Beranda » Minahasa: Dulu & Sekarang - ‘Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya’

Minahasa: Dulu & Sekarang - ‘Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya’



Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan keraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil.

Hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika”, dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan. 

Kali ini marilah sejenak kita melihat salah satu budaya dari daerah Minahasa yang merupakan salah satu budaya yang mencerminkan pedoman Bhinneka Tunggal Ika.



I Yayat U Santi : "Angkatlah Dan Acung-Acungkanlah Pedang (Mu) Itu"

Segala sesuatu terjadi karena adanya alasan. Setiap sebab pasti ada akibat dan setiap akibat pasti ada sebab, entah kita mengetahuinya atau tidak, pasti ada sebab-sebab khusus. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Hal inilah yang mungkin menjadi faktor-faktor pendorong orang-orang untuk pergi dari tempat asal atau kelahirannya menuju tempat lain. Diantaranya faktor tradisi atau budaya dari suatu kelompok etnis, juga ada faktor ekonomi, pendidikan dan faktor peperangan. Menurut legenda suku Minahasa merupakan suku petualang pemberani yang berlayar dari Mongolia ke Indonesia untuk mencari 'tempat tinggal' yang baru, di mana mereka bisa mengembangkan budaya mereka yang begitu unik.

Dalam buku berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions di tahun 1952 milik Alfred L. Kroeber, dkk dijelaskan bahwa:

. . . the cultural, that which we inherit by social contact. . . . (Tozzer, 1925: 6) dan,

. . . “culture” is not a state or condition only, but a process; as in agriculture or horticulture we mean not the condition of the land but the whole round of the farmer’s year, and all that he does in it; “culture,” then, is what remains of men’s past, working on their present, to shape their future (Myres, 1927: 16)

Kedua kutipan diatas menggambarkan bahwa budaya itu diwariskan oleh dan melalui kontak sosial atau dengan kata lain interaksi antar kelompok masyarakat. Budaya juga merupakan kesatuan proses kegiatan yang memang secara langsung atau pun tidak langsung bertahan sebagai sebuah warisan kepada generasi selanjutnya karena dilakukan berulang-ulang kali. Hal ini sama terjadi pada persoalan Budaya lama Minahasa yang telah berangsur-angsur menghilang seiring perkembangan waktu akan tetapi masih sering dirayakan dalam peringatan/ acara-acara tertentu (adat daerah) oleh generasi masa kini.

Budaya Peninggalan Zaman Dulu

Batu Pinabetengan. Pada masa lalu manusia menggunakan bebatuan selain sebagai tempat untuk menulis sesuatu, di batu juga menjadi suatu penanda atau simbol pembagian wilayah pada jaman dulu. Hal ini terbukti dengan ditemukannya artefak Batu Pinabetengan di daerah Tompaso, Minahasa Tengah.
Batu ini terdapat di daerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari jalan raya Tompaso, dan terletak di lereng gunung Tonderukan, dekat gunung Soputan. Menurut para ahli arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman pra sejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”. Batu-batu seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk orang-orang mendengar bunyi burung. 
Salah satu batu yang letaknya lebih ke puncak dari batu pinabetengan dinamakan “kekeretan”, penduduk percaya bahwa itulah tempat duduk Opo Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang dahsyat, dan biasanya turun ke gunung soputan sesudah itu baru ke gunung Tonderukan. Bila dia hadir maka manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain yang dikatakan tempat duduk Opo Kopero. Opo Muntu Untu adalah utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). 
Kasuruan akan menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan sebagai burung yang bijaksana. Bunyi yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo khusus yaitu Opo Mamarimbing. Oleh sebab itu Manguni disebut juga se kokok se Mamarimbing atau burungnya Opo Mamarimbing yang dalam religi pribumi adalah juru bicara Kasuruan. 
Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa tengah-lah yang dahulu kala menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. 
Dari sini, kita melihat bahwa cerita “Lumimuut dan Toar” memiliki keterkaitan yang erat hubungnnya dengan cerita Batu Pinabetengan atau Batu pembagian wilayah untuk para sub-etnik. Setiap suku atau sub-sub yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik harus mengakui ikrar yang dilakukan di batu Pinabetengan yaitu mereka adalah satu keturunan, dari Lumiuut dan Toar, akibatnya versi mitos Lumimuut dan Toar menjadi banyak, mencapai lebih dri 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya tanah, air dan batu. Dari seluruh cerita Batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa, Batu Pinabetengan adalah pusat dari religi pribumi. Kemudian batu itu menjadi simbol dari keseimbangan dari para sub-etnik yag datang. 
Percampuran etnik untuk “Orang Minahasa” bukanlah sesuatu yang baru. Menerima etnik lain adalah suatu yang lumrah. 
Batu Pinabetengan itu diketahui pertama kali sebagai tempat pemujaan dari religi pribumi “Orang Minahasa” oleh J.G. Schwarz, penginjilan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG ) yang bertugas di daerah Langouwan dan sekitarnya di tahun 1832.

Budaya mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Syukurlah hingga saat ini budaya Mapalus masih terus dipegang oleh masyarakat Minahasa di era sekarang ini dalam acara-acara tertentu.
Mapalus juga dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa.

