Seandainya bukan di Jepang, korban tsunami 11 Maret 2011 bisa 200.000 jiwa.
Jejak-jejak tsunami yang menggulung Jepang masih saja terlihat. Meski peristiwa itu sudah setahun berlalu. Baru-baru ini, sebuah kapal pemancing ikan yang terseret gelombang gergasi 11 Maret 2011 lalu terlihat terapung-apung di pantai barat Kanada.
Seperti dimuat BBC, patroli pesawat udara yang terbang di atas laut British Columbia menjumpai kapal rusak tak berawak itu. Kapal tersebut diperkirakan memiliki panjang 50 meter, terombang-ambing ombak sekitar 275 kilometer dari Pulau Haida Gwaii, Jumat 23 Maret 2012.
Kapal itu adalah benda besar pertama yang ditemukan, di antara jutaan ton reruntuhan akibat tsunami yang menyeberangi Lautan Pasifik. Diduga kuat tak ada satu orang pun yang berada dalam kapal yang terdaftar di Hokkaido, Jepang.
Kementerian Transportasi terus memantau kapal ini sebagai polutan laut, dan mempelajari kemungkinan ia bisa menjadi penghalang lalu lintas transportasi laut.
Sementara, senator Amerika Serikat, Maria Cantwell mengatakan, kapal tersebut diharapkan mengarah ke selatan. "Pada lintasan dan kecepatan sekarang, kapal tak akan menepi, setidaknya dalam 50 hari."
Gempa 9,0 skala Richter dan tsunami yang menggulung Jepang menghasilkan 25 juta ton puing, demikian menurut para peneliti University of Hawaii. Antara empat hingga delapan juta ton tersapu ke lautan, dua juta ton di antaranya masih mengapung di atas air laut.
Puing-puing dalam jumlah besar diperkirakan tidak akan mencapai Amerika Utara sampai Maret 2014.
Seandainya bukan Jepang
Meski 20.000 orang tewas dan hilang dalam gempa dan tsunami, seandainya lokasi kejadiannya bukan di Jepang, untuk bencana sedahsyat itu, jumlah yang tewas bisa berkali lipat.
Gempa 9,0 SR yang melanda Jepang adalah gempa terbesar yang pernah mengguncang negara itu, sekaligus gempa nomor empat terkuat yang tercatat dalam sejarah. Lindu memang relatif sedikit makan korban jiwa, yang paling bahaya adalah tsunaminya.
Untungnya, saat itu 90 persen penduduk di perairan dievakuasi secara efektif. Demikian menurut Patrick Corcoran, ilmuwan dari Oregon State University. Dia mengatakan, gempa dan tsunami Jepang berpotensi menewaskan 200.000 orang. Jika itu terjadi di Barat Laut Pasifik, misalnya.
"Adalah sifat manusia, tak peduli dengan ancaman jangka panjang, seperti siklus bencana 300 tahunan," kata dia, seperti dimuat situs sains, Our Amazing Planet. "Perlu pergeseran budaya, dari sama sekali tak berpikir soal risiko gempa dan tsunami, menjadi bersiap menghadapinya."
Orang Jepang, Corcoran mengatakan, telah menyadari ancaman gempa dan tsunami selama ratusan tahun. Beda dengan penduduk wilayah barat laut Pasifik yang baru sadar dalam hitungan dekade.
Corcoran mengimbau, masyarakat di daerah rawan gempa mulai mengidentifikasi kawasan tinggi di dekat tempat tinggal mereka, lokasi kerja, juga tempat rekreasi.
Adalah tugas warga dan pemerintah memastikan wilayah itu mudah diakses. Dan, yang tak kalah penting, harus rajin melakukan simulasi bencana.
"Masyarakat kita cenderung meremehkan simulasi," kata dia. "Padahal simulasi bisa jadi penyelamat kehidupan, ini yang dipelajari dari Jepang." (umi)
(REUTERS/vivanews