Beranda » Pola kepemimpinan Prabu Siliwangi

Pola kepemimpinan Prabu Siliwangi



Di tengah krisis kepemimpinan di Nusantara saat ini, teringat akan sosok seorang raja Sunda yang kharismanya sampai menembus ranah sejarah,mitologi, sampai dengan ontologi. Begitu dikaguminya beliau sampai-sampai ada sebagian kalangan yang menantikan kehadiran kembali beliau. Namanya bahkan diabadikan dalam nama jalan,universitas,kodam (komando daerah militer),stadion. Siapa beliau? Beliau adalah Prabu Siliwangi (Siliwangi sebenarnya bukan nama seseorang, tapi gelar raja Sunda, sebagaimama Brawijaya di Majapahit).
Pada tahun 1987 Drs Saleh Danasasmita dkk. menerbitkan buku alih bahasa dari Sang Hyang Siksa Kanda’ng Karesian (selanjutnya disingkat SSKK), sebuah naskah kuno yang sedikit menyingkap sejarah masa lalu tanah Pasundan. Ditulis dengan aksara Sunda kuna pada 7 lembar daun lontar yang bertitimangsa 1518 M sedangkan penulisnya tidak diketahui. Naskah aslinya dapat ditemui di Museum Nasional no. Kropak 630.
Dalam SSKK tertulis sebuah paradigma kepemimpinan yang disebut ‘Parigeuing’. Menurut naskah tersebut, kepemimpinan akan berkaitan dengan tugas dan fungsi pemimpin,kemampuan management dan karakter pemimpin. Di dalamnya disebutkan bahwa tugas pemimpin adalah “ngertakeun bumi lamda” yang artinya mensejahterakan semesta dunia kehidupan.
Pemimpin berdasarkan fungsi kedudukannya adalah ‘Tri Tangtu di buana’ yang berarti tiga ketentuan/yang menentukan di dunia, dikenal juga dengan pola SITUMANG (yang dilambangkan dengan anjing) sebuah akronim dari Resi-Ratu-Rama-Hyang, sebuah pola yang menjadi cikal bakal sistem kerajaan/keratuan/keraton di dunia dimana berlaku Trias Politica.
Resi : legislatif, perwakilan daerah,para cendekiawan, tempatnya disebut karesian/kedatukan/kedaton
Rama : yudikatif, mengatur hukum dan keamanan,tempatnya disebut keramat
Ratu : eksekutif, pemimpin pemerintahan tempatnya disebut keratuan/keraton
(Sistem pemerintahan Nusantara pada jaman dahulu mirip seperti sistem persemakmuran Inggris saat ini, dimana ada kerajaan induk membawahi kerajaan-kerajaan yang otonom. Kerajaan induk berpindah sesuai masa dan kecakapan pemimpinnya)
Dalam SSKK disebutkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengatur dengan menjalankan azas Dasa Pasanta, artinya sepuluh panenang yang berarti cara memberi perintah yang baik agar orang yang diberi perintah bisa menjalankan tugasnya dengan optimal, yang diantaranya:
1. Guna, yaitu suatu perintah harus jelas manfaat dan kegunaannya
2. Ramah, memberi perintah harus dengan santun
3. Hook, perintah harus disertai dengan penghargaan terhadap yang diperintah
4. Pesok, perintah harus bisa menimbulkan kebanggaan dan kepercayaan diri bagi yang diperintahnya, sehingga muncul motivasi dalam menjalankannya
5. Asih, setiap memberi perintah harus dilakukan penuh kasih sayang
6. Karunia, perintah harus terasa sebagai wujud kasih sayang atau kepercayaan dari pemimpin kepada yang diperintah
7. Mukpruk, pemimpin harus mampu menentramkan hati para bawahannya, sehingga merasa nyaman dan memiliki semangat kerja yang tinggi
8. Ngulas, pemimpin selalu melakukan evaluasi setiap hasil pekerjaan dan memberikan koreksi dengan santun terhadap hasil pekerjaan yang kurang memuaskan
9. Nyecep, pemimpin harus memberi perhatian baik berupa moral maupun material
10. Ngala angen, pemimpin mampu memberikan pengaruh yang baik
Konsep Dasa pasanta berjalan berdasarkan kualitas hubungan antar manusia, dimana pemimpin bersifat melayani bukan ingin dilayani.
Seorang pemimpin untuk mampu menjalankan Dasa Pasanta harus memiliki karakter kepemimpinan yang disebut ‘Pangimbuhning Twah’, ada 12 unsur di dalamnya, yaitu:
1. Emet : hemat
2. Imeut : teliti/cermat
3. Rajeun : rajin
4. Leukeun : tekun
5. Paka pradana : beretika
6. Morogol-rogol : beretos kerja
7. Purusa ning sa : berjiwa pahlawan
8. Widagda : bijaksana
9. Gapitan : berprinsip,berintegritas
10. Karawaleya : dermawan
11. Cingceung : gesit,cekatan
12. Langsitan : multitalenta
Semoga bermanfaat dan bisa diterapkan



Powered by Blogger.