Beranda » Jawaban untuk Kristen (3): Puasa Ramadhan Menjiplak Ritual Berhala?

Jawaban untuk Kristen (3): Puasa Ramadhan Menjiplak Ritual Berhala?




Para misionaris iri hati terhadap semangat umat Islam dalam menjalankan ibadah shaum (puasa) Ramadhan. Selama sebulan penuh, semarak keagamaan umat Islam meningkat drastis, mulai dari ibadah shalat jamaah, shalat tarawih di malam hari, sedekah, dan berbagai kegiatan di masjid yang memperkuat akidah dan persaudaraan Islam.

Untuk melampiaskan kedengkiannya terhadap keagungan puasa Ramadhan, dua orang misionaris, Curt Fletemier Yusuf dan Tanti menuduh puasa Ramadhan yang dilakukan umat Islam sebagai ritual yang menjiplak ritual penyembah berhala. Tuduhan itu dituangkan dalam buku Christianity and Islam: The Son and The Moon, berikut kutipannya:



“Puasa pada Bulan Ramadhan. Bulan puasa kaum Sabean dimulai pada saat bulan sabit dan tidak akan berakhir sampai bulan lenyap, lalu kembali bulan sabit muncul (sama seperti Ramadhan bagi Islam pada masa ini). Muhammad hanya meneruskan praktik keagamaan yang dipakai oleh para penyembah berhala, Abd. Allah bin Abbas melaporkan bahwa Muhammad, menyatakan: "Jangan mulai berpuasa sampai kamu telah melihat bulan sabit dan jangan berhenti berpuasa sampai kamu melihatnya kembali, dan jika itu berawan, sempurnakanlah menjadi 30 hari.”


Memang pada masa Muhammad, orang Yahudi juga memiliki kebiasaan berpuasa sesuai dengan penanggalan Yahudi, dan penanggalan Yahudi yang dipakai juga berdasarkan hitungan bulan. Orang Yahudi juga memiliki perayaan Bulan Baru, tetapi dalam Imamat 23 dijelaskan bahwa perayaan Bulan Baru itu tidak dimulai dari TUHAN. Sampai saat ini orang Kristen juga tetap melakukan puasa. Beberapa di antaranya bahkan melakukan secara rutin. Tetapi sebagian besar orang Kristen (termasuk penulis) berpuasa ketika ada sesuatu yang sedang didoakan sungguh-sungguh. Itu adalah cara untuk memusatkan pikiran kita pada Tuhan.


Bagi kita, puasa bukanlah suatu kewajiban keagamaan. Satu-satunya "kewajiban keagamaan" yang kita miliki adalah untuk percaya pada Kristus yang membawa kita ke surga, seraya menyadari bahwa sebenarnya kita tidak layak untuk menerima kasih-Nya, dan mengkuti-Nya dengan segala ucapan syukur untuk apa yang telah Dia kerjakan bagi kita” (edisi Indonesia: Sang Putera dan Sang Bulan, penerbit Sonrise Enterprise, hlm 148-149).



Tudingan itu tidak ilmiah dan sangat tidak cerdas. Hanya karena umat Islam memakai penanggalan qamariah (berdasarkan peredaran bulan), maka umat Islam dituding mengamalkan peribadatan kaum penyembah berhala. Lantas bagaimana dengan orang yang memakai penanggalan syamsiyah (bersasarkan peredaran matahari), apakah mereka juga dituding sebagai kaum penyembah dewa matahari?



Jika ibadah puasa yang dilakukan umat Islam memiliki persamaan dengan puasa kaum terdahulu, bukan karena latah mengikuti tradisi kaum penyembah berhala. Melainkan karena ibadah puasa yang diwajibkan kepada umat Islam itu, sudah pernah diwajibkan kepada kaum dan para nabi sebelumnya. Allah SWT menegaskan, shaum adalah amal ibadah tertua yang sudah disyariatkan umat terdahulu, jauh sebelum diwajibkan kepada umat Muhammad SAW: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Qs. Al-Baqarah 183).


