingkuh : Turu Tobo


5. Merapas Isteri Orang : Toban Nukan, Gui Kele


VI. Tokoh-tokoh purba


1. Pati Arakian



2. Kayo Wuan Boli Ama


3. Oikeko Lado Rua


4. Wotan Waiwuring


5. Ola Baga Tugu Wulan


6. Pati Useng Kei Lera


7. Sibeni Bunu Tiwa


8. Kerua Sili Lolo


9. Duli Tede Hala-A’ Wote Abo Ama


10. Gesi-Do-Laba-Beni



11. Hali-Sorong-Ola Abo Ama


12. Tede Pure Balawanga


13. Nila Tutu Lungu-Lura Toda Wolo


14. Pure Dong Laba-Hore Laba Taran


15. Laba Lele Demo Ama


16. Aba Taran Gorang



VII. Jenis Ritual Adat


Ø Pesta Kacang



Urutannya sebagai berikut:


a. Sawe Nuku (Penggantung Nuki di Koke Atamuki)


b. Tuka Kiwan-Lua Watan (Pergi Pulang Gunung Pantai) untuk menyuguhkan sesajian bagi


para leluhur ditampat upacara (Nuba Nara)


c. Belai: Perjamuan bersama bagi anak gadis Wungu Belumer di Koke


d. Dora – Dope: Berburu ayam piaraan untuk sesajian para Leluhur


e. Pau Lango: Perjamuan anak suku di rumah adat masing-masing.


f. Sora Utan Lango Belen: Perjamuan bersama di rumah besar untuk beberapa suku tertentu


(Suku-Suku Wungu Belen)



g. Penu Koke Lera Tena: Perjamuan bersama di kelima Koke Lewohala sesuai pembagian


kelompok suku.


h. Juang wua: Pawai siri pinang yang dilakukan oleh Belen Raya Lewo Werang dan Belen Raya


Lewolein (Hebo Elo Tora Woke)


i. Ina Ratang: Perjamuan bersama anak-anak gadis Belen Raya Lewowerang



VIII. Struktur Lembaga Adat




IX. Sejarah Rumah Adat



Pada awalnya Nenek Moyang tidak memiliki tempat tinggal. Hidup mereka sangat menggantungkan nasibnya pada alam sekitarnya, hidup mereka selalu berpindah-pindah dengan maksud mencari makan di hutan.


Setelah terjadi perkembang biakan manusia, dari satu garis keturunan mereka mulai berpikir untuk membangun pondok-pondok sederhana untuk tinggal bersama.


Adapun tujuan dari tinggal bersama adalah:


1. Mudah membangun kekompakan untuk membelah diri dari serangan musuh


2. Mudah mengadakan upacara-upacara seromonial adat dan ritual yang dibutuhkan


3. Saling membantu dalam segala kesulitan yang dihadapi


Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia, rumah-rumah semakin banyak dibangun. Selain itu mereka yang terlahir dari satu garis keturunan bersepakat untuk membangun sebuah rumah sebagai induk (bliwo kawa) yang sengaja dibiarkan kosong dan hanya dipakai pada saat tertentu, seperti membuat ritual adat.


Adapun tujuan dari pembangunan rumah sendiri adalah menjaga bentrok intern antara sesama kakak beradik yang dapat menghancurkan kerukunan keluarga.




Proses pembuatan rumah adat


a. Pembuatan Dena (Dolu Alang) / Boti Atu – Borang Kota


b. Pengadaan bahan-bahan local


- Pengadaan tiang


- Pengadan palang (munung-mape)


- Pengadaan kuda-kuda dan tongkat kuda-uda (nu lake-wola wae)


- Palang atas, bawah, muka dan belakang (nore-kawang-blope)


- Pengadaan bahan-bahan penangkis bala/penyakit (kotemane)



- Pengadaan atap dan tali pengikat setelah semua bahan siap, membangun rumah sampai selesai.


c. Fungsi rumah adat


- Tempat membuat upacara adat


- Tempat berkumpul anggota-anggota suku dan kepala suku untuk suatu urusan adat


d. Bentuk dan arti rumah adat


- Atap : melambangkan kekompakan anggota suku


- Dinding : kekuatan


- Tiang : melambangkan peran anggota suku


- Balai utama: tempat ritual (kenata bele, liri wanan)



- Tempat tidur (uli one), mada-pendopo


- Hoi : tempat menyimpan makanan


- Bentuk rumah adat: empat (4) air


X. Tempat ritual di kampung adat


a. Rumah adat / rumah besar


b. Koke-bale: tempat perjamuan bersama


c. Nepi-basa: tempat upacara piara kambing


d. Manfaat rumah adat: tempat berdoa dan pemberian sesajian kepada para leluhur


e. Sanksi : apabila upacara tidak dilakukan sesuai ketentuan jadwal dan aturan mainnya maka penyakit yang dapat berujung kematian akan menimpa






XI. Benda purba kala


Barang-barang peninggalan benda purbakala adalah sbb:


Moko, gading, guci, maeriam kuno, piring tanah, belaong, lodan, parang dan tombak.


Semua barang-barang kuno sebagai bukti sejarah ini disemayamkan pada balai utama (kenata belen) dan mempunyai kekuatan gaib. Apabila ada yang dengan sengaja dan secara tahu dan mau merusak, mencuri untuk kepentingannya maka malapetaka akan menimpanya sepanjang hidup, bahkan sampai pada anak keturunannya.


XII. Makanan tradisional


1. Ketemak/kebose/munga


2. Nasi campur jagung dan kacang



3. Keleso/lepi


4. Putu, ubi kukus, ubi bakar


XIII. Jenis pakian adat dan fungsinya


1. Wate hebe, topo, kerokong: pakian harian/pesta dan dapat digunakan untuk hadiah bagi anak-anak pada saat pernikahan


2. Wate mea: digunakan untuk balas gading dan juga hadiah buat anak gadis pada saat pernikahan


3. Senai/kewodu/senawe: pakian harian buat pria


XIV. Tarian adat


1. Hedung/ tari perang


2. Tari rotan



3. Tari neba


4. Tari tambang


5. Tari bambu


XV. Permainan tradisional


1. Eda


2. Pesu


3. Bie


4. Kote


5. Kemote



6. kepasa


XVI. Kearifan local (muru naki)


1. Larangan memetik kelapa


2. Larangan menangkap ikan


3. Larangan membuka kebun baru


XVII. Mata pencaharian


1. Bertani


2. Nelayan


3. Berburuh



4. Tenun ikat



dan….


Kami menyadari akan kekurangan dan kelemahan kami dalam penulisan Profil Lewohala ini. Kami senantiasa selalu mengharapkan masukan, saran, dan kritikan dari segenap pihak guna menyempurnakan tulisan yang masih sangat sederhana ini agar nilai-nilai luhur sejarah Lewohala dapat diwariskan kepada generasi-generasi yang akan datang dan dapat dijadikan sebagai pegangan hidup mereka.

Semoga……Group Orang Baopukang
sandro wangak



Powered by Blogger.