Beranda » Bandung 1952 (1) Konferensi Sukses di Tengah “Aksi Cowboy”

Bandung 1952 (1) Konferensi Sukses di Tengah “Aksi Cowboy”



Proses Kemiskinan rakyat (Verarmings Proces) sebagai akibat gangguan keamanan terus menerus di Jawa Barat bergeser dari soal sosial (social problem) ke soal perang (oorlog problem). Persoalan jang ditimbulkan oleh gangguan2 keamanan tidak cukup diselesaikan dengan bantuan2 sosial saja, tetapi dengan tindakan2 dan alat2 kekuasaan negara

Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata

Pikiran Rakjat 23 Agustus 1952

Dalam pidato radio yang diucapkan pada malam pergantian tahun 31 Desember 1951 ke 1 Januari 1952 Menteri Penerangan Mononutu mengharapkan sejumlah kekacauan yang ada di Indonesia sejak penyerahan kedaulatan sudah bisa diatasi. Dia juga berharap bahwa kekacauan di kawasan Jawa Barat juga diatasi (Pikiran Rakjat, 2 Januari 1952). Kenyataannya gangguan keamanan di Jawa Barat semakin menjadi-jadi karena bukan hanya gerombolan Darul Islam tetapi juga ada kelompok bersenjata lainnya melakukan serangkaian aktifitas yang lebih mengarah ke arah aksi kriminal daripada gerakan militer yang punya tujuan politik seperti yang dirumuskan Carl von Clausewitz (Panglima tentara Prusia pada abad ke 19) dalam bukunya Tentang Perang. *

Serangan gerombolan bukan lagi hanya membakar rumah, menteror penduduk di desa tetapi juga menyerang lalu lintas jalan raya dan kereta api yang sebetulnya memiliki implikasi mempersulit kehidupan ekonomi rakyat kecil juga daripada memberikan efek politik. Yang kerap jatuh jadi korban seringkali orang-orang yang seharusnya bukan target militer.

Misalnya saja suatu pagi pada pertengahan Maret 1952 merupakan hari yang bakal dikenang bagi penumpang Otobis Tjaja Gunting dengan nomor D 6708 yang melayani trayek Bandung-Subang-Pamanukan. Kira-kira 5 Km dari Subang bus itu diserang sekitar 15 orang bersenjata api berpakaian campuran seragam tentara dan sebagian lagi hitam-hitam. Bak sebuah film action sekalipun terluka akibat tembakan yang dilepaskan gerombolan itu, supir bisa melarikan busnya dengan gesit.

Dari arah yang berlawanan sebuah oplet muncul. Nasib oplet ini sangat naas. Tembakan dilepaskan menyebabkan, supir oplet, dua orang keturunan Tionghoa dan seorang tentara tewas dan seorang luka parah dan tujuh lain luka ringan. Menurut Pikiran Rakjat 20 Maret 1952 terdapat selosongan 28 peluru menembus oplet itu.

Pada pagi hari 1 April 1952 pihak CPM dibantu kepolisian melakukan pembersihan di beberapa lokasi Kota Bandung. Tujuannya antara lain menyita senjata api. Hasilnya 15 macam senjata api mulai dari sten hingga pistol bahkan termasuk 5 buah granat tangan berhasil didapatkan. Sekitar 40 orang dari berbagai kebangsaan (di antara orang Belanda) ditahan untuk diperiksa atas kepemilikan senjata api.

Kepala CPM Mayor Rusdi menyebutkan serangan ini untuk menghilangkan kekacauan karena tindakan criminal. Pada pagi hari itu juga tiga pelaku penggarongan bersenjata Di Gang Nitipraja sehari sebelumnya ditangkap berikut dua pucuk pistol.

Pada awal Juni 1952 terjadi pertempuran seru selama 9 jam antara Gerombolan Darul Islam dibantu anggota Batalyon 426 (Batalion yang berasal dari Hizbullah Jawa Tengah) melawan tentara di Sadang, Kecamatan Wanaradja, Garut. Baku tembak berlangsung sejak pukul 9.30 hingga 18.30 menewaskan sekitar 40 orang gerombolan dan melukai 30 orang lainnya. Di pihak tentara gugur 12 orang dan 5 orang luka-luka. Di antara yang gugur 9di antaranya adalah tentara asal Bandung (Pikiran Rakjat, 5 Juni 1952).

