2.1 1.Tap MPR
Dalam pembahasan mengenai ‘politik agama’ di Indonesia. Munculnya TAP MPRS No.XXVII / 1966, yang menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama yan secara resmi diakui oleh Negara dan pemerintahan Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik , Hindu dan Budha [1], terkait dengan stigma terhadap PKI yang dianggap ateis dan reaksi sejumlah kelompok islam ketika menyikapi perkembangan jema at Kristen yang besar pasca peristiwa 1965.
Dalam membicarakan penyikapan perpindahan massal ke Kristen ada beberapa factor-faktor penyebabnya (1) bahwa perpindahan secara massal banyak dipengaruhi oleh ketetapan MPRS No. XXVII Tahun 1966, bahwa setiap warga Indonesia diwajibkan untuk memilih satu dari lima agama yang telah diakui secara resmi oleh Negara. (2) terkaitnya jumlah kerja dan aktifitas lembaga gereja yang sangat berpengaruh, seperti pastor dalam penjelasan masalah injil serta program-program khusus, sekolah minggu dalam perpindahaan tersebut. (3) bahwa Kristen adalah yang paling tepat dalam ketenangan bagi penganut barunya apalagi setelah mendapatkan terror fisik dan mental dari agama lain. (4) adanya ketertarikan mengenai kegembiraan dan ajaran cinta kasih yang dianggap membantu melupakan depresi yang dialami (5) hubungan social dalam bermasyarkat terutama pergaulan dengan para elit, tokoh dan orang-orang yang mengalami persaksian dengan agama Kristen. (6) sebagai wadah orang-orang yang di tuduh sebagai PKI dan orang yang memang belum punya agama di kondisikan untuk memeluk agama Kristen. (7) adanya factor dorongan dari lingkup keluarga yang terpengaruh dan rasa solidaritas dalam keluarga kemudian memeluk agama Kristen. (8) intensitas dan pertemuan dalam sehari-hari dengan pihak gerejawi baik pimpinan maupun umatnya, apalagi kondisi yang mengalami penekanan terkucilkan dalam masyarakat telah memberi kesan positif Kristen di mata mereka. (9) terjadinya pandangan bagi sebagian pmimpin islam terhadap yang lain bersimpati pada PKI mengakibatkan mereka memilih mengeblok pada agama Kristen untuk perlindungan politik. (10) perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja termasuk pendidikan, bantuan medis, dan kebutuhan yang lainya mendorong untuk tertarik masuk agama Kristen. (11) terjadinya perpindahan ada juga dari mu’jijat dan kekuatan tuhan dalam hal pengusiran setan, penyembuhan. Kejadian itu menjadi ketertarikan masuk agama Kristen.
Pada massa pemerintahan Gus Dur, dalam tujuh bulan pertama masa penjabatannya telah terjadi empat perubahan penting. pertama pemerintah mengijinkan orang-orang yang di pengasingan karna alas an politik, untuk kembali ke Indonesia mendapatkan status sebagai warga Negara Indonesia apabila menginginkan. Kedua secara pribadi Gus Dur mengajukan permintaan maaf terhadap para eks-tapol dan korban pembantaian 1965-66. Ketiga, pemerintah membubarkan (Bakortanas), lembaga pengganti Kopkamtib yang membantu dinas Intelejen Negara.konsekwensinya penelitian kusus setiap rekrutmen terhadap calon pegawai negeri atau pejabat Negara dihentikan. Keempat, Gus Dur mengajurkan pencabutan Tap MPRS No.XXV Tahun 1966 yang menyatakan PKI sebagai partai terlarang dan sekaligus pelarangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.
Salah satu indikasi dari pernyataan itu terlihat ketika Abdurahman Wahid (Gus Dur) melontarkan gagasan untuk mencabut ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, terjadi kontroversi kemudian berahir setelah komite ad hoc Badan Pekerja MPR menolak usulan pencabutan Tap MPRS itu.
