Awal abad 19, ketika komoditas teh tengah memperoleh permintaan tinggi di pasar Eropa, pemerintah kolonial Belanda pun tergiur memanfaatkan peluang bisnis itu. Hutan di daerah Bogor dan Cianjur (wilayah yang sekarang kita sebut: Puncak) lalu diputuskan untuk dikonversikan menjadi perkebunan teh, yang masih eksis sampai hari ini. Orang Belanda kemudian berpikir tentang dampak perubahan hutan tersebut terhadap lingkungan di Batavia (Jakarta). Mereka sudah mengantisipasi, jika hutan di kawasan Bogor-Cianjur dikonversi menjadi perkebunan, wilayah Batavia akan rawan banjir, karena serapan air di hulunya berkurang. Solusinya, mereka kemudian membangun Banjir Kanal Barat di Batavia. Bahkan, katanya, mereka sebetulnya sudah merencanakan membangun Banjir Kanal Timur. “Sayangnya”, Indonesia keburu merdeka, proyek itu tak jadi dibangun. Dan proyek itu, baru bisa direalisasikan oleh kita di tahun 2000-an, sesudah 50 tahun lebih merdeka. Jadi, Belanda sang penjajah, ternyata masih bisa berpikir logis dan punya hati nurani untuk memikirkan dampak pembangunan di suatu kawasan bagi masyarakat luas.
Ini cerita teman saya. Ia punya keluarga di Belanda, yang bapaknya adalah mantan KNIL (tentara Belanda dulu). Agar tetap bisa menerima tunjangan hari tuanya, keluarganya itu diharuskan pemerintah Belanda untuk memperoleh bukti diri bahwa bapaknya dulu memang anggota KNIL dan masih ada makamnya di Indonesia. Ia lalu datang ke Bandung, karena di kota inilah mendiang bapaknya dimakamkan, tepatnya di pekuburan Kerkop di Jalan Pasteur Bandung (Kerkop sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yang berarti makam). Setelah saudara teman saya itu menyampaikan maksud kedatanganya, juru kunci makam lalu mengantarkannya ke tempat penyimpanan arsip. Setelah dibuka, ternyata benar nama dari bapaknya masih ada dalam arsip itu. Perincian keterangannya meliputi banyak hal. Bahkan di dalam arsip itu, tertulis juga berapa cm panjang luka bacok yang diderita para mayit sebelum meninggalnya, dan pada kejadian apa peristiwa itu terjadi. Bicara soal arsip di bidang lain, pembangunan gorong-gorong di zaman Belanda pun masih ada arsipnya. Gambarnya begitu detail, sehingga mereka bisa tahu bila ada saluran yang macet, dan bagaimana harus mengatasinya. Padahal, semuanya masih harus digambar dengan tangan; belum ada komputer. Kesimpulannya, orang Belanda memang apik membuat dan menyimpan arsip sehingga bermanfaat hingga masa lebih dari ratusan tahun.
Lain lagi cerita ini. Kisah yang berasal dari seorang dosen ITB yang saat itu sedang mengambil gelar doktor di Universitas Delft. Ia sepakat dengan seorang profesor untuk menjalani ujian lisan. Setelah tiga bulan menyiapkan diri, ia pun duduk menghadap sang mahaguru fisika. Pertanyaan pertamanya, “Anda tadi kemari melewati gedung yang ada penunjuk arah anginnya?”
“Ya!” jawab dosen ITB itu. “Ke arah mana menunjuknya?” tanya profesornya. “Saya tidak memperhatikannya, Profesor,” jawab sang dosen. “Kalau begitu, kembali tiga bulan lagi!”
Dosen ITB itu tentu saja plonga-plongo dibegitukan oleh profesornya. Ia lalu bertanya pada dosen pembimbingnya, kenapa ia disuruh pulang lagi hanya gara-gara tak tahu arah angin. Ia mendapat jawaban, “Anda adalah calon doktor di bidang teknik fisika. Mulai dari sekarang, Anda harus memperhatikan dengan saksama semua gejala alam yang berhubungan dengan fisika!”
Handono Mardiyanto