Firman Allah “kama kutiba ‘alal-ladzina min qablikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) pada ayat ini menunjukkan bahwa ibadah puasa telah dilakukan oleh orang-orang beriman sebelum Nabi Muhammad SAW. Hal ini terbukti dalam sejarah para nabi, jauh sebelumnya Nabi Adam telah diperintahkan untuk berpuasa tidak memakan buah khuldi (Qs. Al-Baqarah 35). Maryam bunda Nabi Isa pun berpuasa dengan tidak bicara kepada siapapun (Qs. Maryam 26). Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Nabi Daud berpuasa selang-seling (sehari berpuasa dan sehari berikutnya berbuka). Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Berbagai kaifiyat (tatacara) puasa para nabi tersebut berbeda-beda sesuai dengan zaman yang berlaku, namun esensinya sama, untuk mencapai derajat taqwa (la’allakum tattaquun).



Alkitab (Bibel) pun mencatat syariat puasa para nabi terdahulu. Puasa pada masa Samuel sebagai amal pertaubatan kepada Tuhan (I Samuel 7:6) dan berkabung (I Samuel 31:13; II Samuel 1:12). Nabi Daud berpuasa sampai badannya kurus kehabisan lemak (Mazmur 109:24); Nehemia berpuasa ketika berkabung (Nehemia 1:4), Daniel juga berpuasa (Daniel 9:3), Yoel berpuasa bersama penduduk negerinya (Yoel 1:14), Yunus berpuasa (Yunus 3:5), Zakharia diperintah Tuhan untuk berpuasa (Zakharia 7:5), warga Yerusalem berpuasa pada bulan kesembilan (Yeremia 36:9), Hana, seorang nabi perempuan tidak pernah meninggalkan ibadah puasa dalam rangka bertaqarrub kepada Tuhan (Lukas 2:36-37), dll.


Nabi Musa dan Yesus sama-sama berpuasa jasmani dan rohani, tidak makan dan tidak minum selama 40 hari. Musa berpuasa selama 40 hari 40 malam pada saat menerima Sepuluh Firman/dasatitah/The Ten Commandments (Keluaran 34:28). Sementara Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun (Matius 4:2). Yesus juga mewajibkan para muridnya untuk berdoa dan berpuasa untuk mengusir setan yang merasuki manusia (Matius 17:21). Orang Farisi pada masa Yesus berpuasa Senin-Kamis setiap pekan (Lukas 18:12).


Jelaslah bahwa ibadah puasa dalam Islam sama sekali tidak menjiplak ritual kaum penyembah berhala. Otomatis, salah alamat jika Curt Fletemier dan Yusuf Lifire menuding ibadah Islam melestarikan ritual kaum penyembah berhala.


Justru agama Kristenlah yang sering mengadopsi ritual kaum pagan (kafir) penyembah berhala. Contohnya adalah perayaan Natal memperingati kelahiran Yesus tiap tanggal 25 Desember. Perayaan ini tidak ada perintahnya sama sekali dalam Bibel.


Kenyataan bahwa Natal kristiani mengadopsi tradisi pagan, diakui secara jujur oleh mendiang Herbert W Armstrong, seorang Pastur Worldwide Church of God yang berkedudukan di Amerika Serikat. Dalam The Plain Truth about Christmas, Armstrong membuktikan secara ilmiah bahwa Natal diwarisi Gereja dari kepercayaan pagan (kafir) Politeisme, berdasarkan literatur Kristen sendiri, antara lain penjelasan dari Katolik Roma dalam Catholic Encyclopedia edisi 1911, dengan judul "Christmas" sebagai berikut:



"Christmas was not among the earliest festivals of Church … the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to christmas." (Natal bukanlah di antara upacara-upacara awal Gereja … bukti awal menunjukkan bahwa pesta tersebut berasal dari Mesir. Perayaan ini diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari ini, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus).


Dalam judul "Natal Day," dijelaskan lebih lanjut: "In the Scriptures, no one is recorded to have kept a feast or held a great banquet on his birthday. It is only sinners (like Paraoh and Herod) who make great rejoicings over the day in which they were born into this world."


Maksudnya: di dalam kitab suci, tidak seorang pun yang mengadakan upacara atau menyelenggarakan perayaan untuk merayakan hari kelahiran Yesus. Hanyalah orang-orang kafir saja (seperti Firaun dan Herodes) yang berpesta pora merayakan hari kelahirannya ke dunia ini).


Ternyata, agama penjiplak ritual pagan itu bukan Islam, tapi agama yang dianut misionaris Curt Fletemier Yusuf dan Tanti.

[A. Ahmad Hizbullah MAG]VOA





Powered by Blogger.