Setelah Ki Ageng Mataram ( Ki Ageng Pemanahan ) meninggal dunia, Sultan Hadiwijaya ( Pajang ) memberi kekuasaan kepada Sutawijaya untuk menjadi pemimpin di Mataram. Sebagai pemimpin yang masih muda, Sutawijaya dengan gelar Senapati Ing Ngalaga, didampingi oleh Ki Juru Martani, yang juga merupakan penasehat Ki Ageng Mataram. Dengan mandat yang didapat, Sutawijaya mulai membangun Mataram dengan mendirikan benteng di pusat kota. Pembangunan benteng ini sebenarnya kurang disetujui oleh Ki Juru Martani, karena dianggap sebagai salah satu bentuk pembangkangan Mataram atas kekuasaan Pajang. Apalagi Sutawijaya selama setahun tidak pernah ke Mataram lagi seperti yang pernah diminta Sultan Hadiwijaya.
Pembangkangan Sutawijaya, berdasarkan pendapat Sunan Giri saat Ki Ageng Pemanahan masih hidup bahwa Mataram akan menjadi kerajaan yang besar. Sebagai, pengganti Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya merasa mendapat dukungan untuk menjadi raja Mataram. Apalagi setelah Senapati juga mendapat dukungan dari Nyi Roro Kidul, yang telah menemani ‘bersemedi’ di kerajaannya di laut selatan, Parangtritis. Bahkan, setelah keluar dari kerajaan Nyi Roro Kidul pun, Senapati mendapat dukungan spiritual dari Sunan Kalijaga.
Perilaku Senapati ini, tentu saja membuat galau Sultan Hadiwijaya, yang tak menyangka bahwa salah satu anak angkatnya akan melakukan hal ini. Dengan dukungan dari para bupati Tuban, Demak, dan Banten yang setia pada Pajang, Sultan Hadiwijaya merencanakan penyerangan terhadap Mataram. Sultan Hadiwijaya naik gajah dengan diiringi ribuan pasukannya.
Senapati yang baru saja memukul wadyabala Pajang di Jatijajar, kini bersiap-siap menghadapi pembalasan Pajang di Prambanan. Ki Juru Martani sebagai pangasuh Senapati, tentu saja berharap bahwa peperangan ini tak akan terjadi.
Sultan Hadiwijaya sendiri sebenarnya galau. Beliau tak ingin menyerang Mataram, yang dipimpin oleh anaknya sendiri. Di sisi lain, juga tak ingin Mataram melepaskan diri dari Pajang. Di sisi lain pula, berdirinya Mataram mendapat dukungan dari Sunan Giri.
Saat Sultan Hadiwijaya dalam kegalauan hati yang tak terkira, Merapi menyemburkan awan dan debu panas. Lahar dan bebatuan pijar menghantam Kali Opak dan daerah yang dilewatinya. Beliau tertegun dan terdiam. Dalam hati bertanya: “ Inikah pertanda akan runtuhnya Pajang? “
Sesaat setelah letusan reda,Adipati Tuban meminta kepada Sultan Hadiwijaya agar menyerang Mataram “ Sinuwun, sarehne prahara njeblugipun Redi Merapi lan jawah awuh sampun sirep, mbenjing enjing kula badhe nggecak wadyabala Mataram.” ( Yang Mulia, karena prahara meletusnya Gunung Merapi dan hujan abu sudah reda, besok pagi saya akan memukul pasukan Mataram )
Di luar dugaan, Sultan Hadiwijaya berkata : “ Wruhanana, prahara njebluge Redi Merapi, lindhu, lan udan awu kuwi pratandha yen Pajang ora pareng mangsah jurit Mataram.” ( Ketahuilah, kejadian meletusnya Gunung Merapi, gempa bumi dan hujan abu itu pertanda kalau Pajang tidak boleh perang melawan Mataram )
Keesokan paginya, Sultan Hadiwijaya pulang ke Pajang dengan perasaan semakin galau. Di tengah kegalauannya dalam perjalanan Beliau jatuh dari gajah tunggangannya. Kejadian membuat Sultan Hadiwijaya semakin tertekan. Keesokan harinya Beliau wafat. Saat Merapi masih melontarkan abu dan lahar panas.Disadur dari koleksi perpustakaan pribadi Babon Serat Babad Tanah Jawi – Penerbit dan tahun tidak diketahui.
© den mas ukik