Reaksi keras atas usulan Abdurahman Wahid dan penolakan MPR untuk mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 sebagaimana dipaparkan di atas-yang juga menjadi penggalangan kekuatan politik untuk menjatuhkan Gus Dur dari jabatannya merupakan salah satu indikasi masih kuatnya pengaruh konstruksi sejarah resmi. Kondisi itu banyak dipengaruhi oleh warisan kebijakan politk rezim Orde Baru yang melakukan monopoli kebenaran melalui manipulasi sejarah.[2] Strategi politk pengendalian sejarah di massa Orde Baru, mencakup dua hal yakni mereduksi peran Soekarno dan membesar-besarkan peran Soeharto.[3]
1.2 Kurikulum pendidikan dan media
Pada masa orde baru (ORBA), mengpolitikkan ingatan atas peristiwa G 30 S, telah membawa masyarakat tercandu atas doktrin-doktrin pemerintah, guna menghegemoni rakyat indonesia. Menguasai politik ingat rakyat Indonesia menjadi penting, sebagai media pelegitiminasikn kekuasaan. Rakyat di tuntut untuk melakukan antisipasi terhadap bahaya laten komunis, yang dianggap ateis. Cara-cara radikal sering kali dilakukan pemerintah, seperti menculik, membunuh, mengatakan dia (rakyat) komunis, tanpa bukti yang jelas. Dan dibuang ke pulau buru selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Pendidikan menjadi senjata untuk menghilangkan hegemoni komunis di bumi Indonesia, sebagimana tertulis pada buku-buku pendidikan sejarah, yang menuliskan PKI adalah dalang utama meletusnya peristiwa G 30 S (tanpa bermaksud membela atau menyalahkan PKI) dari buku tersebut maka para pelajar-pelajar Indonesia (generasi muda) terdoktrin bahwa yang salah dalam peristiwa G 30 S hanya PKI saja. Sedangkan oknum-oknum yang terlibat di dalamnya cenderung dikaburkan. Tragedy berdarah ini merupakan lembar hitam sejarah modern Indonesia yang masih “misteri”.[4]
Selain itu, media komunikasi, seperti film yang saat itu di tayangkan oleh sebuah stasiun televise, juga digunakan sebagai metode untuk mengingatkan akan kejadian G 30 S yang begitu kejam. Sehingga masyarakat tersugesti dari film tersebut, tanpa mempertanyakan keabsahan film tersebut. Dari film tersebut, yang terjadi pada tahun 1965, jika tidak hati-hati, maka menimbulkan kesan bahwa tragedi ini “hanya”-lah terbunuhnya kedelapan tokoh, sebagimana diceritakan dalam film tersebut. Padahal tragedy yang terjadi pada tahun 1965 bukan hanya itu. Ada tragedy lain yang tidak kalah dasyatnya, yakni dibunuhnya ratusan ribu warga masyarakat Indonesia di berbagai wilayah beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan para petinggi militer tersebut (apapun justifikasinya).[5] Film ini ditayangkan setiap tanggal 30 bulan September, film ini wajib ditonton oleh masyarakat Indonesia untuk mengenang kejadian pertumpahan darah. Kebenaran (fakta) yang dibuat oleh pemerintah melalui film ini menjadi sah.
Pada massa pemerintahan Habibi, meskipun tidak keseluruhan mulai mengalami perubahan pandangan dari pemerintah terhadap wacana komunisme. Pertama pemerintah menghentikan penayangan film “penghianatan G30S/ PKI” yang rutin ditayangkan TVRI setiap tanggal 30 September. Kedua, pemerintah membebaskan sepuluh tapol 1965 yang masih tersisa. Ketiga, pemerintah tidak menolak pembentukan YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66). Keempat, pemerintah menghentikan penggunaan retorika “waspada terhadap ancaman/ bahaya laten komunis.”
Memasuki kepemerintahan Gus Dur telah membubarkan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakortanas) serta perubahan pada orang-orang yang hidup di pengasingan karna alasan politik, Bisa kembali sebagai warga Negara Indonesia apabila menginginkannya.[6]
Produksi ingatan akan apa yang terjadi pada 1956 itu sudah dimulai ketika pada dua pecan pertama bulan oktober hamper semua ooran di sensor, dan hanya Koran-koran tertentu yang boleh terbit, khususnya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang dikelola oleh angkatan darat. Melalui Koran-koran ini, dikisahkan mengenai macam-macam kekejaman PKI di lubang buaya, seperti kisah “pesta harum bunga”. Dalam Koran Koran angkatan bersenjata edisi 7 oktober 1965, misalnya, dikatakan para jendral tersebut “matanya dicongkel”. Padahal menurut dr Rubiono kertapati selaku ketua otopsi terhadap korban, mengatakan dalam laporannya bahwa tak ada menyiksaan atas tubuh para korban.[7] Banyak kejanggalam dalam peristiwa G 30 S, sebagai mana yang diceritakan oleh para eks-tapol yang dianggap ORBA berafiliasi dengan PKI.
Terlepas dari benar atau salah, media pada zaman ORBA sebagian besar terfilterisasi, jika media memberitakan tentang tentang kebobrokan pemerintah, maka media tersebut akan di bredel. Itu adalah contah nyata keberadaan pers pada zaman ORBA. Sedangkan saat ini, setelah hegemoni ORBA runtuh sejak tahun 1998, maka banyak media atau buku yang berusaha mengkaji serta meneliti tetang kebenaran G 30 S, sehingga banyak teori yang muncul sehubungan peristiwa tersebut.
