Beranda » Kekerasan, Aliran Sesat dan Syariat Islam

Kekerasan, Aliran Sesat dan Syariat Islam



ACEH kembali dirundung nestapa. Tewasnya tiga orang warga Peulimbang, Kabupaten Bireuen, beberapa waktu yang lalu akibat bentrokan antara warga masyarakat dengan kelompok yang diduga aliran sesat membuat kita berduka dan merenung. Apakah tidak ada lagi ruang dialog untuk memecahkan kebuntuan?

Apakah Islam sudah menjadi agama yang sangar di Aceh, karena begitu mudanya masyarakat menjadi beringas dalam mengartikulasikan keislamannya? Lalu apa yang dibuat syariat Islam selama ini, karena aliran sesat semakin menjamur, ini kalau mengacu definisi aliran sesat MPU Aceh dan kekerasan yang kian menemukan habitusnya?

Sejumlah pertanyaan di atas semoga akan menjadi bahan refleksi bagi kita yang masih waras. Kekerasan sama sekali bukan ajaran Islam. Islam justru sangat menganjurkan sikap yang damai, moderat dan toleran. Sehingga setiap persoalan sepelik apa pun harus diselesaikan dengan cara yang santun dan beradab. Ruang dialog senantiasa dikedepankan, bukan tindakan kekerasan khas masyarakat bar-bar.

 Profetik-ideologikal
Kalau mengacu kajian dari Prof Komaruddin Hidayat (1998), kekerasan yang berjubah keagamaan disebabkan oleh tipologi respons keagamaan yang cendrung profetik-ideologikal. Menurut Rektor UIN Jakarta ini, kecendrungan beragama model ini, antara lain ditandai dengan penekanan yang kuat pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Karena itu, kegiatan penyebaran agama dengan menambah jumlah pengikut, dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat bangunan ideologis. Di mata mereka, puncak kebaikan beragama adalah berlakunya hukum-hukum agama dalam perilaku tatanan sosial.  

Kategori iman dan kafir, orang luar dan dalam, lalu dieksplisitkan dengan menggunakan kategori normatif dan ideologis. Sebagai kosekwensi berikutnya, kecendrungan semacam ini sangat sadar menggunakan asset politik dan ekonomi untuk merealisasikan komitmen imannya dalam pelataran praksis sosial, terutama kekuasaan politik.

Dari kajian Prof Komar ini bisa diambil simpulan bahwa kekerasan akan menjadi senjata pamungkas untuk memuluskan langkah/dakwah keagamaan kelompok ini. Sehingga tak heran kalau pascareformasi, kekerasaan keagamaan kian menemukan lahan suburnya di Indonesia. Hal ini semakin diperkuat dengan sikap lembek Negara dalam mengatasi kekerasan keagamaan ini.

Kembali kepada persoalan kekerasan yang terjadi di Peulimbang, Bireuen, kita semua patut menyesal. Seyogianya, umat Islam di sana harus bisa bersikap arif dan bijak dalam mengingatkan kelompok yang diduga aliran sesat tersebut. Mereka (yang diduga aliran sesat) tak mungkin melakukan langkah resistensial ketika eksistensi mereka tidak terancam.

Ini merupakan persoalan serius. Butuh kejernihan hati dan kecerdasan akal budi untuk mengurainya, karena sangat mungkin sudah menjadi problema gunung es di Aceh. Jadi, kasus ini sudah seharusnya menjadi alarm yang tak bisa ditunda bagi bagi seluruh stakeholder, terutama pemerintah dan ulama Aceh untuk mereformulasi keberadaan syariat Islam di Aceh.

Keberadaan syariat Islam di Aceh selama ini ada kecendrungan hadir sebagai legitimasi kekerasan. Di mana dengan simbol syariat Islam, banyak juru dakwah yang mengalami euforia dalam menyampaikan pesan-pesan tauhidnya. Di mana proses penjustifikasiaan dan pelabelan kepada kelompok tertentu sebagai aliran sesat terjadi dengan begitu mudahnya.

 Implikasi psikologis
Hal ini memiliki implikasi psikologis kepada masyarakat awam dengan menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh pendakwah. Sehingga mereka akan dengan mudah terpancing untuk melakukan kekerasan, karena mind set mereka sudah terkonstruksi dengan pelabelan tadi. Hal seperti ini justru kontradiktif dengan esensi dakwah itu sendiri. Karena saya percaya bahwa maksud pendakwah sangat baik yakni menyadarkan kelompok yang diduga aliran sesat untuk kembali ke Islam yang benar.

Tapi karena pendekatan yang digunakkan cendrung memojokkan keberadaan kelompok tertentu yang diduga aliran sesat, sehingga mereka melakukan perlawanan. Akhirnya, dakwah yang ditujukan tak berhasil memberi pencerahan bahkan menimbulkan persoalan baru. Niat baik untuk memberi penyadaran malah diresponi dengan perlawanan. Jadi jelas, kurang tepat dengan metode dakwah yang cendrung memvonis keberadaan kelompok tertentu sebagai aliran sesat.

Harus di segarkan kembali
Untuk itu, metode dakwah harus disegarkan kembali dalam wajah yang dialogis, humanis dan toleran. Juga harus ada keinginan kuat dan kemauan baik --pemerintah dan ulama Aceh-- untuk melacak akar persoalan dari aliran sesat ini. Mengapa di tengah gencarnya penerapan syariat Islam, aliran sesat juga gencar melakukan dakwahnya?

Ini tidak mungkin berdiri sendiri, pasti ada sesuatu yang besar yang berada di belakang para penyebar aliran sesat ini. Dan ini bisa diurai dengan cara-cara yang persuasif dan toleran tanpa perlu bersikap anarkis. Kalau masih mengedepankan cara-cara kekerasan dalam menyikapi aliran sesat ini, maka tak akan pernah ada langkah solutif selain memperlebar ruang mereka berdiaspora. Jadi, harus ada sikap lapang dada dari para ulama untuk menyadarkan/menjauhkan umatnya dari tindak kekerasan.

Kasus ini juga menjadi catatan penting pemerintah Aceh untuk mereformulasi syariat Islam dalam bingkai yang toleran dan humanis. Dan harus diingat, persoalan kontekstual di Aceh saat ini yang juga perlu mendapat perhatian serius oleh syariat Islam adalah kejahatan korupsi yang kian menemukan habitusnya. Korupsi di Aceh sudah mulai menggurita, terutama korupsi kekuasaan.

* Muhammad Hamka
, Analis Sosial dan Politik. Email: for_h4mk4@yahoo.co.id



Powered by Blogger.