Beranda » Imuem Sabi, ”Aku Bukan Siapa-siapa”

Imuem Sabi, ”Aku Bukan Siapa-siapa”



Kluet merupakan suatu wilayah yang ada di kabupaten Aceh Selatan. Pada masa kolonial Belanda daerah ini dinamakan Avdaling Keujreun Van Kluet yang ibu kotanya Kandang. Avdaling Keujreun Van Kluet terdiri dari tiga kecamatan yaitu Bakongan, Kluet Selatan, dan Kluet Utara. Pada masa pemerintahan Keujerun Van Kluet, Kecamatan Bakongan di kepalai seorang Ulee balang. Kluet Utara dan Kluet Selatan di kepalai seorang Ulee Balang dan di bantu oleh 11 orang Ulee Balang Cut (Syafei As dkk 1988). Selanjutnya setelah kemerdekaan Kluet hanya terdiri dua kecamatan yaitu kecamatan Kluet Selatan dan kecamatan kluet Utara. Kemudian pada masa otonomi daerah dimekarkan menjadi lima kecamatan. Kecamatan Kluet timur merupakan pemekaran dari kecamatan Kluet Selatan, sedangkan Kluet Utara dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Pasie Raja dan Kecamatan Kluet Tengah. Mayoritas penduduknya mengunakan bahasa Kluet, Jamee, dan bahasa Aceh. Pada masa kolonialisme Belanda daerah ini merupakan basis gerlyawan karena tempat yang strategis. Adanya pengunungan yang terbentang dari Menggamat sampai ke Bakongan merupakan kelebihan bagi pejuang untuk melakukan gerlya. Jajaran pengununggan ini pada saat sekarang merupakan masuk kedalam Kawasan Ekosistem Laueser (KEL).
Di Aceh Selatan kita mengenal banyak tokoh-tokoh pejuang seperti Teuku Cut Ali, T Raja Angkasah, Panglimo Rajo Lelo, Imuem Sabi dan para pejuang lainya. Mereka merupakan satu kesatuan yang punya tekad untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Perang di tanah Kluet ini merupakan suatu klimaks kekesalan rakyat terhadap kekejaman penjajah. Para pejuang tidak tega melihat rakyat terus dipaksa untuk kerja rodi (kerja paksa) oleh Belanda dalam waktu berbulan-bulan. Kerja paksa ini mendapat tantangan dari kaum pejuang. Untuk memberantas para pejuang ini Belanda membuat markasnya dari Tapaktuan sampai Bakongan yang tujuanya untuk membatasi gerak langkah para pejuang dalam melakukan perlawanan. Belanda Membuat tangsi di Kandang (kluet selatan) dan membuat bivak di menggamat Kluet Tengah.
Kali ini penulis ingin membahas bagaimana keberanian seorang Imuem Sabi dan pasukanya berperang melawan Belanda di daerah Menggamat (sekarang ibu kota kecamatan Kluet Tengah). Dari buku Kluet Dalam Bayang-Bayang Sejarah, diceritakan bahwa bivak di Menggamat itu dipimpin oleh seorang Belanda berpangkat Letnan, bernama F Harting dan seorang berpangkat kopral namanya Lumantouw. Selebihnya adalah marsose yang salah satunya bernama Wewengkar. Dalam tulisan T Zilmahram seorang pemerhati sejarah Aceh menyebutkan bahwa penyerangan ke bivak Belanda oleh Imuem Sabi ini merupakan atas perintah Tueku Cut Ali tepatnya Pada tanggal 2 Mei 1927. Pada peristiwa penyerang tegah malam buta, Imuem Sabi dibantu oleh para anak buahnya yang sangat militan sebanyak 44 orang. Diaturlah strategi yang matang dan dilakukan pada tengah malam agar gerak gerik mereka tidak terpantau. Yaitu kira-kira jam setengah empat pagi pasukan Imum Sabi sudah mengepung bivak Belanda. Imuem Sabi memberikan instruksi kepada 7 orang anggotanya untuk menyusup lebih dulu ke dalam bivak Belanda.