Perayaan tulude. Perayaan tulude atau kunci taong (kunci tahun) dilaksanakan pada setiap akhir bulan januari dan diisi dengan upacara adat yang bersifat keagamaan dimana ungkapan puji dan syukur terhadap sang pencipta oleh karena berkat dan rahmat yang telah diterima pada tahun yang telah berlalu sambil memohon berkat serta pengampunan dosa sebagai bekal hidup pada tahun yang baru.

Festival figura. Figura merupakan seni dan budaya yang diadopsi dari kesenian yunani klasik. Seni ini lebih dekat dengan seni pantomim atau seni menirukan laku atau watak dari seseorang tokoh yang dikenal atau diciptakan. Oleh pemerintah kota Manado festival figura diselenggarakan dalam rangka pesta kunci taong layaknya perayaan tulude yang dilaksanakan oleh masyarakat sangihe.
Figura merupakan kesenian yang dapat menghadirkan dramaturgi pendek terhadap sosok atau perilaku tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam mengisi tradisi baik buruknya sosok dan watak seorang manusia. 

Pengucapan syukur. Biasanya pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati. Acara pengucapan syukur ini dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat suku Minahasa pada hari Minggu umumnya antara bulan Juni hingga Agustus. Saat pengucapan syukur hampir setiap keluarga menyediakan makanan untuk para tamu yang akan datang berkunjung apa terlebih makanan khas seperti nasi jaha dan dodol.
Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan.

Realita Zaman Sekarang

Bersyukur karena perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan budaya yang ada di Minahasa ini tidak terlalu mengalami perubahan jauh (dari segi Sosial & Bermasyarakat) dengan peninggalan budaya-budaya zaman dulu. Akan tetapi dalam konteks Minahasa dilihat dari realita zaman sekarang ini, fenomena  budaya lokal bukan hanya di Minahasa sendiri tapi bisa dibilang budaya asli sukubangsa daerah-daerah di Indonesia nampak agak sedikit tenggelam karakter dan perilaku masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Sebut saja Sikap individualisme yang kontras dengan semangat mapalus dan tumou-tou.
Budaya ‘instant’, cari gampang, yang kontras dengan nilai-nilai kerja keras dan sikap sebagai bangsa pejuang.
Korupsi yang kontras dengan karakter anti papancuri yang mengakar dalam tradisi di hampir semua wanua (desa) tempo dulu.
Sikap 'Main Aman', tidak kritis, yang sangat beda dengan karkater para pendahulu bangsa Minahasa yang sangat kritis dan cerdas, yang menjadi keunggulan orang Minahasa sejak dahulu.
Dalam kondisi seperti ini maka usaha yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan gerakan-gerakan kultural / gerakan kebudayaan. Merumuskan sebuah gerakan kebudayaan harus memperhatikan kondisi obyektif lingkungan kebudayaan, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan eksternal. Minahasa harus mampu merumuskan strategi kebudayaan yang tepat untuk menghadapi imperialisme budaya zaman ini, kalau tidak mau terlindas roda sejarah !


Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2178511-imperialisme-kebudayaan-di-negeri-merdeka/#ixzz2CwhKsjCw
Dan masih banyak lagi segelintir perilaku budaya asing yang ditiru oleh generasi muda masa kini. Dalam kondisi seperti ini maka usaha yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan gerakan-gerakan kultural atau gerakan kebudayaan.

Perubahan Kebudayaan Masa Depan

Maka dari itu sejak dini harus dimulai pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup menghadapi tantangan budaya zaman baru yang akan datang. Pengembangan pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh. Sosialisasi budaya lokal dengan lebih baik lagi. Pembangunan generasi baru ini menjadi kunci keberhasilan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Layaknya semboyan Minahasa:

 Si Tou Timou Tumou Tou: Manusia hidup untuk menghidupi/mendidik/menjadi berkat orang lain.
Tantangan-tantangan yang akan dihadapi masa depan yaitu, mampu menyesuaikan diri dan memanfaatkan peluang globalisasi, mampu menyaring dan memanfaatkan arus informasi, mampu bekerja efisien.

Tuntutan manusia dimasa depan, yaitu ketanggapan terhadap berbagai masalah, kreativitas didalam menemukan alternatif pemecahan, dan efisiensi dan etos kerja yang tinggi.

Upaya mengantisipasi masa depan, yaitu aspek yang paling berperan dalam individu untuk memberi arah antisipasi, pengembangan budaya dan sarana kehidupan, dan tentang pendidikan.
Indonesia termasuk ke dalam bangsa timur yang dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik.

Dan suku Minahasa termasuk didalamnya yang budaya bangsanya yang ramah, bersahabat, sopan santun , toleransi, gotong-royong, saling menghargai dan saling menghormati antar sesama menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Terbukti dengan Minahasa dapat tetap bersatu dalam semua suku bangsa yang berbeda.
Seperti semboyan pada Bhinekka Tunggal Ika “Berbeda-beda tapi tetap satu” sama persis dengan motto pegangan masyarakat Minahasa Sulawesi Utara: "Torang Samua Basudara".

Semoga bermanfaat 
Xnews H




Powered by Blogger.