TRAGEDI MINGGU PALMA, KISAH PERTEMPURAN YON TERATAI BRIMOB MELAWAN PASUKAN FRETILIN EX TROPAZ (Versi Revisi)
Hasil wawancara dengan Kombes Pol (Purn) Ibnu Hadjar Adhikara, mantan Danyon Teratai Brimob Ops Seroja 1976, tanggal 26 Maret 2012.
Dr (Cand) Anton A Setyawan, SE,MSi
Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta
Jl A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura
e-mail: rmb_anton@yahoo.com dan anton4setyawan@gmail.com
Penerbitan buku Resimen Pelopor Pasukan Elite Yang Terlupakan memicu banyak reaksi dari berbagai kalangan militer maupun Polri. Banyak diantaranya yang memberikan dukungan dan meminta untuk dilanjutkan penulisan secara lebih detail, namun demikian banyak juga saran untuk melakukan revisi karena ada beberapa bab yang dianggap kurang pas. Salah satu bab yang paling kontroversial adalah bab 10 yang membahas keterlibatan Brimob dalam Operasi Seroja di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Versi pertama yang muncul dalam blog ini adalah hasil wawancara dengan para anggota Yon Teratai, tentu saja karena mereka tidak memegang jabatan komando tidak memahami garis kebijakan komando dari Brimob pada waktu itu.
Dalam versi revisi ini saya menulis berdasarkan wawancara langsung dengan Komandan Batalyon Teratai Kombes Pol (Purn) Ibnu Hadjar Adikara yang memahami bagaimana proses pembentukan pasukan, pemberikan perintah, perlengkapan dan penugasan batalyon ini. Beliau juga membeberkan secara detail tentang situasi pertempuran yang sesungguhnya dan pilihan apa yang harus beliau ambil dalam situasi sulit saat itu.
Kami tim penulis sebelumnya mohon maaf kepada Kombes Pol (Purn) Ibnu Hadjar Adikara karena dalam edisi sebelumnya tidak menyertakan versi beliau. Dalam tulisan ini yang juga akan menjadi bahan dari Buku Resimen Pelopor Pasukan Elite Yang Terlupakan cetakan kedua, kami menyampaikan versi revisi dari kejadian Tragedi Minggu Palma 11 April 1976. Tulisan ini akan menjelaskan secara detail tentang bagaimana proses pembentukan pasukan, penugasan, perlengkapan dan operasi yang dijalankan Batalyon Teratai selama Operasi Seroja di Timor Timur tahun 1976.
PEMBENTUKAN PASUKAN
Pembentukan pasukan Batalyon Teratai sejak awal memang bermasalah karena keputusan pembentukan pasukan ini hanya berdasarkan perintah lisan. Personel yang diambil dari pasukan ini adalah anggota Polri yang pernah bertugas sebagai anggota Resimen Pelopor. Secara resmi Resimen Pelopor sudah dibubarkan pada tahun 1972. AKBP Ibnu Hadjar Adikara hanya diberi waktu selama 3 hari untuk membentuk Batalyon Teratai. Pasukan ini kemudin merekrut anggota hanya berdasarkan data yang minimal dan ingatan para bekas anggota Menpor dan selanjutnya mengirimkan radiogram ke kesatuan yang baru.
Pada hari ke 3 terbentuklah sebuah batalyon yang terdiri dari berbagai bekas Menpor yang bisa dikumpulkan dalam waktu 3 hari itu dan rekrutmen baru dari Brimob. Menurut Kombes Pol (Purn) Ibnu Hadjar Adhikara pasukan itu adalah pasukan yang pembentukannya asal comot. Namun demikian beliau tidak begitu khawatir karena penugasan pasukan ini hanya untuk penugasan territorial dan penugasan polisi di daerah konflik.
Profil AKBP Ibnu Hadjar Adhikara sendiri sebagai komandan Batalyon Teratai sudah memenuhi syarat sebagai komandan sebuah batalyon tempur karena beliau lulusan PTIK tahun 1961, sekolah Infanteri lanjut di Fort Lavenworth dan Pendidikan Pelopor tahun 1961. Pengalaman operasi tempur beliau adalah memimpin kompi Brimob dalam operasi penumpasan DI/TII di Jawa Barat dan Sumatera, serta operasi penumpasan PRRI di Sumatera akhir tahun 1961.
Komandan kompi dalam Batalyon Teratai merupakan kombinasi dari perwira bekas Resimen Pelopor tahun 1960-an dan rekrutmen Akademi Kepolisian tahun 1970-an. Kombinasi ini untuk menutup kekurangan perwira berpengalaman di jajaran batalyon Teratai ini.