1.3 Diskriminasi eks-tapol
Produksi ingatan akan peristiwa G 30 S selama masa ORBA tercermin dari pembubuhan kode “ET”(eks tapol) pada KTP milik orang-orang yang melawan kebijakan penguasa, misalnya, membuat orang-orang itu ketakutan dan berfikir dua kali kalau tak mau tunduk pada pemerintah. Penulisan ET pada KTP ini, digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol.[8] Kebijakan pemerintah yang seperti ini membuat masyarakat curiga terhadap sesamanya, curiga apakah dia eks-tapol komunis atau bukan. Slogan pemerintah “awas bahaya laten komunis” yang sampai saat ini terpampang dalam poster di dekat sarana atau prasarana public membuat masyarakat semakin takut.
Ada bebrapa contoh penderitaan para eks tapol, misalnya, kita dapat berjumpa dengan zubaidi hasan, seorang putra jambi yang bangga menjadi penerbang pesawat canggih dan mengabdi negeri yang dipimpin oleh bung karno yang amat dia hormati. Sayang, kecintaannya pada negeri dan pemimpinnya itu akhirnya justru mengantarnya ke penjara selama bertahun-tahun. Serta kisah ratih, mahasiwa kedokteran yang dituduh anggota pemuda rakyat hanya karena dibukunya tertulis huruf “PR” (pekerjaan rumah), untuk kemudian dipenjara. Ia pun harus berpisah dengan ayahnya yang juga dituduh anggota PKI.[9] Masih ada beberapa kisah seorang eks-tapol yang jika lihat begitu nelangsa hidupnya. Tidak bisa berbuat lebih, hanya bisa menjadi petani atau buruh.
Dalam fenomena perpindahan agama ke agama Kristen yang mana dalam masyarakat di kenal sebagai “pembabtisan masal” pasca peristiwa 1965. Yang sangat menarik, fenomena ini banyak terjadi dikalangan keluarga tahanan politik (tapol) serta masyarakat jawa yang kurang memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Dalam hal perpindahan agama ini sangatlah penting kita pelajari, karna salah merupakan salah satu penggalan cerita yang terjadi sesudah tragedy penangkapan dan pembunuhan massal pada kurun 1965-1967. Setelah itu mulailah kekecewaan terhadap kepercayaan tradisional mereka, atau orang yang dianggap atheis karena menjadi anggota simpatisan Partai Komunis Indonesia.[10]
Para eks-tapol dan keluarganya juga mengalami penekanan keras dari pemerintah, seperti stigma sebagai ‘musuh negara’ dan di angggap ‘atheis’ dengan terjadinya penekanan sikap gereja yang memperhatikan nasib mereka dan melakukan tindakan penentangan terhadap ketidakadilan social yang menimpa mereka. Pada kurun selanjutnya perpindahan itu menimbulkan ketegangan antara muslim dan Kristen, hancurnya PKI pasca peristiwa 1965 yang semula dianggap sebagai harapan baru bagi sebagian umat islam untuk meraih kejayaan politik, ketika melihat fenomena perpindahan agama itu justru menimbulkan sebuah kekecewaan. Jika dimata Gereja dalam kurun waktu 1965-1967 merupakan ‘masa panen’, dimana sebagaian kelompok Muslim, perlindungan dan perlayanan Gereja terhadap orang-orang yang dituduh atau terlibat Komunis serta keluarga para tapol diangap merupakan tindakan mengambil untung dalam situasi politik yang tengah berlangsung.
Tantangan lain yang muncul berkaitan dengan fenomena ini adalah social identitas. Situasinya hamper sama dengan kesulitan yang dialami para eks-tapol ketika berinteraksi dengan lingkungan social sesuai menjalani penahanan. Sebagai jemaat Kristen pemula yang berlatar belakang eks-tapol ini juga menemui kesulitan ketika bergaul dengan jemaat Gereja lainya. Sebagai jemaat baru mereka menerima diskriminasi dari orang Kristen lama, meskipun tidak serumit yang dialami oleh eks-tapol Muslim yang lebih keras tekananya dari sesama Muslim. Namun pergulatan eks-tapol Kristen agar dapat diterima secara wajar oleh jemaat lain merupakan sesuatu yang menarik untuk kita kaji. Kajian terhadap keluarga eks-tapol 1965 menjadi penting, terutama karena mereka merupakan pihak yang dikkorbankan dari kontestasi memori dan sejarah yang telah dikonstruksikan oleh pihak yang menjadi lawan politk PKI.[11]
[1] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm 382
[3] Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, (Yogyakarta:Syarikat, 2008) hlm 14
Priya Purnama
[4] Baskara T Wardaya SJ. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S (Yogyakarta: Galangpress, 2006) hlm. 163-165
[5] Ibid. hlm. 146
[7] Ibid. hlm. 175
[8] Ibid. hlm. 176-177
[10] Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang perpindahan missal keagamaan pasca 1965 di pedesaan jawa, (Yogyakarta:Syarekat,2008) hlm 1
[11] Ibid. hlm 14.
Priya Purnama