“Masihkah semangat perebutan kemerdekaan bertahan di zaman ini?”
Apakah menjadi penting bagi generasi muda sekarang merebut kemerdekaan bangsanya kembali? Karena patut diakui, pemuda kita masa kini berbeda dengan pemuda-pemuda masa lalu, yang begitu jujur dan terbuka menyerahkan jiwanya untuk Indonesia. Lalu kalau dipandang hari ini, peringatan serangan umum 1 maret 1949 itu untuk siapa? Demikian kata sambutan Soekotjo, Ketua Panitia dalam acara Peringatan 63 tahun Serangan Umum 1 Maret 1949 di Plasa Monumen Kilometer Nol Yogyakarta, Rabu (29/2/2012) malam.
Setelah 63 tahun berlalu, kita memperingati tiap tahun perjuangan ratusan pejuang pertahanan kemerdekaan dari Daerah Perlawanan (DP) III Wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya. Selamat 63 tahun itu pula hingga saat ini, kita diminta untuk mengingat dan menghayati betapa pentingnya peristiwa ini. “Saya rasa tidak berlebihan jika Serangan Umum 1 Maret kita peringati secara nasional, tidak hanya di lingkup Yogyakarta,” tulis Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutannya yang diwakili oleh Wakil Gubernur Pakualam IX.
Lebih lanjut dalam sambutan tersebut, momen 6 jam serangan umum 1 Maret 1949 berhasil membuktikan kemampuan militer strategi kita, serta kerjasama warga dengan seluruh elemen yang memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia. “Bayangkan jika pada ujung hari bulan Februari malam itu, informasi rencana serangan fajar kita bocor ke pihak lawan?” Lanjut Sultan.
Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil menunjukkan kembali “siapa sebenarnya RI” kepada pihak lawan saat itu, yaitu Belanda. Dan kita sebagai bangsa yang berdaulat, bisa mempertahankan apa yang menjadi milik kita, dan merebutnya kembali jika diganggu gugat oleh pihak manapun. Kita semua mampu hingga saat ini semestinya tetap memperlakukan bangsa ini sebagai bangsa yang besar. Ini yang penting bagi generasi muda. Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah untuk segenap bangsa Indonesia saat itu, tetapi sepanjang masa adalah untuk generasi muda yang meneruskan perjuangan kemerdekaan.
Sebagai catatan, peristiwa Serangan Umum di Yogyakarta terjadi pada 1 Maret 1949 ketika satuan gabungan strategis yang dikomandoi Letkol Soeharto yang saat itu berada di bawah komando Panglima Besar Sudirman menyerang Yogyakarta, yang saat itu merupakan ibukota Republik, diduduki Belanda. Pasukan Soeharto merangsek dari sektor barat sampai perbatasan Malioboro, sedangkan sektor timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dipimpin Mayor Sardjono, dan sektor utara dipimpin Mayor Kusno. Dimulai saat fajar, serangan ini berhasil tepat pada tengah hari. Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu ikut menggagas serangan, kemudian menerima laporan beberapa petinggi distrik Belanda, bahwa Yogyakarta direbut kembali oleh TNI.
Latar belakang serangan ini tak lain adalah pembuktian yang dipelopori pejuang militer Indonesia yang ingin menunjukkan kepada dunia internasional saat itu bahwa Republik Indonesia masih tangguh, sehingga dunia melalui Dewan Keamanan PBB terus mengakui bahwa negara ini bisa bertahan. Dengan berhasilnya upaya itu, pihak Belanda mengalami guncangan moral yang cukup untuk membuat pasukan mereka menyerah atas Yogyakarta dan beberapa distrik penting di sekitarnya. Puluhan aktivis serta jurnalis internasional yang malam itu menginap di Hotel Merdeka Yogyakarta pun berhasil meneruskan berita serangan ini melalui pemancar AURI, yang menjadi harapan baru perjuangan nama Indonesia di dunia internasional masa itu. Koran-koran di Eropa hingga India memuat headline tentang serangan itu. Demikian dilaporkan Alexander Andries Maramis, salah satu aktivis yang juga mendengar berita itu melalui Burma. Setelah serangan, suasana kota Yogyakarta kembali tenteram, dan pasar-pasar kembali beroperasi.
Saat ini, Monumen Serangan Oemoem 1 Maret 1949 kokoh berdiri di sudut utara kawasan Kilometer Nol di ujung Malioboro Yogyakarta. Patung lima orang indonesia dari berbagai kalangan menjadi simbol abadi yang menegaskan kepada kita yang melihatnya sekarang bahwa pernah ada perjuangan hebat dari Bangsa Indonesia yang berhasil membuka mata internasional bahwa kita masih berdaulat. Dan dalam serangan selama 6 jam itu, kita maju sebagai sebuah kesatuan yang kuat. Sebagai pasukan militer, anggota PMI, petugas siaran radio, ataupun pedagang pasar. Dunia gentar mendengarnya. Perjuangan itu, untuk kita sekarang. Generasi muda Indonesia.
Meski gerimis, acara peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 kali ini berlangsung hikmat, dan turut menghadirkan beberapa saksi sejarah yang diminta ikut menceritakan kejadian malam hingga tengah hari itu. Puluhan orang berkumpul di plasa monumen. Meski demikian, lalu lintas di sekitar Jalan Malioboro tetap lancar. Acara ini direncanakan berlangsung hingga pukul 22.oo WIB.
untuk cerita lebih lanjut tentang Serangan Umum 1 Maret 1949, silakan baca di sini.
Fandy sido