PERLENGKAPAN DAN PERSENJATAAN PASUKAN
Pada masa kejayaannya tahun 1959-1968, Resimen Pelopor mempunyai perlengkapan yang hebat untuk menunjang penugasannya sebagai sebuah pasukan khusus. Namun demikan, Yon Teratai yang dianggap penerus Resimen Pelopor hanya mendapatkan perlengkapan seadanya. Persenjataan mereka adalah senapan serbu AR 15, namun demikian setiap anggota hanya dibekali amunisi sebanyak 70-100 butir. Banyak diantara para anggota ini juga tidak dibekali dengan perlengkapan logistik standar. Sebagai contoh mereka tidak membawa ransel maupun ponco, tetapi hanya membawa koper dari seng. Perlengkapan lain seperti granat peluncur maupun granat tangan juga tidak disediakan. Hal lain yang menyedihkan adalah pasukan ini hanya dibekali dengan peta tanpa ada kompas sebagai penunjuk arah. Radio komunikasi antara markas batalyon dan kompi di lapangan atau dengan peleton juga tidak disediakan. Padahal lazimnya pada pasukan tempur, pada level peleton tersedia radio komunikasi PPRC. Bahkan khusus pasukan Menpor dalam setiap tim tersedia radio PPRC untuk melakukan komunikasi.
Senapan serbu AR 15 ini mempunyai kelemahan ketika digunakan pada medan kering dan panas, yaitu macet. Selain itu jenis senapan otomatis ini memerlukan ketrampilan menembak pada level ahli (level 2) karena akurasi bidikan dan mengatur irama tembakan diperlukan pada saat kontak senjata dengan intensitas tinggi.
Sebagian besar anggota Yon Teratai yang berasal dari Brimob rekrutan baru belum memahami senapan AR 15 ini, mereka juga belum mendapatkan pelatihan menembak seperti anggota Resimen Pelopor. Mereka hanya mendapatkan latihan menembak pada saat pendidikan Brimob.
PERUBAHAN PENUGASAN
Penugasan Yon Teratai adalah sebagai pasukan polisi di daerah konflik dan bukan sebagai pasukan tempur, hal ini berdasarkan perintah dari Mabes Polri terhadap pasukan ini. Kombes Pol (Purn) Ibnu Hadjar Adhikara berpendapat jika penugasan sebagai pasukan polisi di daerah konflik dan bukan pasukan tempur, maka perlengkapan dan kualifikasi seperti itu sudah memadai.
Perubahan perintah terjadi karena ada perintah lisan pada waktu pasukan sudah dalam perjalanan menuju Timor Timur. Pasukan diberi perubahan tugas untuk menjadi batalyon penyekat bagi pasukan Kogasgab yang sedang bertempur di Bobonaro. Pasukan ini terdiri dari Yon Linud dari Brawijaya dan sebagian dari Densus Alap-alap Brimob. AKBP Ibnu Hadjar Adhikara segera melaksanakan perintah dengan pembagian tugas mendadak di dalam kapal. Batalyon Teratai dengan jumlah 300 personel ini diminta untuk menutup wilayah kurang lebih seluas 2400 kilo meter persegi, padahal dalam teori, sebuah batalyon tempur dengan jumlah 600 personel hanya mampu menutup wilayah seluas 200 kilo meter persegi. Kita bisa membayangkan tingkat kesulitan yang dihadapi batalyon ini di Timor Timur ini, tetapi Danyon tidak mempunyai pilihan lain kecuali melaksanakan perintah.
SITUASI PERTEMPURAN
Tanggal 11 April 1976, pasukan Fretilin melakukan gerak mundur dari wilayah Bobonaro karena tekanan pasukan TNI dan Polri yang tergabung dalam Kogasgab. Sebagian besar pasukan Fretilin ini adalah pasukan Tropaz yang berpengalaman tempur di Mozambique, Afrika pada saat konflik antara Portugal dengan negara jajahannya di Afrika tersebut. Pasukan Tropaz ini sangat mengenal medan tempur di Timor Timur. Mereka adalah orang asli Timor Timur yang direkrut menjadi tentara Portugal.
Pagi hari tanggal 11 April 1976, pasukan Kompi A Yon Teratai sudah berhadapan dengan pasukan Tropaz Fretilin, namun demikian pasukan Fretilin ini dengan licik menggunakan penyamaran berupa tameng manusia. Kompi A masih mampu menghadapi pasukan Fretilin, namun demikian karena kesulitan membedakan rakyat dengan musuh, mereka terjebak dalam kontak senjata dengan intensitas tinggi. Satu hal yang diluar dugaan adalah jumlah pasukan Fretilin ternyata lebih dari 1 batalyon dengan persenjataan lengkap.
Kompi A kemudian terpaksa mengundurkan diri karena kehabisan amunisi. Pada sekat kedua Kompi B juga mengalami hal yang sama, hal ini diperburuk dengan ketiadaan radio komunikasi sehingga komandan kompi tidak mampu menghubungi markas batalyon dan kompi lainnnya sehingga koordinasi dalam pertempuran tidak bisa dilakukan. Kompi C sebagai sekat terakhir juga harus mengundurkan diri karena kehabisan amunisi. Selain itu, anggota pasukan juga banyak mengalami senjata mereka macet ketika ditembakkan.
Anton Agus Setyawan