Beranda » Menyusuri Jejak Köhler ke Serambi Mekkah

Menyusuri Jejak Köhler ke Serambi Mekkah



In Memoriam Generaal-Majoor J.H.R. Köhler, Gesneuveld 14 April 1873“, tulisan pada salah satu prasasti yang melekat di gerbang Kerkhof Peutjut, Banda Aceh itu menyentil sekelebat memori yang melintas perlahan di dalam kepala. Köhler! Nama itu mengingatkan pada sebuah prasasti di Kebon Jahe Kober, Jakarta Pusat yang beberapa kali disambangi.
Deja vu! Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, pimpinan tentara kerajaan Belanda membawa 3000-an serdadu menapakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah pada 6 April 1873 untuk merebut Aceh. Satu langkah yang dilakukan oleh Belanda setelah Perjanjian London yang disepakati bersama Inggris pada 1871; yang salah satu poinnya berbunyi Inggris memberikan kekuasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Pada 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dan mengirimkan pasukan ekspedisi dibawah komando Köhler ke Aceh.
13509408621280120732
Sebagian peserta PTD Sahabat Museum Atjeh - Sabang berfoto di depan gerbang Peutjut, Banda Aceh (dok. koleksi pribadi)
Setibanya di Aceh, Köhler dan pasukannya berhasil merebut Mesjid Raya Baiturrahman untuk dijadikan basis pertahanan. O, God, ik ben getroffen!”, hanya berselang seminggu setelah kedatangannya, Köhler tewas tertembus peluru seorang pemuda pejuang dan penembak jitu Aceh pada 14 April 1873 di halaman mesjid itu. Köhler dimakamkan di Kebon Jahe Kober (sekarang Museum Taman Prasasti) Jakarta, atas permintaan rakyat Aceh; sisa tulang belulang Kohler digali dan dipindahkan ke Aceh. Köhler akhirnya dimakamkan kembali dengan upacara militer pada 19 Mei 1978 di Kerkof Peutjut dengan makam berbentuk monumen yang sama persis dengan makamnya di Kebon Jahe Kober; hanya tinggi dan ukurannya lebih kecil.
1350941109218644538
Pak Ridwan Aswad dari PDIA sedang berbagi kisah Kohler di depan monumen JHR Kohler (dok. koleksi pribadi)
1350941236943444171
Salah satu tulisan pada monumen Kohler di Peutjut (dok. koleksi pribadi)
Di depan monumen Köhler, Pak Ridwan Aswad dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang menjadi narasumber kami Kamis siang itu (11/10); memaparkan perjalanan Köhler, sepenggal sejarah Kerkhof Peutjut dan kisah pasukan khusus Hindia Belanda, Marsose! Marsose adalah pasukan khusus yang dibentuk pada 20 April 1890 untuk menghadapi serangan gerilyawan Aceh pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Teijn. Perang Aceh berlangsung selama 31 (tiga puluh satu) tahun (1873 - 1904) dan dalam sejarah Belanda dicatat sebagai perang terpanjang dengan catatan kelam melebih pengalaman pahit mereka pada Perang Napoleon.
Saat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Kerkhof Peutjut turut terendam air bah dan beberapa makam pun hanyut. Pembersihan dan revilatalisasi dilakukan dengan baik untuk menyelamatkan yang tersisa. Kini Kerkhof Peutjoet dikelola sebuah yayasan yang berpusat di Belanda, Yayasan Dana Peutjut. Yayasan ini dibentuk pada 29 Januari 1976 atas gagasan seorang veteran tentara Marsose Kolonel J.H.J. Brendgen setelah melihat kondisi makam militer Belanda yang memprihatinkan saat berkunjung ke Aceh.
13509413481603348609
Prasasti makam Kohler di Taman Prasasti, Jakarta yang masih berdiri kokoh (dok. koleksi pribadi)
13509414881581760647
Pernyataan sikap Belanda terhadap Aceh yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor 4 Juni 1873, yang ditemui di Museum Cut Nyak Dhien, Aceh (dok. koleksi pribadi)
Kerkhof (bahasa Belanda) secara harafiah berarti halaman gereja, sedang Peutjut sendiri berasal dari kata Poteu Cut (Peutjoet/Pocut) yang artinya putera kesayangan. Pocut adalah Putera Mahkota Kerajaan Aceh Darussalam, putera kesayangan Sultan Iskandar Muda; Meurah Pupok. Sayang karena keterbatasan waktu, dalam kunjungan kemarin tak sempat menghampiri makamnya yang berada di tengah areal seluas 3,25 hektar ini.
Keluar masuk kompleks Peutjut, pengunjung akan melewati gerbang kehormatan Peutjut yang dibangun pada 1893. Di pucuk gerbang terdapat tulisan dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa berbunyi, Aan onze kameraden, gevallen op het van eer ( = Untuk sahabat kita, yang gugur di medan perang). Sedang di dinding gerbang terpatri nama-nama mereka yang dimakamkan di Peutjut, daerah- daerah pertempuran Aceh termasuk beberapa peristiwa yang terjadi di Aceh.
Langit biru menaungi kota Banda Aceh saat langkah dengan berat harus diayun meninggalkan Kerkhof Peutjut. Hasrat untuk menikmati senyap dan berlama-lama di taman pemakaman itu masih menggebu, namun waktu yang terbatas memaksa kaki untuk segera beranjak. Di depan gerbang kehormatan Peutjut, satu doa dipanjatkan padaNya untuk diberi kesempatan kedua bertandang ke kota ini satu hari nanti.
Dari Kerkhof Peutjut, kami melanjutkan plesiran ke Museum Tsunami yang hanya berjarak beberapa langkah di depannya. Sebuah catatan lepas perjalanan bersama Sahabat Museum dalam kegiatan Plesiran Tempo Doeloe (PTD): Atjeh – Sabang (11 – 14 Oktober 2012). Tempat lain yang sempat dikunjungi selama 4 (empat) hari di Tanah Rencong adalah Titik Nol Km di Pulau Weh, benteng Anom Itam, bunker tentara Jepang dan beberapa situs bersejarah di Sabang, Rumah Cut Nyak Dhien, Makam Sultan Iskandar Muda, Rumoh Atjeh, beberapa situs tsunami Aceh, termasuk wisata kuliner dan menikmati kopi Solong. Salam wisata sejarah. [oli3ve]
\\Buku Panduan Kuburan Militer Peutjut, Stichting Peutjut - Fonds, 2007

Olive Bendon



Powered by Blogger.