Dalam berkomunikasi dengan bahasa, kata-kata tidak pernah punya arti baku maupun kaku. Manusia dan komunitas manusia selalu berbahasa dengan memanfaatkan permainan-permainan bahasa. Karena itu sudah ribuan tahun mereka saling berdebat, bertengkar bahkan berperang tentang kata-kata dalam sengketa teori-teori politik, tanpa menyadari bahwa di sana ada permainan kata yang berperan dan patut diperhatikan. Para penguasa biasanya memanfaatkan permainan ini dengan menafsir kata-kata menurut seleranya sendiri, hingga perbincangan paling pokok demi mengangkat taraf hidup rakyat banyak, dibuat kabur dan simpang-siur. Akibatnya elite-elite penguasa itu, dari jaman ke jaman, masih saja berkuasa dengan cara-cara sesuka mereka sendiri.
Pernyataan ini saya kutip secara bebas dari pandangan seorang filosof Wina, Ludwig Wittgenstein, terutama tentang masalah sprachspiel yang apabila diindonesiakan kira-kira menjadi: utak-atik bahasa. Sebagai manusia Indonesia yang hidup dalam permainan wayang serta ajang tarik-menarik pasca fasisme Soeharto, mestinya cukup peka memahami pemikiran-pemikiran Ludwig di atas. Soeharto dalam sepanjang kekuasaannya hampir tak pernah alpa dengan permainan bahasa ini, yang membuatnya dapat berkuasa dengan menyengsarakan rakyat-banyak selama masa puluhan tahun.
Dengan memaknai dan menafsir kata-kata seenaknya dan sesukanya sendiri, Soeharto cukup berhasil mengelabui dan membohongi rakyat Indonesia, hingga selama puluhan tahun itu ia telah menjadi idola yang dipuja-puja sebagai bapak pembangunan suatu istilah yang diciptakannya sendiri yang kemudian memutarbalikkan fakta-fakta sesungguhnya mengenai jutaan rakyat yang dikorbankan (secara kias maupun harfiah) akibat pembangunan yang dibanggakannya itu.
Tentu saja seorang pemimpin fasis tidak akan dapat bertahan dalam hitungan bulan ataupun tahun, jika saja tidak lihai dan licik dalam memanfaatkan permainan-permainan bahasa yang gencar disusupkan ke dalam benak rakyatnya.
Perkataan konstitusional yang sering digembar-gemborkan Soeharto bersama kroni-kroninya telah dimanipulasi bahkan dipraktekkan sebagai kebalikannya. Segala trik-trik dan strategi yang dilancarkan untuk kepentingan menggulingkan Presiden Soekarno, tidak lain merupakan kudeta merangkak yang telah mendirikan bulu-roma kita.
Kesamaan pengertian konstitusional ini sangatlah identik dengan Herodes atau Ponsius Pilatus bersama pengikut-pengikutnya, juga erat kaitannya dengan peristiwa arbitrase dalam penggulingan Ali bin Abi Thalib oleh seorang ahli strategi bernama Muawiyah.
Mengenai penggulingan Ali itu, Bung Karno sendiri pernah mengutip pernyataan Cokroaminoto dalam Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926:
Setelah Muawiyah mengutamakan azas kekuasaan kebendaan dalam aturan khalifah sesudah para khalifah menjadi raja maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. Muawiyah telah bertanggungjawab atas merosotnya tabiat Islam yang nyata-nyata bersifat sosialistis yang baik.
Konspirasi Muawiyah bersama kroni-kroninya dalam memanfaatkan peristiwa pembunuhan Khalifah Usman, tiada lain guna dijadikan alat pemancing bagi kebencian rakyat awam. Saat itu, dengan memerintahkan seorang kaki-tangannya, segeralah dipertontonkan pakaian Usman yang berlumuran darah di depan mesjid Damaskus. Selama beberapa waktu ia berpura-pura sedih atas kematian Usman, sebagai ungkapan simpati dan duka-cita terhadapnya. Padahal ketika berlangsungnya peristiwa tragis itu, Usman sempat meminta bantuan kepada Muawiyah selaku Gubernur Damaskus namun kemudian ia sama sekali tidak menghiraukan atasannya.
Strategi Muawiyah dalam melancarkan kudeta merangkak itu kelak dijadikan alat propaganda untuk menuduh Ali, bahkan menyebarkannya sebagai pelaku atas pembunuhan Usman itu. Seketika itu dikerahkanlah tentara-tentara Muawiyah untuk menggempur kedudukan Ali, meski kemudian dapat dipatahkan oleh pengikut-pengikut Ali di sekitar wilayah Siffin.