Kira-kira seminggu kemudian terjadi pertempuran sengit di Cikalong Kulon (Cianjur) antara tentara dan polisi melawan TII dipimpin Achmad Sungkawa. Tidak diketahui berapa korban gerombolan, tetapi 14 tentara dilaporkan gugur, 8 orang hilang dan 7 luka-luka. Pertempuran juga terjadi di Desa Cinagara, kawasan Ciawi di mana tentara memperoleh kemenangan menewaskan 12 TII dan menangkap 13 orang lainnya, serta menyita sejumlah persenjataan mereka seperti brengun, thomson, karaben dan revolver (Pikiran Rakjat, 11 Juni 1952).

Pada Sabtu malam 14 Juni 1952 suatu gerombolan bersenjata menyerang Kota Majalengka persis ketika warga bubar menonton pertunjukkan sandiwara. Sebelum menyerang anggota gerombolan menyusup di antara penonton. Baru setelah teman-temannya mereka ikut menyerang. Sebanyak 15 rumah dan 5 toko dibakar dengan kerugian ditaksir Rp 600 ribu. Korban jiwa 15 orang termasuk seorang anggota CPM (Pikiran Rakjat, 16 Juni 1952).

Modus menyusup menonton sandiwara ini bahkan ditunjukkan di Kota Bandung. Sekitar pukul 22.30 Kamis malam 17 Juli 1952 sebuah pertunjukkan sandiwara di tengah-tengah pemukiman warga di Buah Batu (berjarak satu setengah kilomper dari perbatasan selatan kota) diselusupi gerombolan bersenjata berat. Mereka menyamar sebagai pemain sandiwara. Sementara anggota gerombolan lain menyerang dari berbagai penjuru dengan total kekuatan 20 orang. Seorang pemain sandiwara tewas disembelih pasukan tak dikenal itu dan seorang perempuan warga setempat luka berat. Mereka juga menculik Haji Sudjat dan keluarganya yang punya hajatan dan membakar rumahnya. (Pikiran Rakjat, 18 Juli 1952).

Meskipun ancaman yang ditunjukkan gerombolan-gerombolan itu sungguh serius Presiden Sukarno berani menerima kunjungan Presiden Quirino dari Filipina di Bandung- yang mengingatkan kunjungan orang nomor satu India, Nehru dua tahun lalu. Hanya dua hari sesudah gerombolan bersenjata menteror warga Buah Batu, tepatnya Sabtu Sore 19 Juli 1952, kedua kepala negara ini memasuki halaman Gubernuran dengan mobil Lincoln cosmopolitan warna coklat diiringi puluhan mobil dan sambutan gegap gempita warga kota, mulai dari Cimahi, Jalan Raya Barat, Pasar Baru hingga Gubernuran. Sukarno bahkan sempat berpidato.

Djikalau leong barongsai dari Tiongkok bekerdja sama dengan kerbau dari Filipina, denagn Gajah dari Sjam, dengan lembu nandi dari India, dengan sphink dari Mesir, dengan banteng dari Indonesoa, maka hantjur leburlah imprealisme….(Pikiran Rakjat 21 Juli 1952).

Minggu besoknya Presiden Quirino mengikuti misa di Gereja bahkan sempat dilaporkan menonton sebagian pengambilan gambar Lutung Kasarung. Waktu itu film itu sedang dalam proses syuting untuk menjadi sebuah film nasional. Pengambilan gambar dilakukan antara lain di kawasan Maribaya, Lembang yang merupakan tempat wisata favorit masa itu. Proses syuting praktis tanpa gangguan gerombolan bersenjata. Presiden Sukarno mengunjungi sejumlah tempat di Priangan tanpa gangguan.