Menurut beberapa sumber yang penulis baca pada kejadian penyerangan terhadap bivak Belanda di menggamat ini. Merupakan salah satu penyerangan yang terbilang nekat dikarenakan pihak musuh memiliki persenjataan yang modern. Pada malam itu komandan brigade letnan F. Harting terbangun karena dikejutkan oleh letusan karaben (sebangsa senapan bedil). Letnan F Harting luput dari tebasan pedang/kelewang dari salah seorang anggota pasukan Imuem Sabi. Dwifortuna masih menghampiri Letnan Harting. Ia berhasil diselamatkan oleh kopral Lumantouw dan marsose Wewengkang. Dari peperangan ini sebanyak 9 serdadu luka parah, sedangkan dari pihak Imuem Sabi 7 orang gugur sebagai syuhada. Imuem Sabi sendiri dan dua orang pengikutnya menderita luka tembak. Akan tetapi Imuem Sabi dan pengikutnya masih berhasil menyelamatkan diri. Dalam penyerangan itu Imum Sabi mendapatkan tembakan peluru di dada di atas jantung yang tembus kebelakang punggung. Tetapi dengan kekuasaan Allah SWT, Imuem Sabi masih bisa bertahan. Dalam tulisanya T Zilmahram “ Seputar Perang Bakongan” disebutkan bahwa luka Imuem Sabi ini di obati dengan bubur lumpur (pengobatan tradisional orang Kluet). Lobang peluru dibagian dadanya sudah sembuh, tetapi pada bagian belakang (punggung) belum sembuh. Ia lalu mengayam sebuah keranjang rotan kecil yang cocok untuk luka dipunggungnya, yang digantungnya dengan tali-tali rotan tipis. Dengan keadaan luka yang demikian Imuem Sabi tidak pernah mau menyerah dia tetap melanjutkan perjuangan bersama Teuku Cut Ali dan Teuku Nago untuk mengenyahkan Belanda dari tanah Aceh. Dan pada akhirnya beliau kemudian syahid di pedalaman hutan Alu Bebeurang (daerah pengunaungan sekitar Lawe Sawah sekarang termasuk kecamatan Kluet timur) dan termasuk kawasan penyangga Ekosistem Leuser. Disinilah syuhada ini menemui ajalnya. Tepatnya pada tgl 25 mei 1927, mereka disergap oleh pasukan belanda dibawah pimpinan Kapten Gosenson.
Itulah sekilas cerita seajarah heroik yang terjadi di Menggamat Kluet Tengah. Banyak pelajaran bisa kita petik dan bisa dijadikan sebagai hikmah sejarah dari kejadian itu. Meskipun dalam keadaan luka berat Imuem Sabi tidaklah menyerah, dikarenakan adanya keyakinan dalam dirinya berjuang melawan Belanda merupakan suatu ibadah. Salah satu syair penyemangat dalam bahasa Kluet berbunyi “ walope ngeluh mengkap-ngkap bo ibadat ulang lupo kano” artinya walaupun hidup dalam kesengsaraan atau tekanan jangan lupa untuk selalu beribadah. Jiwa kepahlawanan beliau merupakan roh yang semestinya terpatri dalam diri kita saat ini. Generasi muda harus menyisakan waktunya sejenak untuk merenung dan merenungi kembali apa-apa yang telah dikorbankan pada para pejuang kita. Kemerdekaan tidak diperoleh dengan cuma-cuma. Jalan panjang nan berliku dan berbagai tanjakan telah didaki para pejuang yang tujuan adalah satu, yaitu kemerdekaan. Mereka tidak mengenal kata pasrah apalagi berputus asa. Mereka tidak butuh hidup bermewah, pangkat atau tanda gelar apalagi imbal jasa. Bagi mereka cukuplah perjuangan sebagai ibadah dan berharap syurga dari yang Maha Kuasa. Keikhlasan inilah yang harus kita teladani. Marilah kita bangun negeri dengan semangat penuh keikhlasan. Perjalanan kedepan masih panjang dan menantang. Peringatan hari pahlawan yang tepat pada 10 November merupakan turning point bagi kita untuk menghidupkan kembali semangat dan cita-cita pejuang. Negara dan bangsa masih butuh pemuda yang punya semangat yang tidak kenal lelah. Sekali lagi marilah kita tempa jiwa kita dengan semangat itu. Kita harus menjadi generasi yang merdeka. Merdaka dalam segala hal, dari kebodohan, kemiskinan, penindasan. Sikapilah sejarah ini dengan bijak agar kita bisa bertindak secara bijak dan arief ke depanya. Seperti apa yang dikatakan Confutse “ sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana”. Semoga.
Bai Arbai



Powered by Blogger.