ACEH dan Sumatera Utara (Sumut) pernah mengalami kondisi sulit, berada pada titik nol dari sebuah dampak megadisaster dahsyat yang terjadi di Samudera Hindia pada 26 Desember 2004. Peristiwa ini bukan kejadian biasa, melainkan satu bencana hebat yang tercatat dalam sejarah bencana. Hampir 200.000 jiwa penduduk hilang; masyarakat mengungsi, perekonomian memburuk, perumahan serta infrastruktur rusak, pemerintahan tidak stabil serta minimnya pemahaman masyarakat terhadap bencana.
Pascabencana itu, Aceh dan Sumut pun menjadi pusat perhatian dunia. Peristiwa ini menguak tabir tentang sejarah bencana Sumatera yang telah tercatat ratusan tahun lalu. Bahkan, Sumatera menjadi salah satu pulau dalam beberapa buku sejarah yang disebut paling sering mengalami gempa. Aceh pun (baca: tercatat) menjadi daerah yang sangat rentan dengan bencana.
William Marsden (1783) dalam bukunya Sejarah Sumatera menyebutkan bahwa gempa telah menjadi bagian dari sejarah Sumatera. “Gempa bumi yang paling keras saya alami terjadi di daerah Manna (Bengkulu) pada 1770. Sebuah kampung musnah, rumah-rumah runtuh dan habis dimakan api. Beberapa orang bahkan tewas,” tulis Marsden. Catatan Marsden dalam buku tersebut juga memberikan informasi tentang gempa Nias di tahun 1763 yang menewaskan seluruh penduduk kampung di pulau itu.
Catatan lain, seperti ditulis Teuku Abdullah Sanny, dalam Tsunami Aceh-Titik Nol menuju kebangkitan Aceh dalam era globalisasi, seakan ingin menegaskan kembali posisi Sumatera. Wilayah ini merupakan pulau yang luas di Hindia Timur dan paling barat dari kepulauan Melayu. Garis khatulistiwa membagi miring Pulau Sumatera yang berdasarkan arah barat laut dan tenggara, yang satu berujung di 5056' LU dan lainnya pada garis 5056' LS.
Dalam posisi relatifnya, ujung paling utama merentang sampai ke Teluk Benggala, sedangkan pantai barat dayanya terletak di lautan Hindia. Di bagian selatan, Selat Sunda memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Pulau Sumatera dipisahkan dengan pulau-pulau lain oleh laut Timur dan laut Cina dari Kalimantan. Di sebelah timur laut, Selat Malaka memisahkan Pulau Sumatera dengan Semenanjung Melayu, yang konon sebelumnya kedua daratan ini bersatu.
Catatan lain tentang Pulau Sumatera juga menjelaskan, bahwa pulau ini berada di perbatasan dua lempeng tektonik aktif. Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, yang memanjang dari Andaman hingga selatan Pulau Jawa. Sumatera sering mengalami gempa bumi, karena terdapat patahan sumatera yang memanjang mengikuti alur Bukit Barisan yang membagi dua wilayah daratannya. Wilayah patahan tersebut kini kerap menjadi daerah gempa.
Patahan yang terjadi di sepanjang Sumatera menggambarkan posisi patahan dan tahun-tahun terjadinya gempa bumi di sepanjang lempeng bumi tersebut. Aceh merupakan daerah yang berada di pertemuan tiga lempeng bumi, yakni Lempeng Hindia, Australia, dan Eurasia. Inilah yang menyebabkan posisi Aceh sangat rentan terguncang gempa. Ditambah lagi adanya Sesar Semangko (Sesar Sumatera), yang saat ini masih bergerak aktif dan berpotensi terjadinya gempa darat.
Ironisnya, daerah sepanjang patahan tersebut ternyata merupakan wilayah dengan tingkat hunian penduduk yang tinggi sejak dulu. Terbukti kesultanan dan kerajaan dengan kekuasaan luas dan masyhur di Sumatera justru berlokasi di sepanjang patahan ini. Dua di antaranya adalah Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Minangkabau. Bahkan Istana Pagaruyung, pusat pemerintahan Adityawarman, Raja Minangkabau yang termashyur itu, hanya berjarak beberapa kilometer dari patahan Sumatera.