Kira-kira seminggu kemudian, Minggu sore jam 15.00 sebuah kereta api Jogja-Bandung terbalik, karena dua batang rel dilepas gerombolan bersenjata di Kampung Cipaku, Warung Bandrek, Malangbong. Gerombolan berkekuatan lebih dari 20 orang itu kemudian menyerang dan merampok kereta api yang terguling. Enam orang dilaporkan tewas dan 13 orang luka berat. Kerugian barang ditaksir Rp 152.000. Jumlah yang tinggi masa itu (Pikiran Rakjat, 28 Juli 1952)

Aksi “cowboy” lainnya terjadi di di dalam autobus Sabar yang berjalan antara Bandung dan Sukabumi pada pertengahan Oktober 1952. Seorang penumpang yang kemudian diketahui bernama Enis dari Cianjur nekat merebut pistol milik seorang Letnan bernama Sumardi ketika bus singgah di perbatasan Desa Cikolotok, Kecamatan Karang Tengah, Cianjur. Dalam pergumulan yang menegangkan itu Enis tewas tertembak pistol yang hendak direbutnya (Pikiran Rakjat, 24 Oktober 1952)

Rangkaian kekerasan ini membuat Gubenur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata berkeyakinan bahwa hanya persoalan keamanan ini tidak hanya bisa dipercahkan dengan pendekatan bantuan sosial tetapi terutama dengan tindakan militer. Sanusi pada Agustus 1952 mengadakan kunjungan ke daerah Majalengka di mana pamongpraja dan rakyat memberikan kepercayaan pada tentara. Batalion yang ada di sana di pimpin Mayor Surjo Subandrio dan anak buahnya yang terdiri berbagai macam suku menunjukkan keberaniannya bertempur hingga memperoleh kepercayaan rakyat.

Menurut Gubernur satu sifat dari anggota batalion itu mereka tidak terburu-buru menembak kalau diserang gerombolan, tetapi dengan tenang mengamati sasarannya dan baru menyerang kembali (Pikiran Rakjat, 23 Agustus 1952). Dalam beberapa sumber yang saya dapatkan Mayor Surjo Subandrio ini merupakan komandan grup tiga pasukan yang menumpas Gerakan Republik Maluku Selatan pada 1950-an. Perwira menengah ini bertempur bersama Letnan Kolonel Slamet Riyadi.

Meskipun serangan gerombolan makin spektakuler, namun Bandung sukses menyelenggarakan Kongres WHO pada 4-9 September 1952. Kongres ini antara lain dihadiri Dr. Svasti Daengvang (Thailand), Dr. Leimena (Menteri Kesehatan Indonesia masa itu). Pertemuan ini membahas antara lain soal pemberantasan penyakit menular, seperti TBC, Malaria yang menjadi masalah negara-negara di Asia Tenggara masa itu (Pikiran Rakjat, 5 dan 19 September 1952).

Menjelang akhir September 1952 Pemerintah Kabupaten Bandung mengumumkan bahwa selama delapan bulan 1952 aksi kekerasan yang dilakukan gerombolan di dalam areal Kabupaten Bandung saja menewaskan 124 orang di pihak pemerintah, 4 di antaranya pegawai negeri dan 25 orang diculik. Pada kurun masa itu terjadi 2025 kali penggarongan dan 181 serangan bersenjata dengan total kerugian Rp 1, 5 juta (jumlah besar masa itu). Dibandingkan dengan 1951 di mana terjadi 3376 kali penggarongan dengan total kerugian Rp 3,4 juta tampaknya menurun. Namun jumlah korban yang tewas masa itu 88 orang (Pikiran Rakjat, 26 September 1952).

Kerugian selama semester pertama 1952 tercatat lebih dari 5000 rumah dibakar di seluruh Jawa barat. Angka penggarongan nyaris mencapai 12 ribu kasus dan lebih dari 850 penduduk sipil tewas. Kerugian dalam hitungan rupiah mencapai Rp 12 juta atau Rp 2 juta per bulan. Jumlah yang besar pada waktu itu. (Pikiran Rakjat 1 Oktober 1952).

Yang mengerikan aksi gerombolan itu menyebabkan 20% penduduk Jawa Barat pada masa itu berada di lokasi pengungsian. Pada 1950 secara orang yang mengungsi lebih dari 2,1 juta jiwa, pada 1951 mencapai 2,8 juta dan empat bulan pertama 1952 yang mengungsi nyaris mencapai 700 ribu jiwa (Pikiran Rakjat, 14 Agustus 1952).

