Tragedi 1965 sudah beberapa dekade di lewati, masa pemeritahan dictator pun telah terganti, reformasi berjalan sesuai dengan keinginan segelintir elit. Tanpa ada imbasnya untuk para korban tragedy 1965. Mereka masih saja terdzolimi. Tak sedikit yang berujar, keadilan untuk korban pelanggaran HAM berat hanyalah harapan kosong yang entah kapan bisa terlaksana.
Lika liku sejarah tragedi 1965 dibuat sedemikian rupa hingga generasi berikutnya seperti enggan untuk sekedar mengetahui kebenarannya apalagi untuk berani membuka tabir hitam dari tragedi 1965. Segelintir elit baik dari parpol, cendikiawan, hingga agamawan pun beraksi bengis ketika Komnas HAM baru-baru ini memaparkan laporan investigasi soal tragedi 65 ke publik, bahwa nyata terjadi pelanggaran HAM berat pasca peristiwa 1 Oktober 1965. Dimana kurang lebih 3 juta nyawa manusia harus lepas dari raganya tanpa ada pertanggungjawaban dari negara. Yang tak kalah pedih, nasib para keluarga korban yang hingga detik ini masih saja terstigma buruk di masyarakat. Di cap sebagai bagian dari ‘pengkhianat’ negara, padahal mereka lahir jauh sebelum tragedi tersebut terjadi, stigma ‘dosa turunan’ yang demikian bengis diciptakan oleh para agawaman dan para elit politis konservatif.
Lembar demi lembar kertas berlabel hukum dicoba oleh para korban dan keluarga korban untuk menuntut negara memberikan keadilan, namun sia-sia. Untuk menutup bengisnya, negara justru menyewa para preman dengan berlabel agama dan berjiwa nasionalis untuk menggebuk tiap usaha menuntut keadilan dan pelurusan sejarah yang dilakukan oleh para korban dan keluarga. Negara tak ingin tangannya kotor karena perbuatan bengis, hal sama seperti yang terjadi di pembantaian massal di akhir 1965 hingga awal 1967. Menggunakan segelintir manusia tanpa otak dan nurani untuk memangsa mereka yang di cap bagian dari Partai Komunis Indonesia.
Pembodohan tersistematis dilakukan, dari ocehan politis yang disebar ke media massa dengan dalill pembela pancasila, hingga dalil-dalil dari kaum agamawan. Semua disatukan untuk mendorong rakyat saling memenggal kepala satu sama lain. Bengis, biadab, kejam, dan tak berprikemanusian. Di cap sebagai bagian dari pengkhianat negara sungguh pedih, nyatanya mereka yang membantai jutaan nyawa tersebut yang patut disematkan sebagai pengkhinat negara.
Negara ini menurut ‘dongeng’ ratusan tahun lalu didirikan oleh individu-individu berjiwa menerima keanekaragaman, tak berperang hanya karena perbedaan, tak salah jika kemudian negara ini mengambil kata-kata “bhineka tunggal ika” sebagai bagian dari symbol negara. Nyatanya? Kisah pilu di akhir 1965 hingga awal 1967 membuktikan bahwa perbedaan hanya omong kosong di negara ini. Dan juga omong kosong yang menyebut bahwa negara ini adalah negara berdasar hukum, faktanya membuktikan negara kita berdasar pada kepentingan kelompok bengis yang menggunakan jubah-jubah politis, agamawan, cendikiawan yang enggan untuk membuka kebenaran dari tragedi 1965.
Kisah kelam ini harus sedemikan rapat tertutup rapat. Terbuka artinya mereka harus menerima gejolak sosial di masyarakat, itu tentu akan berakibat hilangnya keistimewaan mereka sebagai kelompok atas di negara ini. Warisan ilmu yang diturunkan oleh para pendahulu kelompok bengis ini. Entah dengan apalagi misteri soal tragedi 65 harus diluruksan, tujuannya semata-mata untuk generasi ke depan. Semua temuan sejarah yang pada faktanya terbukti kebenarannya, diabaikan begitu saja. ‘celotehan’ dari para korban dan keluarga korban pun setali tiga uang. Rekomendasi berasaskan hukum dilawan dengan siap tarung oleh para segelintir elit dan cendikawan. mulai dari temuan Ben Anderson hingga ke John Rossa diabaikan semuanya. Bahkan segelintir sejarahwan Indonesia pun telah mengemukakakn bahwa ada yang salah dengan penulisan tragedi G30S, sebut saja Romo Baskara T Wardaya.
Semua seakan sia-sia di mata para korban dan keluarga korban. Kata keadilan masih sangat jauh untuk mereka dapatkan. Negara dan gurita kekuasaannya menolak pelurusan sejarah. Elit dan politikus mengijak-ijak hakikat kebenaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), agamawan, cendiakawan, dan guru membodohi dengan ‘cerita-cerita’ bohong dan terakhir mayoritas generasi muda mengabaikan sejarah kelam bangsa untuk meraka kaji, kritisi dan teliti. Ini semua mungkin akan diamini oleh para korban dan keluarga korban, bahwa harapan kosong masih akan mereka dapatkan, entah untuk rentang waktu berapa lama lagi. Penulis mencoba menganalogikan kondisi para korban dan keluarga korban tragedy 65 dengan mengutip dari CATATAN DARI BAWAH TANAH karya Fyodor Mikhailovitsy Dostoyevski.
TENTANG SALJU BASAH
Kala dari kekhilafan penaklukan gelap
Kata-kata desakan garangku Merenggutkan sukmamu yang layu hingga bebas;
Dan sambil menggeliat-geliat karena cederamu
Kaukenang kembali dengan kutukan Kejahatan yang melingkupimu:
Dan kala kesadaranmu yang tertidur
Ketakutan karena nyala menyiksa dari ingatan,
Kau mengungkapkan latar belakang ngeri Jalan hidupmu sebelum aku tiba:
Aku melihat kau tiba-tiba jadi mual.
Dan menyembunyikan muka sambil menangis, berontak, gila, ngeri,
Karena ingatan pada aib yang keji.
Pras Che