Banda Aceh (dulu Kutaraja) di masa Sultan Iskandar Muda juga terletak tidak jauh dari jalur patahan Sumatera yang terpecah dua di wilayah Provinsi Aceh. Dua patahan itu dikenal sebagai “Patahan Darussalam” yang melewati Desa Darussalam dan “Patahan Darul Imarah” yang melewati Desa Darul Imarah. Sampai sekarang, daerah-daerah bekas kesultanan dan kerajaan itu tetap menjadi daerah dengan tingkat hunian penduduk cukup tinggi.
EM-DAT, satu pusat data tentang kebencanaan di Belgium, mencatat bahwa sejak 1900 sampai sekarang, lebih dari 17.000 bencana alam terjadi di dunia. Database tersebut juga menyebutkan frekuensi kejadian dan dampak bencana di Aceh terus meningkat sejak 1907-2011. Mengingat Aceh termasuk daerah yang memiliki kerentanan bencana paling tinggi (terancam), maka kita harus menyikapinya dengan baik dan benar. Mengelola pengalaman bencana dengan menjadikan bencana tersebut sebagai “sahabat” adalah sebuah pilihan yang bijak.
Idealnya, masyarakat maupun pemerintah harus melengkapi diri dengan sistem peringatan dini (early warning system) sebagai upaya mitigasi atau tata kelola bencana. Sistem peringatan dini sederhana dan paling mudah dipahami masyarakat adalah tanda-tanda yang diberikan alam. Bencana 26 Desember 2004 itu mengajarkan kepada kita bahwa sebagian besar masyarakat modern telah melupakan alam sebagai pemberi sistem. Kurangnya pemahaman terhadap kearifan lokal, yang mengakibatkan penurunan informasi/peringatan dini, sehingga masyarakat tidak siap dan tidak punya kemampuan dalam menghadapi bencana.
Bencana selalu saja dilaporkan setelah terjadi. Sangat jarang ada yang menyoroti ihwal mitigasi dan pendidikan bencana. Padahal, negeri ini memiliki banyak sekali kisah-kisah inspiratif dan pengetahuan sebagai bagian dari mitigasi bencana. Namun perkembangan teknologi, seakan menenggelamkan kisah-kisah inspiratif dan mengandung kebenaran tersebut. Folklor atau cerita rakyat berisi kebijakan masyarakat tradisional dalam mengantisipasi bencana sering diabaikan. Sebagian besar malah hilang tak tercatat.
Mitigasi berbasis alam
Bencana memang selalu mengancam negeri ini. Namun, hampir seluruh kabupaten/kota yang mengalami gempa dan tsunami di Aceh memiliki pengalaman berupa kisah dari para leluhurnya yang kemudian dijadikan sebagai proses dan upaya mitigasi dalam masyarakat. Pada akhirnya masyarakat memainkan peran penting dalam kesiapsiagaan bencana, manajemen risiko, di sekitar wilayah yang dianggap rentan bencana.
Sistem mitigasi bencana berbasis alam dan sistem peringatan dini menjadi instrument penting penyelamatan preventif korban. Pengetahuan ini memiliki karakteristik penting yang membedakannya dengan jenis pengetahuan lainnya. Kenapa? Karena kearifan lokal berasal dari masing-masing komunitas dan penyebarannya pun dilakukan masyarakat yang dikembangkan selama beberapa generasi ke generasi dengan mudah diadaptasi dan diajarkan dalam kehidupan masyarakat sebagai alat bertahan.
Delapan tahun sudah gempa dan tsunami berlalu di Aceh. Apa yang telah kita pelajari dari bencana tersebut? Jangan sampai kita lebih wah dalam memperingati bencana, dibandingkan belajar dari sejarah bencana. Padahal alam menjadi guru yang baik, hanya barangkali kita kurang menyadarinya. Harusnya Aceh tidak hanya populer karena bencana, tapi juga karena masyarakatnya yang belajar dari sejarah bencananya. Lalu, siapa yang bertanggungjawab untuk hal ini?
Rentetan bencana Sumatera ini tentunya bukan lagi sekadar sebuah catatan sejarah, akan tetapi sebuah keharusan yang mesti disadari bersama dengan membetuk semangat mitigasi, menciptakan masa depan yang lebih baik, aman dan nyaman bagi anak cucu kita dan semua generasi manusia. Amin. Allahuma Amdhi.
* Hendra Syahputra, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Pengasuh acara ‘Titik Nol’ di 90,2 Serambi FM, dan Member of Tsunami & Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Syiah Kuala University. Email: hsyahputra@gmail.com