Seorang kaki-tangan Muawiyah selanjutnya mengusulkan perjanjian damai, sambil mengangkat dan memamerkan Al-Quran sebagai tameng bagi kepatuhan pada agama. Saat itu orang-orang saleh di pihak Ali telah terkibuli dan terkecoh oleh siasat licik itu, hingga salah seorang berujar disertai ketakutan: Ya Ali, kami tidak sanggup memerangi Al-Quran.
Orang-orang saleh itu terus-menerus mendesak Ali agar ia menuruti perjanjian damai itu, hingga tercapailah suatu kesepakatan untuk menggelar arbitrase. Dalam arbitrase itu kemudian dilancarkan tipu muslihat dan siasat licik dengan memanipulasi teks-teks agama sebagai alat legitimasi bagi tampilnya kekuasaan baru. Seketika itu dipamerkan simbol-simbol agama untuk menyudutkan posisi Ali sambil meneriakkan yel-yel:
Tiada hukum selain hukum Allah tiada hukum selain hukum Allah !
Terus-menerus yel-yel itu diteriakkan, meskipun bagi Ali hukum Allah itu bukanlah sesuatu yang mandek dan statis belaka. Ia adalah hukum yang sesuai dengan semangat jaman dan tempat di mana dan kapan manusia dapat hidup. Sedangkan orang-orang yang mengaburkan imannya dengan kejahatan, bukanlah termasuk dari apa-apa yang disebut hukum Allah.
Kamilah pendukung-pendukung Usman kamilah pendukung-pendukung Usman.!
Ali semakin paham apa-apa yang sebenarnya terkandung di balik siasat licik itu. Muawiyah bersama kroni-kroninya cukup lihai dalam merangkul rakyat awam, dengan memancing ketakutan dan menebar teror dan pembodohan. Mereka cukup mahir dalam mempermainkan kata-kata kebenaran untuk tujuan yang tidak benar, demikian penjelasan Ali kepada para pengikutnya, seandainya saya punya niat-niat jahat, saya bisa lebih mahir daripada Muawiyah.
Terlepas dari persoalan, siapakah yang kemudian berdiri di balik pembunuhan Ali pada tahun 661 Masehi, namun yang sudah jelas menjadi kepastian bahwa Muawiyah benar-benar telah mengambil keuntungan dengan mengabaikan peristiwa tragis itu, malahan menampilkan dirinya selaku pahlawan dan pemimpin tunggal khalifah Orde Baru, sebagai pengganti khalifah-khalifah terdahulu. Hal ini pun pernah ia lakukan saat kematian Usman, yang kemudian dengan bangga mengulanginya saat peristiwa tragis yang menimpa diri Ali.
Sebelum wafatnya, dengan ramah dan santun Ali berpesan kepada para pengikutnya: Jangan terlampau marah dan dendam tak usah membunuh mereka sesudah saya mati biarkan saja mereka hidup toh tidak sama hidup orang yang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, daripada orang yang mencari-cari kesalahan, walaupun telah berhasil diperolehnya.
Itulah klimaks dari pendidikan religiositas kepada suatu bangsa, seperti yang diajarkan Bung Karno kepada rakyat Indonesia juga, bahwa ada suatu Kekuasaan Absolut yang mengatur segalanya, apakah kita perlu mengadakan perlawanan secara tergesa-gesa oleh adanya ketidakadilan yang menimpa diri kita. Karena segala hal dalam hidup ini perlu pembelajaran dan penelitian yang seksama untuk dapat menemukan kebenaran dengan sebaik-baiknya. Dari sini pun mengandung logika dan kebenaran sejarah: seandainya Bung Karno segera mengadakan perlawanan kepada pihak-pihak yang akan menggulingkan dirinya sebelum tuntasnya penyelidikan tentang G30S lantas siapa yang bisa memastikan bahwa Bung Karno akan sebesar dan semulia seperti sekarang ini. Siapa yang bisa memastikan bahwa ajaran-ajarannya akan terselamatkan, dan pemikiran-pemikirannya semakin diakui sebagai kebenaran oleh rakyat Indonesia dan seluruh dunia berbudaya dan berperadaban.
Dan dari peristiwa dan perjalanan hidup Ali bin Abi Thalib, maka meluncurlah konsep politik sejati yang kita kenal sekarang: Bahwa kebenaran yang tidak terrumuskan dan tidak terorganisir dengan baik dan rapi, pada akhirnya akan terkalahkan oleh kejahatan yang mampu mengorganisir dirinya dengan baik.
Konsep politik itu harus menjadi pelajaran penting, khususnya bagi angkatan muda Indonesia, agar hendaknya kita tahu dan paham apa yang harus kita benahi dalam perjuangan kita, untuk mencapai kebangkitan dan pencerahan Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Referensi :
Buku 100 Tahun Bung Karno
Tubagus Asmara Budi