Serangan ini menambah kekacauan perekonomian Jawa Barat mengingat perkebunan-perkebunan dalam kesulitan besar karena produksi menurun. Pada pertengahan Agustus 1952 itu juga 15 perkebunan dinyatakan ditutup. Dari 684 perkebunan di Jawa Barat, sebanyak 441 buah dikerjakan pemiliknya, 227 belum jelas statusnya dan dua buah mengalami kerusakan (Pikiran Rakjat, 13 Agustus 1952).

Kerugian besar juga diderita sejumlah perkebunan. Pada Februari 1952 perkebunan Bajabang diserbu sekitar 300 orang yang sebagian besar bersenjata. Dilaporkan di antara yang melakukan penyerbuan adalah anak-anak di bawah umur. Dilaporkan sebuah pabrik penggilingan teh, 3 gedung asap, 18 rumah pegawai, 3 bangunan asrama polisi, satu kantor dan 3 rumah rakyat mengalami kerusakan. Perkebunan ini dimiliki onderneming NV Belga (Pikiran Rakjat, 18 Februari 1952).

Pada Oktober 1952 beberapa perkebunan karet di Kabupaten Sukabumi diserang gerombolan bersenjata yang mengakibatkan berbagai bangunan seperti rumah asap untuk karet dan rumah untuk pegawai dibakar habis. Para penyerang diduga berasal dari kelompok Citarum kelompok bersenjata lain di luar Darul Islam yang beraksi di Jawa Barat. (Pikiran Rakjat 24 Oktober 1952).

Bantarkalong Tasikmalaya mengalami kerugian besar ketika gerombolan bersenjata menyerang pada 10 November 1952. Sebanyak 364 buah rumah, 8 buah mesjid, 5 buah ablai desa dan sebuah jembatan dibakar (Pikiran Rakjat, 14 November 1952). Pada pertengahan November di perbatasan Ciamis terjadi seragangan sebanyak 100 orang bersenjata terhadap sebuah asrama polisi. Serangan bisa dipukul mundur, namun gerombolan dapat membakar 14 rumah penduduk (Pikiran Rakjat, 27 November 1952).

Cukup menakjubkan di tengah-tengah masih rawannya persoalan keamanan, Kongres Wanita Indonesia berlangsung 22-24 November sukses dan tanpa insiden apa pun. Kongres ini diikuti oleh ratusan perempuan dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan Bandung disebut menjadi tuan rumah sebuah konferensi internasional ESCAFE pada tahun berikutnya. Pada November memang tidak banyak gangguan yang berarti di dalam kota. Satu-satunya peristiwa besar ialah demonstrasi massa pada 8 November di depan balaikota yang berkaitan dengan peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta. Namun demonstrasi itu tidak segegap gempita yang terjadi di Ibukota.

Di luar kota hingga akhir tahun gerombolan bersenjata masih menunjukkan tajinya. Pada 25 Desember dalam sebuah mesjid di Kampung Tegaljati dalam Wilayah Kabupaten Garut sejumlah warga baru saja menyelesaikan Shalat Mahgrib, ketika sekitar 200 orang bersenjata mengepung memasuki mesjid dan minta warga agar mengumpulkan uang sebanyak Rp 18.000 atau mereka akan diusir dari desa mereka . Di antara gerombolan itu terdapat anak-anak. Pada subuh 28 Desember 1952 pos polisi di Cisompet dan sebuah kantor onderneming di Gandasuli sekitar 92 Km dari Garut diserang. Seorang polisi gugur dan empat lainnya luka-luka (Pikiran Rakjat, 29 Desember 1952).

Irvan Sjafari

Sumber lain:

Korps Baret Merah di Usia ke 54 dalam http://www.mabesad.mil.id edisi ke 27 Juni 2006

Catatan:

*Berita-berita yang ada di Pikiran Rakjat sepanjang 1952 lebih banyak menyebutkan bahwa aksi kekerasan itu dilakukan gerombolan bersenjata. Tidak disebutkan secara spesifik apakah dilakukan Darul Islam atau kelompok lain.

Irvan Sjafari



Powered by Blogger.