Beranda » Perdebatan Seru antara 2 jawara Ilmuwan kita Soal Atlantis Nusantara di Group (FB) Geotrack&Indonesia

Perdebatan Seru antara 2 jawara Ilmuwan kita Soal Atlantis Nusantara di Group (FB) Geotrack&Indonesia



BAGAIMANA KONDISI IKLIM PURBA DIKETAHUI: ISOTOP OKSIGEN-16/18 – ARGUMENTASI ATAS ATAS SUNDALAND ATLANTIS
Analisis Timaeus dan Critias Plato boleh-boleh saja, tetapi saya akan mengkonsentrasikan kepada argumen2 geologi, sebelum menganalisis Timaeus dan Critias. Sebab argumen Timaeus dan Critias juga harus muncul di hard data bernama geologi dan paleoklimatologi, bukan di baris-baris kalimat Timaeus dan Critias.
Santos (2003) dalam bukunya “Atlantis” menyebutkan letusan besar rangkaian gunungapi dari India-Toba-Krakatau-Semeru/Mahameru serentak pada 11.600 tahun yang lalu telah menyebabkan banjir Sundaland yang membuat penduduk Sundaland meninggalkan Surga Atlantisnya. Bahwa di India ada gunungapi pada 11.600 tahun yl, bahwa Toba-Krakatau-Semeru meletus bersamaan 11.600 tahun yl, semuanya tak ada hard datanya, tak ada buktinya. Dan bahwa letusan gunungapi menyebabkan deglasiasi kalau kita mau tafsirkan penggenangan Sundaland, bukan oleh tsunami, adalah berlawanan dengan nalar. Justru letusan gunungapi menyebabkan volcanic winter, glasiasi, membeku, bukan mencair.

ebelum bergerak lebih jauh, mari kita memberi pengetahuan dulu kepada khalayak ramai bagaimana sesungguhnya iklim purba itu direkonstruksi. Dan saya juga memberikan bukti kuat dari rekaman fisik bagaimana Toba pada 74.000 tahun yl telah menyebabkan pendinginan dan pembekuan Bumi. Sementara ini, tak ada satu pun data isotop geologi yang menyebutkan Toba meletus pada 11.600 tahun yl.
Sampel es dari pengeboran di kutub menceritakan banyak hal tentang kondisi atmosfer masa kini maupun masa lalu. Sampel ini dapat digunakan untuk mengetahui komposisi kimia atmosfer pada masa lalu (khususnya kandungan gas-gas rumah kaca termasuk gas-gas asal volkanik seperti SO2 dan H2SO4) juga temperatur iklim purba. Di Greenland untuk lebih dari 100.000 tahun salju telah turun secara teratur sepanjang tahun, membeku tak melebur lagi. Ini menghasilkan tumpukan lapisan demi lapisan es yang tak terputus yang bisa dipelajari, sehingga lapisan es di Kutub Utara menyimpan sejarah paleoklimat Bumi, iklim purba Bumi. Ada suatu projek para ilmuwan bernama “North Greenland Ice Core Project” yang mengambil sampel es dengan cara mengebor dan mendapatkan lebih dari 3 km panjang es beku yang meliputi umur selama 123.000 tahun terakhir (North Greenland Ice Core Project Members, 2004).
Salah satu cara terpenting untuk mengetahui fluktuasi iklim purba adalah dengan “Oxygen Isotope” yaitu mengukur dan membandingkan kelimpahan relatif antara Oksigen-16 dan isotopnya, Oksigen-18 di gelembung udara yang terperangkap di salju/es. Dari studi ini, periode tertentu hangat dan dingin yang disebut “Oxygen Isotope Stages” (OIS) telah diketahui, inilah masa hangat dan dingin yang telah dialami Bumi selama 130.000 tahun terakhir:
OIS 1 : 12.000 tyl-sekarang (hangat)
OIS 2 : 45.000 – 12.000 tyl (dingin)
OIS 3 : 63.000 – 45.000 tyl (hangat)
OIS 4 : 73.000 – 63.000 tyl (dingin)
OIS 5 : 130. 000 – 74.000 tyl (hangat)
OIS 6 :190.000 – 130.000 tyl (dingin)
Perhatikan bahwa awal masa dingin OIS 4 ada kemungkinan dipicu oleh erupsi mega-kolosal Toba.
Letusan Toba 74.000 tyl menyebabkan implikasi global (Chesner dkk., 1991). Data dari sampel es Vostok di Antarktika menunjukkan kejadian penurunan temperatur global sekitar 4 C di antara 80-75.000 tyl (Lorius dkk., 1988). Bersamaan dengan ini, siklus glasial (zaman es) yang disebut Glasiasi Wisconsin pun mengalami percepatan di Amerika Utara (Goldthwait, 1988).
Bahwa letusan besar gunungapi akan menyebabkan penurunan temperatur sudah diketahui para ahli. Ketika Gunung Tambora meletus tahun 1815 dan melontarkan material sebanyak 50 km3, terjadi perubahan iklim signifikan setahun berikutnya di Amerika Utara dan Eropa (Stothers, 1984), yang terkenal dengan nama “1816: the year without a summer”. Saat itu terjadi penurunan temperatur 0,7 C (Rampino dan Self, 1992). Ketika Gunung Agung meletus pada tahun 1963 dan melontarkan material 0,3-0,6 km3, terjadi penurunan temperatur 0,3 C di Belahan Bumi Utara (Jones dkk., 1982). Bagaimana halnya bila Toba yang meletus pada 74.000 tyl dan melontarkan material 2500-3000 km3? Tentu telah terjadi perubahan iklim yang sangat signifikan. Dikatakan bahwa letusan Toba tersebut telah menyebabkan 6-10 tahun musim dingin, diikuti oleh 1000 tahun episode dingin.
Letusan Toba 74.000 tyl telah menghasilkan 3 milyar ton abu halus dan aerosol H2SO4 dan SO2 yang terlontar setinggi 27-37 km menginjeksi atmosfer dan sangat signifikan mengurangi transmisi sinar Matahari ke permukaan Bumi (Rampino dan Self, 1993; Chesner dkk., 1991). Diperhitungkan bahwa transmisi sinar Matahari saat itu hanya 0,001-10 %. Menurunnya daya terima sinar Matahari ini telah menyebabkan temperatur menurun 3-5 C. Saat itu Zaman Es sedang menjelang, dan letusan Toba diyakini telah mempercepat datangnya Zaman Es ini. Toba juga telah melepaskan sebanyak 540 milyar ton air yang naik sampai stratosfer dan dapat mengubah gas belerang yang dilontarkan Toba menjadi 1-10 milyar ton aerosol H2SO4. Posisi Toba di wilayah tropis juga membuatnya lebih efisien untuk abu dan gas dari Toba memasuki stratosfer di kedua belahan Bumi.
Zielinski dkk. (1996) berdasarkan data es di Greenland menunjukkan keberadaan periode 1000 tahun masa dingin berdasarkan data isotop oksigen-18 yang terjadi bersamaan dengan kandungan abu pada interval 74.000 tyl. Zielinski dkk. (1996) mengatakan bahwa periode dingin 1000 tahun ini dipicu oleh letusan mega-kolosal Toba, paling tidak pada 200 tahun pertama.
Terlampir data parameter-parameter paleo-klimatologi dan paleo-oseanografi global yang menunjukkan perubahan signifikan pada 74.000 tahun yang lalu, merespon efek letusan mega-kolosal Toba.

 (Rampino dan Self, 1993)



Powered by Blogger.