Jika kita berbicara tentang Brahmana, mungkin langsung yang terpikir di benak kita adalah salah satu dari empat kasta dalam agama Hindu(Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti “memilih (sebuah kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, adapun empat kasta dalam agama Hindu: Sudra (budak), Waisya (pedagang), Kesatria(pemerntahan), dan Brahmana (rohaniawan)). Namun, yang ingin saya bahas kali ini bukanlah Brāhmana(golongan rohaniawan) yang ada dalam agama Hindu, melainkan Brahmana yang ada dalam salah satu dari sub-merga dari Merga Silima(1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan, 4. Sembiring, dan 5. Peranginangin) dalam masyarakat Karo.
Dikisahkan, sekitar awal abad ke-16, seorang guru Brahmana yang bernama Magid[-dan] Brahmana datang ke Kuta(kampung) Sarinembah(kampungnya orang Sembiring Meliala), Taneh Karo. Di Sarinembah dia menjumpai seorang bekas muridnya yang berkasta kesatria Meliala(Maliyalam Tamil). Dan, dari Sarinembah dia bersama muridnya itu menuju kuta Talun Kaban(sekarang Kabanjahé) untuk menyebarkan agama Hindu(Pemena).
Di Talun Kaban, beliau(Magid Brahmana) disambut baik oleh rakyat dan Raja Urung XII Kuta yang rajanya bergelar Sibayak(gelar bangsawan Karo/raja, besar) Talun Kaban yang ber-merga Karo-karo Purba. Dan karena kepandaian serta kebijaksanaanya, Sibayak negeri Urung XII Kuta kemudian mengangkatnya menjadi Guru Mbelin(guru besar: ahli kebijaksanaan, agama, pengobatan, dll) dan penasehat pribadinya.
Suatu hari, raja bercerita keluh kesahnya kepada Magid Brahmana, kalau dia sedang memiliki satu permasalahan dengan seorang guru mbelin yang bernama Guru Togan( menantang, melawan) Raya. Guru Togan Raya adalah seorang guru yang sakti mandraguna dan sangat ditakuti, beliau memiliki banyak hewan kerbau yang tidak digembalakan dan bebas berkeliaran ke kebun-kebun warga, sehingga warga merasa resah karena tanaman-tanaman mereka habis dirusak oleh kerbau-kerbau Guru Tagan Raya. Bukan itu saja, setiap tanah-tanah yang diinjak oleh kerbau-kerbaunya diklaem menjadi hak miliknya, namun tidak ada seorangpun yang berani menentangnya. Oleh karena itu, sibayak sangat mengharapkan kebijaksanaan Guru Magid Brahmana untuk menyelesaikan permasalahan ini. Untuk itu, Guru Magid Brahmana bersama muridnya dari kaum(klan) kesatria Sembiring Meliala membuat tempat pajuh-pajuhen(pemujaan) dan melakukan pertapaan di juma-juma(ladang) rampasan Guru Togan Raya. Suatu hari, ketika melakukan tapa, Guru Togan Raya datang dan mereka saling bertatap muka, namun tidak berkata apa-apa. Tetapi, mereka bertiga melakukan kontak batin dan saling er-tutur. Ternyata saat melakukan kontak batin dan ertutur, Guru Magid Brahmana dan muridnya Sembiring Meliala adalah anak beru dari Guru Togan Raya, sehingga mereka saling sihangken(menghormati atau menyegani). Kemudian, Guru Magid Brahmana menuturkan maksudnya kepada Guru Togan Raya agar beliau mengembalikan semua tanah-tanah rampasanya, dan dengan rasa hormat Guru Togan Raya bersedia mengabulkan permintaan kedua anak beru-nya itu.
Dengan adanya kesepakatan dsan perdamaian ini, rakyat Karo-karo Purba Urung XII Kuta beseta seluruh sangkep nggeluh(sanak-saudara)-nya menyambut dengan suka cita, maka mulai sejak saat itu hubungan antara merga Karo-karo Purba dan Karo-karo Ketaren sudah harmonis hingga sekarang dan tempat pajuh-pajuhen(pemujaan) kemudian dinamakan Barung-barung Berhala karena di tempat itu banyak ditemukan patung-patung pemujaan Guru Mbelin Magid Brahmana. Sekarang barung berhala itu disebut Kuta Berhala.
Karena takut kedua Guru Mbelin itu akan meninggalkan kampung Talun Kaban, maka Sibayak menikahkan kedua guru mbelin itu dengan gadis terbaik dari keluarganaya dan, dari pernikahannya itu, Guru Mbelin Magid Brahmana memperoleh tiga putra yang bernama Mecu Brahmana, Mbaru Brahmana, dan Mbulan Brahmana. Dari ketiga putra Guru Mbelin Magid Brahmana inileh terjadinya beberapa sub-merga Sembiring dan kuta-kuta di daerah Taneh Karo.
Bastanta Permana Sembiring