Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Hamparan batu yang tertata di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Situs Gunung Padang di ketinggian 894 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini merupakan peningalan peradaban Megalitik sekitar rentang waktu 2500 - 1500 SM dan merupakan situs megalitik terbesar se Asia Tenggara.
Tim Katastrofik Purba yang dibentuk oleh Staf Khusus Kepresidenan Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam membuat penemuan mengejutkan beberapa waktu lalu. Mereka menduga bahwa Gunung Padang, seperti halnya Gunung Sadahurip, memiliki bangunan piramida. Lewat pengeboran sedalam 20 meter, tim menemukan 3 rongga beserta lapisan material pasir.
Pengeboran yang dilakukan menunjukkan bahwa bangunan sudah ada sejak 4700 SM. Hal ini berarti bahwa bangunan tersebut lebih tua dari Piramida Giza.
Temuan tersebut ditanggapi beragam. Geolog dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) menilai bahwa Gunung Padang bukan piramida tetapi merupakan gunung api purba.
Menurutnya, Gunung Padang terdiri dari sumbat lava yang kemudian rubuh karena aktivitas tektonik atau longsor. Batuan yang rubuh lalu dimanfaatkan untuk membangun punden berundak.
Astronom Ma'rufin Sudibyo mengatakan bahwa umumnya bangunan piramida tak cuma dibangun untuk pemujaan, tetapi juga sebagai alat penentu penanggalan dan perkiraan musim sehingga membantu aktivitas masyarakat.
Di pihak lain, Agung Bimo Sutejo yang tergabung dalam Yayasan Turangga Seta mengungkapkan kemungkinan adanya bangunan piramida di Indonesia besar.
"Aneh kalau dikatakan tidak ada piramida di negara ini. Yang terbuka saja ada. Candi Sukuh dan Candi Cetho itu jelas piramida," kata Agung.
Sebagai buktinya, Agung menyatakan bahwa candi-candi di Indonesia memiliki figur orang Mesir, Aztec dan Sumeria. Jika figurnya ada, maka bangunannya pun seharusnya ada.
Dalam "Rembug Arkeologi Situs Gunung Padang" yang digelar di Pusat Arkeologi Nasional, Kamis (29/3/2012), arkeolog, geolog dan astronom sepakat bahwa gunung Padang harus diteliti secara menyeluruh.
"Gunung Padang ini harus ditindalanjuti. Penelitiannya harus disatuatapi, melibatkan berbagai kalangan. Kelmahan pemerintahan kita adalah ego sektoral, di dunia akademik juga sama," jelas Daud Aris Tanudirdjo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada.
Menurut Daud, badan arkeologi nasional harus mengakomodasi kepentingan para geolog, arkeolog dan bidang lain yang terkait penelitian Gunung Padang.
Daud mengatakan, Untuk menyimpulkan adanya piramida, harus dilakukan lewat penelitian arkeologis. Pengeboran tidak cukup. Haru dibuka, digali."
Risiko dari penelitian tersebut adalah menggali tanpa menemukan apapun. Pengalaman penelitian peradaban Maya di Lembah Mirador, Guatemala, memberikan pelajaran bahwa apa yang tercitrakan lewat analisis geologi belum tentu merupakan fakta.
"Dengan data yang sama, interpretasinya bisa berbeda-beda," katanya.
Dalam upaya penelitian, Daud menuturkan pentingnya mengedepankan prinsip akademis. Hasil harus akurat tanpa mengumbar hasil yang belum pasti kepada masyarakat. Hal-hal yang belum pasti hendaknya menjadi perdebatan di kalangan akademis.
kcm